Rabu, 29 Juli 2015

PROBLEMATIKA ISLAM NUSANTARA

Melewati bulan Ramadhan sebagai bulan berpuasa, dengan menahan diri dari segala yang merusaknya, dan membakar segala dosa-dosa, akhirnya tibalah kaum muslimin pada titik kulminasi keimanannya menjadi orang yang taqwa dan menjadi suci kembali, sesuai fitrahnya sebagai manusia di Hari Raya Idhul Fitri.Tentu saja semua itu bisa tercapai dengan kesadaran puasa yang ‘Imanan wa Ihtisaban’, jika tidak, ya, hanya lapar dan dahaga yang didapatkan, atau suasana heboh dan riuh selama lebaran, seperti seorang petinju yang telah mengalahkan lawannya, alih-alih melakukan sujud syukur, malah jejingkrakan, bersorak dan membusungkan dada. Seolah kemenangannya adalah sepenuhnya andil dirinya, lupa pada Tuhan.

Islam telah menyediakan segala sarana pembelajaran dan pengembangan diri umat yang mumpuni, pembinaan Aqidah dan kesalehan pribadi serta kebaikan sosial bagi seganap pemeluknya, berupa ibadah-badah wajib, termasuk puasa.Jika lulus dari sana, seorang muslim pastilah di bulan berikutnya akan tetap dalam rentang tali hubungan baik dan benar dengan Allah, dan sesama manusia. Tidak lagi mudah tergoda syaitan untuk melakukan maksiat yang menodai aturan Tuhan, tapi juga senantiasa akan terhindar dari nafsu ammarah yang bisa merusak setiap sendi-sendi hubungan sosialnya. Muslim akan lebih taat beribadah, beramal saleh, dan menjadi manusia teladan di tengah keguyahan moral orang-orang di lingkungannya.

Kalau sudah begini adanya, kenapa lagi harus ada istilah-istilah baru yang mensifati Islam, jika itu tak memberi jaminan akan lebih mengungguli Islam an sich dalam sistem peribadatan dan etikanya. Okelah, memang hak setiap orang untuk berkreatif ria atau berijtihad, mengerahkan segala akal dan kemampuan untuk membuat umat lebih baik. Wacana Islam Nusantara yang sekarang ramai dibicarakan dan menimbulkan pro-kontra, andai harus eksis dan menang dalam perdebatan tentang perlunya pada Muktamar NU nanti, harusnya bisa dielaborasi lebih dalam dan menukik , hingga menjadi sesuatu yang tidak sia-sia, tapi jadi sebuah konsep yang aplikabel. Jangan sampai malah mendirtorsi makna-makna Islam yang saya rasa sudah begitu melingkupi dan lengkap untuk segala zaman dan makani, ( lihat Al Maidah ayat 3 ).

Pada tahun 70 an, dikalangan aktivis Islam ramai diperdebatkan tentang adanya Islam Moch. Abduh, Islam Moh. Natsir, dan Islam Nurcholis Madjid. Wacana ini dilontarkan oleh seorang aktivis muda Islam, Ahmad Wahid, yang suka berpikir berbelit-belit, hingga membingungkan umat. Lalu mantan Presiden kita yang hebat dan nyentrik, Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur, melontarkan ide ‘Pribumisasi Islam’, untuk menjaga pluralisme dan kearifan lokal. Mengutip Taufik Abdullah, beliau dalam sebuah eseinya mengatakan bahwa ada yang namanya Islam model Aceh, model Minang, model Goa dan model Jawa. Dengan ciri khas dan keunikannya masing-masing.

Gagasan Gus Dur di atas konon berangkat dari asumsi bahwa unsur-unsur antropologis akan selalu mewarnai pemikiran Islam. Makanya para penyebar Islam di masa lalu punya kecendrungan kuat untuk menyesuaikan Islam dengan budaya daerah yang didatanginya. Tentu saja dengan tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip ajaran Islam baku. Metode adaptif ini telah dipraktekkan oleh para Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Jawa dulu. Tentu tak semua tradisi bentukan budaya bisa diadaptasi seperti tradisi mengayau, atau carok yang baru-baru ini terjadi di Madura.
Tapi seorang pakar Antropologi yang banyak menjadi rujukan berbagai universitas di negri ini, Prof. Dr. Koentjaraningrat, dalam bukunya, ‘Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan” malahan mengatakan, “ Agama adalah titah Tuhan, maka sebaiknya jangan kita berusaha untuk mengembangkan suatu agama khas ala Indonesia ...” . Menurut saya sich, memang istilah Islam Nusantara bisa menimbulkan berbagai asumsi makna, dan berbagai konotasi yang bagi kaum cerdik pandai mungkin bisa memahami. Tapi bagi kalangan akar rumput, akan dibuat tambah bingung. Salah-salah dalam split personality mereka, akan mudah pergi mencari dan menenggak apa yang diistilahkan oleh Jalauddin Rachmat, Islam Panadol atau Islam Panasea.

Pribimisasi Islam, Islam Nusantara, Islam China, India, Timteng, Islam Fiqih, Islam Syariah, Islam Sufi, Islam si anu, Islam budaya, Islam lokal , atau apapun namanya, bukankah harus tetap dalam bingkai jama’ah, sebagaimana anjuran Rasul, “ Kalian harus berjama’ah karena tangan Allah bersama jama’ah.” Karena menurut Rasul, “ Syetan bersama orang yang sendirian dan dari dua orang lebih jauh.” Hal ini merupakan aturan pelaksanaan undang-undang Tiuhan dalam al-An’am ayat 159,” Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.”

Jadi kalau bisa semua muslim sedunia pada suatu waktu, entah untuk salat lima waktu atau salat jum’at, hendaknya berjama’ah di Masjidil haram atau Masjid Nabawi di Madinah, dengan melepas semua atribut-atribut diri, budaya dan lokalitasnya. Jangan sampai saling berebut mencari dan mengambil shaaf tersendiri. Islam Nusantara paling depan, Islam India di tengah, Islam China di belakang, dan Islam Timur-Tengah tidak kebagian tempat terpaksa salat di tangga-tangga atau di lapangan.

Atau paling tidak selalu berorientasi sama dengan mengarahkan wajah ke arah kiblat ketika salat dengan kesadaran sebagai satu kesatuan yang berbaris menuju Allah. Al-Baqarah ayat 144 berbunyi, “ Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya...” Semua kita adalah fakir di hadapan Allah. Dan Allah pastinya tidak mlihat derajat seorang muslim dari latar suku, bangsa atau jenis kelaminnya, melainkan dari ketaqwaannya. Insya Allah, tidak akan terjadi nanti di surga seorang Islam Indonesia yang lembut, sopan dan tidak suka kekerasan, akan terheran-heran melihat seorang Islam timur-tengah yang radikal dan suka perang, lantas bertanya, “Lho, kok kamu di sini?....” Karena sejatinya setiap perang punya alasannya, kadang menjadi sebuah pilihan yang tak bisa dihindari. Dan setiap bangsa punya masalah, tanggung jawab, dan tantangannya sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar