Selasa, 21 Juli 2015

HARU-BIRU DI TOLIKARA

Salah satu kepercayaan tradisional masyarakat Papua adalah tentang adanya sebuah batu besar ajaib yang pecah berpencaran kearah barat lalu membentuk gugusan pulau-pulau di sekujur Nusantara. Setting kearifan lokal ini pernah ditulis oleh Ali Hasmy dalam novelnya, Tanah Merah. Ali Hasmy banyak mengangkat budaya Papua ketika bersama-sama dengan para pemimpin pergerakan nasional dibuang oleh pemerintah Belanda ke Digul. Jadi betapa Papua bisa berpisah dari serpihan dirinya.

Pada tahun 1994 saya bersama beberapa rekan pergi mencari nafkah di Timika. Selama setahun di sana, saya dengan jelas merasakan dan menyaksikan betapa ramah dan bersahabatnya mayarakat Papua, senyum dan sapaan yang akrab tak pernah lepas dari wajah mereka, bahkan saya anggap kelewat ramah, hingga kadang merasa risih sendiri. Jika kami ke Hotel Sheraton yang ada di Timika, semua pekerja asli Papua, di taman, security, OB, bahkan staff Hotel, pasti akan menyapa kami dengan tulus dan ramah sambil tak lupa mengucap greetings, Selamat Malam, atau Selamat Pagi....Apa Kabar Bapa?. Tak sedikitpun bias kesombongan di wajah dan mata mereka.

Seorang penjual patung Komoro yang sering berkeliling di base camp kami menawarkan patung-patungnya, jadi teman akrab saya. Dan senang pada kehadiran kami di negrinya karena menghargai budaya dan pribadinya sebagai manusia. Mereka orang-orang peka dan berperasaan, tapi jujur tak dibuat-buat. Jika suka pada seseorang, maka itu akan terekspresi dengan nyata pada wajah dan ucapannya. Jika tak suka pada seseorang, maka akan langsung menegur dan menunjukkan ketidak sukaannya. Salah seorang teman kami yang arogan dan suka pipis sembarangan, kerap jadi sasaran protes mereka. Tapi itu tak mengurangi kesukaan kami secara keseluruhan sebagai pendatang yang mencari hidup di bumi mereka.

Melihat pada karakter sosial dan kepribadian dasar orang Papua itu, maka saya jadi tak mengerti jika tiba-tiba saja terjadi pembakaran Masjid di Karubaga, kabupaten Tolikara Papua pada lebaran kali ini. Karuan saja timbul pikiran bahwa pasti ada yang salah dalam relasi sosial yang berkembang selama ini di sana. Masalah ekonomi harusnya sudah tak ada masalah, karena pemerintah telah memberlakukan status otonomi khusus di Papua. Boleh dibilang bahwa pemerintah dan masyarakat Papua telah mengalami masa bulan madu yang indah dan menjanjikan. Mestinya keadaan telah berbalik, bukan lagi proses proletarisasi yang terjadi, tapi proses cresendo menjadi borjuasi bagi kebanyakan warga Papua.

Terhadap huru-hara dan haru-biru di Tolikara itu, setiap pendapat dan analisa yang berkembang pun mentok dan mendapat protes. Jusuf Kalla dengan teori “ Speakernya”, beroleh kritik bahkan kecaman. Rhoma Irama mengatakan itu “Vandalisme”, kayak perbuatan mencorat-coret tembok kota saja jadinya. Tapi semua tentu bermaksud menetralisir dan mendomestifikasi masalah hingga tak menjalar kemana-mana bagai kanker ganas. Malahan sementara pihak memperkuat posisi dan prilaku ‘Ingroupnya’, see selves as virtuous and superior, willingness to fight and die for ingorup, lalu mengembangkan sikap, ‘ Distust and fear of the out group”. Yang terjadi kemudian adalah saling mengecam antar sesama umat, dan sesama anak bangsa, bukannya mencari akar masalah dan solusi bersama pada kemungkinan proliferasi dan amplifikasi masalah ke tingkat dunia. Sementara dalang yang memainkan tangan orang-orang Papua yang baik dan polos itu bak wayang, pasti sedang tertawa terbahak-bahak di belakang layar, melihat kelucuan dan kerancuan kita sendiri. Dan mungkin sekarang sedang merancang dan merencanalan skenario devide et impera, atau devide et ampera berikutnya. Waduh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar