Minggu, 23 Maret 2014

INTELEKTUAL, GOLPUT DAN POLITIK UANG

Sampai sekarang orang belum bersepakat secara tegas dan luas tentang siapakah ‘intelelktual’ itu. Belum ada finalitas tentang definisi intelektual. Hal ini juga sangat terkait dengan bentuk tanggung jawab, jenis keterlibatan dan peran yang harus dimainkan oleh para intelektual di masyarakatnya. Julian Benda dalam bukunya ‘ La Trahison des Clercs’ atau pengkhianatan kaum cendekiawan mengatakan seorang cendekiawan harus tetap berada di menara gadingnya sambil terus memberikan asupan moral dan khotbah intelektual kepada masyaraktanya dan menghindari sikap pragmatis yang memandang sikap kemauan manusia bernilai moral dari kesesuaiannya dengan realitas kekuasaan dan kekuatan atau sesuai dengan keadaan. Ideal Benda adalah cendekiawan yang bebas dari hasrat kepentingan sesaat dan dalam segalanya kiprah sosialnya ikhlas tanpa pamrih. Bagi benda, Leonardo da Vinci yang cuek pada masalah kemasyarakatan adalah teladan. Dan tak mendukung Michaelangelo yang sangat perduli dan membumi.

Alvin Gouldner membedakan intelektual dengan intelegensia. Intelektual adalah mereka yangtermasuk dalam kategori pemikir kritis, emansipatoris, hermeneutis, dan karena itu juga politis. Sedangkan intelegensia adalah yang hanya terlibat dengan masalah teknis professional belaka. Karl Mannheim berpendapat bahwa seorang intelektua harus bersifat “ bebas mengambang ( free floating intellectual) dan menganut etika deontologi dengan otonomi tinggi serta punya rasa kewajiban yang berdasar pada kehendak merdeka, tanpa tekanan dari luar, dan bertolak dari niat tentang kebaikan.

Sedangkan Muhammad Hatta malah menganjurkan pada keterlibatan para cendekiawan pada masalah masyarakat dan bangsanya, misalnya dengan terjun ke dunia politik. secara implicit, Hatta menyaran pada politik praktis ataupun ‘ High Politics’ ala David Easton dengan tugas mengalokasikan nilai-nilai etis moral ke dalam masyarakat atau dunia politik. Dawan Raharjo dalam artikenya, ‘Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara : Wacana Lintas Kultural, mengutip pidato Hatta di depan civitas academi Universitas Indonesia tahun 1957, “ Dalam segala hal ini, kaum intelegensia tidak bisa bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam negara dan masyarakat. Kaum intelegensia adalah bagian daripada rakyat, warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Dalam Indonesia yang berdemokrasi, ia ikut serta bertanggung jawab tentang perbaikan nasib bangsa. Dan sebagai warganegara yang terpelajar, yang tahu menimbang baik dan buruk, yang tahu menguji benar dan salah dengan pendapat yang beralasan, tanggung jawabnya seperti saya katakan tadi, adalah intelektual dan moril. Intelektual karena mereka dianggap mereka yang mengetahui, moril karena masalah ini mengenai keselamatan masyarakat, sekarang dan kemudian.”
Namun apapun definisi dan peran intelektual atau cendekiawan, ia tidak seharusnya menciptakan distansi dengan masyarakat di mana ia hidup dan dibesarkan. Keterasingan kaum intelektual dengan rakyat pada umumnya selama ini telah menjadi gejala universal yang patologis. Dan bila itu tidak disudahi, terutama di Indonesia, maka cepat atau lambat akan menciptakan sebuah sturuktur sosial yang tak sehat dan cenderung saling memamfaatkan dan mengatasnamakan. Intelektual kehilangan sentuhan realita kehidupan, sedangkan kaum awam cenderung kehilangan budaya penalaran .

Dewasa ini kaum intelektual yang masuk ke dalam sistem atau terregimentasi maupun yang tetap menjaga jarak dengan kekuasaan, cenderung memciptakan pulau-pulau kehidupan sendiri yang ekslusif dan karam pada spesialisasinya sendiri dalam budaya profesionalisme yang rigid. Mereka memandang rendah masyarakat awam karena tidak professional dan kurang pengetahuan. Sebaliknya rakyat biasa mangabaikan kaum cerdik pandai karena melihatnya tidak peka’, perduli dan lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Bahkan mereka banyak yang beranggapan kaum intelktual susah dimengerti dan tidak praktis. Dikotomi atau pertentangan seperti ini tidak baik bagi kedua belah pihak dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.

Konsekwensi logis dari relasi yang tidak sehat itu adalah munculnya phenomena golput dan politik uang pada menjelang dan pada hari ‘ H’ pemliu. Mereka yang mengancam untuk golput sebenarnya mengidap ketidak percayaan pada kaum intelektual yang berpolitik dan ingin menjadi wakil rakyat atau pejabat publik. Mereka tidak yakin kaum intelektua yang dianggap tercerabut dari akar budaya masyarakatnya itu mampu mengembang tugas perwakilan di perlemen nanti. Nilai-nilai budaya etnik dan agama yang bertumpu pada kejujuran, keadilan, kebersamaan dan rasa malu, memang telah banyak dilanggar oleh kaum intelektual politik pada segala lini pemerintahan. Para menteri, gubernur, bupati dan anggota DPR yang jumlahnya ratusan terlibat korupsi, penyelewengan kekuasaan dan moral hazard adalah representasi dari kaum intelektul politik atau politisi intelektual. Tambah lagi dalam masa kampanye ini mereka terang-terang menunjukkan prilaku membodohi dan dibodohi rakyat dengan politik uang sebagai simbol orientasi diri sendiri yang akut, maka sempurnalah relasi asimetris intelektual vis a vis rakyat biasa itu. Maka tidak heran jika banyak rakyat sekarang bersikap masa bodo pada masa depan bangsa yang nantinya ada ditangan kaum intelektual politik, dengan menerima dan mencari uang dari para caleg. Dalam nomenklatur politik, rakyat yang setuju politik uang sebenarnya adalah rakyat yang telah sinis, apatis dan anti politik. sikap itu diekspresiakan dalam logika “ Dapat uang atau tidak dalam pemilu, negara toch bakal rusak juga, mending dapat uang meski hanya sekedar pembeli rokok.”
Wah, klo udah ginie, kita-kita juga kan yang rusak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar