Rabu, 15 Januari 2014

BUMI YANG RUSAK


Dalam waktu-waktu sekarang ini, jika anda melakukan perjalanan dari Majene ke Makassar misalnya, maka cuaca yang menggigil, dingin nan menggit serta jalanan basah oleh hujan tiada henti mungkin akan memberi melankolia tertentu dan sensasi yang romantis sepanjang perjalanan. Ada keindahan di keluasan yang berselimut kabut dan keremangan. Alam menyita kesatuan rasa dan pandangan oleh misty yang mengambang jauh, maka anganpun akan menyatu dengan puncak gunung sepi yang hening.
Jika ingin kembali lagi ke Majene, maka berangkatlah ketika mendung telah beranjak pergi dan matahari mulai bersinar cerah, maka sepanjang jalan anda akan menikmati keindahan yang lebih alami dan purna. Karena saat itu bunga-bunga dan pohonan sepanjang jalan akan tampak lebih semarak dan permai. Sebabnya adalah matahari sedang berada di selatan khatulistiwa, tepat di atas pulau Jawa. Jadi kembang dan daunan sedang bercengkerama dan bercumbu dengan sinar matahari di dahan pohon-pohon yang merimbun.
Namun sensasi keindahan yang kita nikmati sepanajng perjalanan bolak-balik itu tak akan ada artinya jika mengingat resiko dan bencana yang mungkin datang bertubi-tubi di sana-sini karena keadaan alam yang ganjil tersebut. Banjir, gelombng pasang dan angin badai adalah akibat langsung dari posisi matahari yang menjorok ke bumi selatan. Tekanan udaranya yang rendah mambuat angin dari daratan Asia mengalir deras ke sana ditambah air yang pada menguap oleh panasnya permukaan laut ditimpali pusaran angin tak karuan membuat cuaca jadi tak menentu. Anomali cuaca membuat kita tak sempat meramal dengan tepat kapan derita melanda , Hujan turun secara sporadis dan tiada henti di sembarang tempat dan waktu. Kini Hujan yang kerap tercurah dipagi hari adalah pertanda intensitas dan keliarannya yang luar biasa. Kita tak bisa lagi tidur nyenyak pada malam hari ba’da hujan jinak yang biasanya turun pada senja.
Bakat kita untuk selalu abai pada pentingnya early warning system, membuat banyak kapal motor telah terjungkal lalu tenggelam ke laut bersama anak-anak manusia yang tak tahu apa-apa tentang perjalanan iklim yang ekstrim itu. Mereka senang-senang saja berebut naik kapal yang telah sesak menuju seberang, tak tahu kapal telah tak layak jalan dan pada bencana yang menghadang. Karamnya KM Munawar di Pulau Kayangan Lombok dan juga yang di Sungai Musi adalah bukti dari kelalaian kita mengantisipasi bencana. Belum lagi banjir yang melanda di sekujur nusantara, terutama di Ibu Kota Jakarta yang katanya megapolitan atau kota bertaraf internasional. Sungguh semua tak mampu kita kelola dan tanggulangi sedini mungkin. Padahal apa yang telah terjadi belum merupakan puncak keganasan alam. Menurut ramalan BMKG, hujan masih akan turun sampai februari, namun akan memuncak di akhir Januari.
Berita-berita tentang terendamnya Jakarta akan segera berganti dengan tenggelamnya. Betapa tidak, apa yang dikampanyekan Jokowi dan Ahok untuk prioritas pada pencegahan dan penanggulangan banjir serta kemacetan di Jakarta tak seindah warna aslinya. Dari empat puluhan waduk dan situ di Jakarta, baru dua yang telah direvitalisasi, yakni waduk Pluit dan Ria-rio. Rehabilitasi sungai dan relokasi warga bantarannya masih jauh dari harapan berbuah hasil. Sementara orang masih saja terus dengan kebiasaan buruknya menjadikan semua sistem drainase kota sebagai wadah pembuangan sampah. Tanah-tanah resapan air terus bermetamorfosis jadi gedung-gedung pemukiman, bisnis dan perkantoran yang tak ramah lingkungan tapi gila keuntungan.
Amerika Serikat saat ini juga mengalami bencana yang lebih parah. Badai salju yang ektrim oleh menggigilnya kutub utara membuat cuaca menggila sampai 40 an derajat di bawah nol. Ratusan mobil terjebak di tengah salju sepanjang jalan dari Washington, New York sampai Maryland. Konon ini yang terburuk sejak tahun 1932. Bahkan orang-orang Florida atau California pun telah melihat salju di jalan-jalan dan di atap-atap rumah mereka. Hal yang baru terjadi setelah 100 tahun. Namun ekses dari anomali cuaca dan iklim itu tak sempat membuat para warga panik dan menjadi tumbal-tumbalnya. Meski dilaporkan ada sekitar 20 an orang yang meninggal kedinginan, yang rata-rata adalah para tana wisma. Itu karena mereka punya system peringatan dini yang mumpuni. Seminggu atau dua minggu sebelum bencana itu menimpa, warga telah diberitahu akan kemungkinan datangnya suatu bencana badai salju yang besar dan luar biasa. Sehingga orang-orang pada siap mengantisipasi segalanya dengan sigap dan pasti. Mereka memborong jaket dan jas hujan, sarung tangan dan menyiapkan heater atau pendiangan yang lebih banyak. Melalui sms, murid-murid atau orang tua cepat diberi tahu kalau akan terjadi badai atau hujan deras tak terkendali. Peringatan bencana dengan running teks di televisi sepertinya telah kuno di sana. Mengingat orang yang asyik nonton atau menatap cewek cakep di TV, mana “ngeh “pada teks yang mondar mandir sekali dua kali saja. Yang kini dilakukan di negeri paman sam itu adalah langsung menghitamkan televisi seperti ada kesalahan teknis disertai bunyi tertentu, disambut teks atau kata-kata peringatan. Otomatis semua pecandu televisi akan tahu dan mulai bersiap-siap melakukan sesuatu untuk menghindari renjana.
Namun patut disadari, semua itu, juga tsunami , letusan gunung-gunung, serta munculnya badai Katrina, badai di Filipina atau di India di era millenium ke dua ini adalah akibat dari global warming dan rusaknya lapisan ozon di atmosfir karena ulah anak manusia yang tak lagi bersahabat dan harmoni dengan alam, tapi malah merusak dan memperkosanya. Dan kini alam sepertinya telah hilang kesabaran dan kemampun menahan diri, sehingga memuntahkan amarah dan dendamnya di mana-mana.
“ Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali.” ( Ar Ruum ayat 41 ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar