Senin, 24 Maret 2014

KOMUNIKASI BUDAYA


Ketika orang Mandar akan pergi merantau, biasanya orang tuanya akan memberi semacam pegangan lahir- batin demi keselamatannya di rantau orang. Ada yang bersifat majig berupa penangkal guna-guna dari orang yang bermaksud jahat ( paissangang ) ada juga berupa petuah dan nasehat agar lebih menjaga tata karma, kata-kata dan prilaku di daerah yang dituju. Pegangan berupa nasehat itu tergambar dalam sebuah kalindaqdaq yang berbunyi ‘ Tuna dao pepaule / mua diang diola / issangngi siriq / di banuanna tau.

Secara implicit dalam kata ‘ issangngi siri’ terkandung anjuran untuk mau selalu menjaga adat budaya leluhur sekaligus mau menjunjung dan menghormati adat budaya suku atau bangsa lain di rantau. Memang secara garis besar semua suku dalam rumpun melayu akan berprinsip ,’ di mana tanah dipijak di sana langit di junjung’. Menurut Mattulada, konsep merantau sebenarnya tidak dikenal oleh suku-suku di Sulselbar. Beliau menggantikannya dengan istilah ‘ mengembara.’ Jika orang pergi merantau menurut orang Minangkabau atau Batak, maka itu bersifat sementara, dan jika sudah jaya dan berhasil di rantau, perantau harus kembali membangun kampung halaman, kalau perlu dan sempat menikah dengan sanak sauadara atau orang sekampung. Tidak heran jika di kedua suku tersebut muncul konsep ‘ Gerakan Seribu Minang’ dan ‘ Marsipature hutanabe” yang intinya bermakna ajakan untuk kembali menbangun kampung halaman setelah sukses di rantau.

Sedangkan kecendrungan orang-orang Bugis, Makssar, Mandar dan Toraja ( Gismadarto, istilah Andi Baso Amir ketika masih manjadi ketum Lembaga Kebudayaan Sulawesi Selatan), adalah ‘mengembara’ atau meninggalkan kampung halaman untuk mencari daerah harapan ( Eldorado ), mirip orang-orang Eropa yang mengembara ke Amerika untuk secara abadi menatap di sana. Salah satu ungkapan yang sering ditujukan bagi orang Gismadarto yang mau pergi mengembara adalah untuk memamfaatkan ‘ tiga ujung.” Jika menghadapi masalah crusial atau pelik, ujung yang pertama, yakni ujung lidah yang dipakai, jika tak juga menyelesaikan masalah, maka dipakai ujung yang kedua yaitu ujung badik. Namun bila masalah tak tertanggulangi maka sebagai senjata pamungkas, dipakai ujung sebuah anggota badan, yang memungkinkan dapat diterima oleh mayarakat setempat untuk jadi menantu dan keluarga , kemudian beranak pinak dan menetap selamanya.

Karena itulah tidak mengherankan jika disetiap pelosok Nusantara bahkan dunia , selalu ada kantong-kantong atau perkampungan orang-orang Gismadarto. Bahkan ada yang membangun kerajaan di pulau orang karena daya adaptasi dan penetrasinya yang tinggi. Semua itu berkat asupan budaya leluhur di tanah asal yang mumpuni. Dan ketika hal itu kemudian bercampur dengan prinsip di mana tanah di pijak di sana langit dijunjung serta kemauan dan kemampuan memobilisasi tiga ujung tadi, maka tidak heran jika banyak orang Gismadarto menjadi pahlawan dan pejuang pembela kepentingan masyarakat dan daerah yang didatangi. Kita mengenal Raja Ali Haji, orang Bugis pejuang bahasa Melayu yang menciptakan gurndam dua belas di Riau. Syech Yusuf Makassar yang berjuang melawan penjajah Belanda di Banten. Karaeng Galesong dan prajurit daeng di Jogya. Lagoa atau Pendekar Darah Putih, orang Mandar yang menjadi jagoan dan pahlawan di Jakarta dan Pulau Seribu . Termasuk juga Rajiman Wediodiningrat, Husni Thamrin di Jakarta, PM Malaysia Tengku Abdul Razak dan banyak raja-raja di Kalimantan yang semuanya adalah keturunan orang-orang Gismadarto.

Namun entah mengapa pendekatan cultural atau prinsip komunikasi antar budaya itu tak lagi banyak dilakukan oleh orang-orang Gismadarto sekarang, itu terlihat dari maraknya class dengan suku-suku di mana mereka merantau atau mengembara, seperti di Ambon atau Maluku, di Tarakan, Kalimantan. Malah orang-orang Gismadarto sering bentrok satu sama lain di Jakarta. Hampir setiap tahun orang Mandar dan orang Makassar bentrok di Kalijodoh. Dan terutama di Lita pembolongan sendiri, issue putra daerah asli itu sering mengemuka. Seharusnya masalah ekonomi , perbedaan kepentingan dan keyakinan serta friksi orientasi politik yang gonjang-ganjong jelang pemilu ini, bisa diselesaikan dengan pendekatan cultural dan komunikasi budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar