Rabu, 15 Januari 2014

BAHASA MANDAR

Mengapa di Papua terdapat begitu banyak bahasa? Yang telah terdata ada kurang lebih 350 an bahasa kendati mereka sama berasal dari suku bangsa yang sama, suku bangsa Papua. Salah satu factor yang mungkin adalah tidak adanya satu kerajaan atau pemerintahan yang kuat yang mengikat ke luar dan ke dalam serta menjamin suatu kesatuan bahasa, adat dan budaya. Yang di kenal hanya ada kerajaan Fakfak yang tentu saja karena kendala geografis yang luas dan sulit, menjadikannya tak mampu berperan menjadi unsur pemersatu kebuadayaan . Akibatnya perang antar suku masih sering terjadi di sana hingga kini.
Berbeda dengan di Jawa, di sana ada kerajaan Mataram kuno, Singosari atau Majapahit yang kendati berbeda visi pemerintahan satu sama lain, namun tetap secara alami dan sosial, menjaga kesinambungan adat dan budaya, karena adanya komitmen yang sama pada keajegan dan kesinambunga bahasa, yakni bahasa Jawa. Jadi bahasa adalah faktor pemersatu sebuah suku di masa lalu di samping faktor agam tentunyaa. Itulah juga sebabnya kita bisa menjadi satu Indonesia, karena komitmen dan persatuan bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Komitmen kebangsaan dan kesatuan tanah air, akan rapuh bila tanpa adanya persatuan bahasa. Dengan kesamaan bahasa atau adanya lingua franca, maka agama-agama dan kerajaan-kerajaan, serta suku-suku yang ada di nusantara bisa bersatu padu memdirikan dan membangun NKRI.
Bagaimana dengan eksistensi bahasa daerah? Kaitanya dengan budaya etnik. Mari kita lihat Mandar. Mungkin yang bisa disebut sebagai benteng atau fondasi bagi eksistensi ke Mandaran kita adalah fakta sejarah keberadaan kerajaan atau ammara’diang Balanipa. Kita bisa merujuk ke sana sebagai batu penjuru yang mengarahkan sehingga tetap bertahannya eksistensi bahasa Mandar dan budayanya. Jika di kerajaan Banggae, tokoh sentral mula berdirinya adalah To Pole-pole yang datang dari Goa, maka di Sendana adalah Daeng Pallulung saudara Daeng Tumana, Tomakaka Tabulahan dari wilayah Pitu Ulunna Salu. Artinya, pada ke dua kerajaan tersebut, aspek adat sebagai fondasi pendirian kerajaan kurang kental, meski pada akhirnya, raja-raja dan keturunannya akhirnya juga karam dalam lautan adat dan budaya Mandar.
Balanipa berbeda dengan Banggae dan Sendana, raja pertamanya adalah orang Mandar asli, dan naiknya jadi raja karena faktor kesepakatan para hadat Appe’ Banua Kayyang. Nah, para puang dari empat persekutuan adat inilah yang juga bersepakat membenruk sebuah kerajaan sebagai pemersatu dari persekutuan-persekutuan adat yang ada. Ke-empat pepuangan sebagai cikal bakal kerajaan Balanipa itu adalah ; Napo, samasundu, Mosso dan Todang-todang. Kekuasaan dijalankan secara kolegial bersama mara’dia. Yang menarik adalah di wilayah inti Balanipa ( Kernland ), Tinambung sekarang ( eks distrik-distrik Limboro, Biring Lembang, Batulaya dan sebagian Allu) serta sebagian kecamatan Campalagian ( Eks distrik Kenje dan Tenggelang ), bahasa yang dipakai adalah hanya bahasa Mandar. Hanya di wilayah persekutuan adat lain, seperti Campalagian, Mapilli, Tapango, Allu, Taramanu, dan Tubbi terdapat bahasa atau dialiek masing-masing.
Dalam setiap perjanjian persatuan atau kerja sama antara Balanipa dengan persekutuan adat lainnya atau Assitalliang, tentu saja yang dipergunakan sebagai media komunikasi atau dialog adalah bahasa Mandar. Begitu juga dalam konteks yang lebih luas, yakni muktamar Tammajarra I yang mempersatukan kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana Binanga. Sejatinya dalam setiap wadah persatuan, harus ada media komunikasi yang difahami bersama, maka itu adalah bahasa Mandar. Dengan bersatunya semua wilayah-wilayah PBB dalam menggunakan bahasa Mandar sebagai lngua franca, maka beridirilah apa yang disebut suku Mandar dengan bahasa Mandar sebagai perekat jiwa dan kerohanian mereka. Yang pada akhirnya melahirkan kebudayaan dan peradaban Mandar Raya.

NB : Tulisan di atas hanya sebuah pendapat pribadi yang berdasar pada kajian pustaka dan sedikit menyimak realitas di lapangan.
Suka · Bagikan · 13 Januari pukul 20:30



Tidak ada komentar:

Posting Komentar