Minggu, 20 April 2014

SIRI' DAN KEAGUNGAN JIWA

Ada banyak nilai-nilai budaya di Mandar yang dikonstruksi dari intersubjektivitas yang terkoneksi dalam politik identitas kesukuan. Berfungsi mengarahkan prilaku dan pandangan, sekaligus sebagai blueprint atau rancang bangun bagi pengayaan kehidupan agar kompatibel dengan aspek internal atau spiritual manusia. Dan Siri’ adalah aspek spiritual utama yang menggaris bawai dan mengarahkan segala macam nilai yang sejatinya rentan dan mudah saling bertukaran. Ia bukan sekedar suasana jiwa yang rentan dengan perubahan suasanan lahiriah maupun batiniah, atau sebagai stabilsator belaka yang berpretensi mengendalikan emosi-emosi orang yang menghadapi berbagai problem hidup dan tantangan internal maupun eksternal. Siri adalah keagungan jiwa atau martabat diri yang mempertaruhkan segala kehormatan dan kesejatian Iman dan moralitas.

Distingsi Siri’ dengan rangkaian nilai-nilai yang mengurungnya, dapat disejajarkan dengan prinsip metafisika moral Immanuel Kant,” Dalam alam dunia yang terarah semua mempunyai nilai atau mempunyai keagungan. Apapun yang mempunyai suatu nilai dapat diganti dengan sesuatu yang lain yang menjadi padanannya ; apapun, dilain pihak, yang berada di atas semua nilai, dan dengan demikian tidak mempunyai padanan, mempunyai keagungan.”

Nah, keagungan itulah yang dinamakan Siri, karena kemutlakannya yang tak dapat dipertukarkan dengan apapun. Mulia atau hinanya seseorang ditentukan sejauh mana ia masih menjaga keagungan jiwa dan keluhuran budinya yang bermatra Siri’. Jika ada yang menukar siri’nya dengan uang, harta, status sosial bahkan untuk menyelamatkan jiwanya sekalipun, akan terhina dalam pandangan siri’. Dan yang berpendapat bahwa semua itu hal yang wajar, maka iapun telah hina dari kacamata siri’. Itulah sebabnya Baharuddin Lopa pernah mengatakan bahwa orang yang ‘ Kaiyyang Siri’, takkan mempertaruhkan kehormatannya walau dengan hal-hal yang sepele sekalipun, misalnya meminjam sepeda motor temannya kendati ia sangat membutuhkannya.

Jadi kita tak boleh bermain-main dengan siri’ dan mereduksinya jadi sekedar wahana pertahanan sosial atau sarana meninggikan ego dengan berpura-pura sabar atau marah. Siri’ tak bisa dikomputasi dan sekedar dibuah bibirkan. Ia sejatinya menyatu dengan diri pribadi orang Mandar atau diri itu sendiri. Siri’ mirip dengan etika Kristen yang lebih menjaga diri katimbang dunia, “ untuk apa memliki seluruh dunia jika diri sendiri tak dimiliki. Jika siri’ adalah cinta, maka ia adalah manifestasi cinta Ma Tzu yang universal dan bukan cinta ala Kong Hu cu yang bertingkat-tingkat, makin keluar makin menipis. Karena siri’ itu juga menghormati orang lain selain diri. Memaksa dan memperdaya orang lain adalah tidak terhormat. Keagungan diri atau siri’ tidak boleh dikorbankan demi kepentingan sempit atau demi tahta, harta dan wanita. Siri’ ada dalam diri Rasulullah yang diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Dengan kesadaran tentang Siri’ yang benar, maka kita dengan sendirinya akan bersifat rendah hati, itu juga sebagai modus agar siri’ tak goyah dan melenceng dari fitrahnya. Siri juga mestinya menimbulkan sifat altruism, sepi ing pamrih rame in gawe, berbelas kasih penuh kasih sayang, dan membaktikan diri pada makhlik hidup lain dan alam semesta. Termasuk tidak akan merusak tatanan alam dan lingkungan hidup dengan mengumbar sifat serakah dan agresif. Dalam ranah sosial kita bisa membaca apakah siri’ telah mengejawantah dalam diri individu, dengan melihat seberapa tentram dan damainya masyarakat. Tertib sosial dan tertib hukum sebenarnya adalah manifestasi dari pribadi yang ‘Well contained’ dan ‘well composed’ dan punya integritas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar