Rabu, 15 Januari 2014

SIBALI PARRIQ


Secara letterlejk, sibali parri adalah istilah atau frasa yang dikonstruksi dari dua kata negatif dan positif. Yakni “bali” dan “ parri”. Bali menurut kamus mandar adalah lawan, misalnya dalam kalimat,” kayyang begai balinna.” Yang artinya lawannya terlalu besar. Atau musuh, seperti dalam kalimat,” pasadia I sanjata, polei bali.” Artinya, siapkan senjata musuh akan datang. Bisa juga berarti pembangkang dalam kata pabali-bali. Makna positifnya ada pada kalimat,” simata na bali ma’jama luluare’na.” artinya saudaranya selalu dibantu bekerja.”
Sedangkan kata parri yang bermakna negatif adalah, kesusahan, “ sangga parri ulolongang dini.” Artinya, hanya kesusahan yang kujumpai disini. Yang positif adalah bersihkan, seperti dalam kalimat, parriq leqmai issinna.” atau bersihkan isinya sampai habis.
Ketika dua kata yang mengandung muatan negatif dan positif itu digabungkan untuk membangun sebuah konsep budaya, “ sibali parriq”, maka terciptalah sebuah makna yang sebenarnya juga mengadung prinsip sequence, bersifat suksesif secara dinamis hingga sampai pada tema yang diinginkan. Dengan kata lain kedua kata itu telah mengalami proses abstraksi yang menghimpun dua kondisi atau kutub yang saling berlawanan namun akhirnya menciptakan polar kekuatan dan keampuhan. Ketika ia memijarkan rasa dan keinginan untuk saling bantu, kerja sama, tolong menolong antar suami istri, keluarga dan antar masyarakat Mandar. Atau ketika ia terintegrasi menjadi prinsip emansipasi dan kesetaraan gender.
Untuk lebih memahami semua itu, saya akan beri sebuah cerita dari Afrika Selatan, tentang binatang “ Landak”. Kisah landak ini juga yang telah menginspirasi Nelson Mandela untuk merevitalisasi dan mengaktualkan sebuah nilai budaya yang bernama “ Ubuntu” yakni prinsip kebersamaan, gotong royong atau saling bantu, sebagai pemicu dan pemacu kemajuan bangsanya. Ubuntu bagi Mandela adalah The wholeness, egalitarian, sympathy yang terangkum dalam ungkapan,” I am cuz we are.”
Alkisah sekawanan landak gelisah dan ketakutan di musim dingin. Maka mereka memutuskan untuk saling menolong dengan jalan saling merapatkan badan. Tapi apa lacur, karena tubuh mereka yang berduri, masing-masing merasa sakit karena sama-sama tertusuk duri. Akhirnya mereka berpisah karena tak tahan dengan keadaan itu. Yang terjadi kemudian, justru mereka mati satu demi satu oleh kerasnya udara dingin yang bersalju. Kemudian mereka menyadari kelirunya perpisahan, yang justru bisa membunuh mereka semua. Kembalilah mereka saling mendekat dan berdekap untuk mengatasi setiap masalah termasuk masalah kedinginan.
Apa yang bisa kita petik dari fabel di atas kaitannya dengan eksistensi konsep sibali parri, Jelaslah bagi kita bahwa betapapun sakitnya kebersamaan, namun lebih menyakitkan keterpisahan. Ada ungkapan Mandar yang bermakna.” Piring di rak pun bisa saling bergesakan, apalagi manusia. Ya, begitulah seharusnya, perbedaan, rasa kecewa dan sedih yang timbul dari kebersamaan hendaknya tidak membuat kita bersimpang jalan dan bertolak belakang, tapi harus dijadikan sebagai pelatuk untuk lebih saling berempati dan berkasih sayang ( siammasei). Dalam kesatuan dan persatuanlah letak kekuatan kita. Kolektivisme adalah alami dan masih perlu dijaga di Mandar, sedang individualisme adalah barang asing.
Kesimpulnnya adalah, bahwa kesusahan, penderitaan dan duka derita, jika dishare bersama dalam keluarga dan masyarakat, maka ia akan menjadi prinsip yang justru positif dan menjadi energy yang menghidupkan untuk memelihara rasa solidaritas, senasib sepenanggungan, kasih sayang dan cinta. Itulah “ Sibali Parriq”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar