Rabu, 27 Desember 2017

NATAL DAN EBENEZER SCROOGE


Terlepas dari kontroversi tentang ketepatan dan kebenaran hari kelahiran Jesus yang adalah Nabi Isa, nabinya penganut agama Semitis ; Islam, Kristen dan Jahudi, Natal akan datang dengan segala warna, pernak-pernik dan dampaknya. Bagi kaum Nasrani, Natal harus disambut dan dirayakan dengan sepenuh suka dan keriangan ‘ With all ones might, with all ones heart, at all cost’. Semua kristen yang ortodoks, heterodoks, fundamentalis atau yang reformis, akan menyongsong dan membesarkannya karena ia adalah Holy atau Kudus. Hanya mereka yang berhati dan bepikiran layaknya Ebenezer Scrooge yang akan berkerut dan pusing jiwanya bila natal tiba.

Karakter rekaan Charles Dickens dalam Christmas Carol itu sungguh telah menjadi representasi banyak orang di dunia, dunia kristen khususnya, yang merasa tidak suka dan cemas pada natal yang memang banyak menuntut ini-itu. Walau pada akhirnya Scrooge disadarkan oleh hantu temannya, Marley, tentang pentingnya merayakan Natal, tapi sikap serakah dan keengganan Scrooge berbagi pada hari Natal tetap abadi dan dikenang sebagai sesuatu yang mesti dihindari dan dijauhi.

Ebenezer Scrooge adalah tipikal kaum borju yang hanya kesemsem dan memikirkan uang, uang dan uang. Stingy man par excelents , pragmatis 200 karat, dan saudagar berbasis untung rugi belaka. Hidupnya pun menyendiri dan hanya ditemani pelayannya yang underpaid. Semua penghasilannya ditimbun dicelengan yang kian gendut dan bangga dengan sikap super iritnya itu. Scrooge tak hanya tidak suka natal, bahkan membencinya. Natal dan semua keharusannya adalah nonsense baginya. Ketika kebanyakan kristen berhias menyambut natal, berbelanja, berpesta dan berbagi hadiah di hari natal, Scrooge justru mengencangkan ikat pinggang dan mengunci hatinya, ia bahkan tak membolehkan pegawainya untuk libur di hari natal.

Mungkin karakter Scrooge agak berlebihan, tapi menurut saya itu pasti ada dalam kehidupan manusia dan jumlah yang tidak sedikit. Akan ada saja manusia yang tidak senang dan bahagia dengan kehadiran natal. Bentuk ketidak senanganan atau kebenciannya bisa dalam bentuk lain. Misalnya dengan menyebar teror dan ketakutan. Dan apapun alasan orang-orang zealot yang hendak mengacaukan perayaan natal dan kebahagian kaum yang merayakannya, tidak dapat diterima. Hanya saja kita mestinya membuka mata hati kaum pemarah itu dengan sabar dan mau terus membuka dialog. Bukan dengan cara-cara warning dan persiapan seakan-akan bakal ada perang lokal.

Karuan pada setiap natal dlakukan pengerahan pasukan dan keamanan dalam jumlah ribuan, bahkan penembak jitu pun disiapkan, belum lagi pagelaran segala Banser dan Kokam. Sikap waspada memang bagus, dan peringatan lewat mas media tak salah, tapi dampaknya adalah akan muncul stigma diam-diam bahwa ummat Islam masih perlu terus dijinakkan dan diawasi. Memang itu menyasar pada kelompok Islam tertentu. Tapi kesukaan orang untuk menggeneralisasi tak kunjung bisa diatasi.

Lihat saja ulah Presiden Amerika, Donald Trump, hanya karena tindakan sekelompok Islam yang keras dan radikal, ia telah berpikir bahwa semua orang Islam adalah berbahaya dan harus diberi pelajaran, diawasi dan dicekal. Buktinya Amerika di bawah komando Trump telah melarang warga dari enam negara Islam untuk memasuki Amerika. Dan yang lebih menunjukkan sikap ketidak sukaan Trump pada Islam secara luas adalah pengakuannya bahwa Jerusalem adalah ibukota negara Israel. Dan tindakan aneh tersebut dibuat justru menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru yang mestinya semua orang menyambutnya dengan damai dan sepenuh suka cita.

Justru yang perlu digaris bawahi dalam konteks natal adalah pesan Presiden Jokowi pada natal tahun lalu di Manado bahwa musuh bersama kita adalah ‘kemiskinan’. Dan salah satu yang menghambat upaya memberantas atau mengurangi kemiskinan di sekujur republik ini adalah dengan masih banyaknya sosok-sosok warganegara yang prilakunya seperti Ebenezer Scrooge. Dalam arti masih terlalu banyaknya orang atau petinggi yang menempatkan ‘uang’ di atas segalanya, bahkan mempertuhan uang, sehingga korupsipun merajalela. Dimana uang rakyat dalam jumlah milyaran atau trilyunan yang sejogianya digunakan untuk memperbaiki kondisi rakyat, malah ditilep dan dirampok.

Jadi sebagaimana Scrooge yang pada akhirnya bertranspormasi menjadi pemurah. Peramah dan menghargai natal, kaum Kristiani dan tentu kita semua mesti bisa beruabah menjadi ‘Manusia Baru’ yang merawat Pancasila, begitu petuah Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta di Koran Media Indonesia, Minggu 24 Desember 2017. Yang menurut saya itu berarti pula bahwa semua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar