Kamis, 03 Oktober 2013

SEKILAS PATTU'DU



Semakin banyak kita membaca ihwal Pattu'du, sejarah, gaya, fungsi dan perkembangannya, akan semakin bingung jugalah kita dibuatnya, sekaligus kian mengaburkan pemahaman kita tentangnya. Istilah Pattu'du saja tidak jelas apakah itu adalah salah satu genre tari atau menunjuk pada orang yang melakukan kegiatan menari. Akibatnya ketika kita membaca sebuah tulisan yang membahas asal muasal pattu'du, kita akan heran dan bingung dibuatnya, karena katanya pattu'du adalah sejenis tari perang untuk merayakan kemenangan perang terhadap sebuah kerajaan yang dianggap dekaden dan kejam di Mandar, demikian bunyi salah satu sumber.

Setiap daerah memang punya tari perang, dan biasanya sejarahnya bersumber dari sebuah prasasti yang berisis maklumat atau prosa dan puisi epik. Tapi terkait dengan tari pattu'du, rasanya genealogi tentang nya harus diperjelas dan dielaborasi lebih lanjut, aga jelas dan pasti, apakah itu muasal tari pattu'du yang lembut dan gemuali seperti yang kita kenal dewasa ini, atau adalah muasal dari sebuah tari perang di Mandar yang tentu saja mesti dinamakan Tu'du......

Ada lagi yang menulis tentang legenda tari pattu'du yang dikaitkan dengan kisah seorang anak raja yang mencuri selendang istrinya yang berasal dari langit. Karna sang istri kecewa atas pencurian itu, maka ia pun kembali ke kayanga. Dan sang suami yang ditinggal sendiri dalam kerinduan. selalu memainkan selendang bila ada pelangi muncul untuk menyatakan kerinduan pada istrinya yang telah raib. Gerakan selendang itulah yang dijadikan dasar sebagai muasal pattu'du. Menurut saya sangat sederhana sekali penjelasan dari cerita itu. Jangan-janganitu hanya muasal dari sebuah jenis tari, yakni tu'du Salendang, apakah ada di Mandar?, entahlah.

yang lain mengatakan gerakan pattu'du berasal dari gerakan ikan. Memang dulu di Mandar ada istilah tu'du/pattu'du Badang ( ikan bandeng yang besar ). pattu'du tembang, dan pattudu bece-bece atau penja. Menanggapi keberadaan tu'du ikan itu, Syaiful Sinrang mengatakan bahwa hal itu harus diterjemahkan dengan adanya realitas pattu'du Ana' Puang atau pattu'du kaiyang. pattu'du Ana' Pattola hada', dan pattu'du Sassawwarang.

Baru sampai di sini kita sudah bingung, karena tidak adanya kesamaan persepsi tentang apa itu pattu'du, tu'du, serta asal muasal dan gerakannya. Menyikapi hal ini kayaknya perlu ada semacam seminar atau kongres kesenian di Mandar, agar ada keseragaman definisi, kesatuan langkah dan arah pengembangan, tak parsial dan berkembang seperti tentakel yang tumbuh liar tanpa pola.

Bandingkan dengan ihwal tari di Jawa atau Bali, di kedua satuan budaya ini, betapa pun beragam dan perkembangan tarian yang telah dicapai, tetap saja akan merujuk pada " Natyasastra". Ini adalah kitab pegangan mengenai seni pertunjukan kalsik India, khususnya berlaku dalam lingkungan Hindu, lebih khusus lagi dalm sekte Siwa yang banyak dianut oleh kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia dahulu. Tari-tarian dalam kitab ini disebut " tandawa" dan bersift tari murni. , diceritakan diciptakan oleh Siwa sendiri pada waktu ia bersama Uma menikmati indahnya senja.

Kitab tersebut disusun kira-kira pada abad ke 2 Masehi dan ternyata sepanjang sejarah sastra India merupakan kitab yang mempunyai kewenangan paling tinggi untuk ilmu teater dan tari India klasik. Apa yang termuat dalam di dalam Natyasastra oleh para Hindu India dan di mancanegara senantiasa dianggap sebagai ketentuan-ketentuan pokok dan dasar yang berlaku selamanya. Perubahan-perubahan yang terjadi adalah berupa pengembangan dan tidak pernah berupa penggantian dasar-dasar. Ketentuan itu berlaku sampai kini pada semua taria-tarian yang berasal dari kebudayaan Hindu di Jawa dan Bali, seperti tari Bedaya Keraton atau tari Pendet. wallahu 'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar