Selasa, 09 Januari 2018

PENGAMEN DI KOTA TUA


Hari senen kemaren, 7 Januari, saya bermaksud datang lagi ke Museum Keramik dan Seni Rupa di Kota Tua. Saya mau mempelajari dan menikmati lukisan-lukisan indah dari para maestro dari berbagai jaman dan aliran di Indonesia. Tapi malang nasibku, semua museum yang ada di sana tutup . Konon katanya, hari senin adalah hari bersih-bersih museum dan lingkungannya, entah apa maksudnya. Akhirnya aku hanya melihat apa yang bisa dilihat, dicatat dan dipotret di pelataran museum. Ada banyak pengunjung, turis lokal maupun manca yang duduk2 di sekitar museum-museum yang saling berhadapan dan berdekatan ; museum Fatahillah, museum Wayang dan museum Keramik dan Seni rupa. Di sela-sela keramaian dan kerumunan ada beberapa kelompok pengamen dan pengasong yang mencoba mengais rejeki, ditingkah nyanyian burung-burung kecil yang terbang rendah.

Setelah menikmati eksotisnya gedung-gedung tua yang menyimpan banyak cerita suka-duka tentang semangat penjajahan dan pembebasan yang berselang-seling, silih-berganti, akhirnya aku mampir di Prasasti Sejarah Trem Jakarta. Di paruh terakhir abad 19 hingga menjelang berakhirnya paruh pertama abad 20, moda transportasi di Jakarta atau Batavia adalah berupa kereta kuda, trem uap dan trem listrik. Tapi penanda abadi era ini adalah istilah jaman “ Kuda Gigit Besi”. Yang menarik dari informasi di Prasasti ini adalah ia mencatat adanya segregsi atau diskriminasli ala kolonial. Ternyata kereta yang ada dibagi dalam tiga kelas ; kelas satu, dua dan tiga. Kelas terakhir yang diperuntukkan untuk kaum pribumi, disebut juga ‘ Pikolan’. Di sini kereta atau gerbongnya adalah bak terbuka yang juga buat mengangkut hewan,ikan,sayuran,dan buah-buahan.

Sedang asyik merekam segala sesuatu yang menarik pada Prasasti Sejarah Trem di Jakarta, lamat-lamat kudengar dari arah belakangku seorang memainkan Air on The G Stringnya Johann Sebastian Bach dengan biola. Spontan aku menengok kebelakang, ternyata dimainkan oleh seorang anak muda berambut gimbal yang duduk di atas sebuah batu bundar. Seorang temannya yang juga berambut gimbal tidur-tiduran di hadapannya. Mereka berdua adalah para pengamen yang beroperasi disekitar kota tua.

Ada perasaan aneh dan hairan yang memprovokasi rasa penasarannku akan fenomena tersebut. Akhirnya aku datangi mereka untuk membayar itu semua. Waktu kutanyakan pada si rambut gimbal yang masih sedang asyik bermain biola apakah betul tadi memainkan nada-nada indah dari Bach, ia hanya mengangguk dan tersenyum polos dan setengah tersanjung. Temannya yang sedang tidur-tidur ayam malah balik bertanya padaku apakah aku dari kasta penikmat musik klasik. Aku jawab bahwa aku hanya sekedar tahu. Tersebab aku ingin menggali lebih banyak dari mereka tentang hal ihwal musik dan pernak-pernik kehidupan mereka sebagai pengamen.

Cerita punya cerita, ternyata anak muda berambut gimbal yang bernama Ovan, yang tadi hanya tiduran itu adalah yang lebih faham musik klasiek. Karena ia pernah kuliah pada sebuah akademi musik di Bandung milik maestro musik Harry Rusli. Dulu mayornya adalah piano, kini ngamen dengan biola yang dipelajarinya baru sekitar 8 bulanan. Setelah kupancing ia mau juga menceramahi aku dengan pengetahuannya yang lumayan tentang sejarah perkembangan musik klasik serta hal-hal yang pribadi dari para komposer yang disebut dan dikaguminya. Dengan bersemangat ia mulai dengan periodisasi musik klasik yang katanya di awali oleh masa musik Gregorian lalu masuk ke zaman Barok dan Rokoko dimana JS. Bach adalah tokoh besarnya. Kemudian datanglah era klasiek dan romantisme tonggaknya adalah Mozart dan Bethoven. Hanya dari seluruh penuturannya ada semacam missing link karena ia langsung melompat ke era musik modern yang katanya dimotori oleh Jimmi Hendrik. Dan juga tak menyebut musikYunani dan musik abad pertengahan yang menjadi dasar perkembangan musik klasik barat.

Tentu saja kekurang lengkapan data dan fakta ceramahnya itu tak mengurangi simpatiku pada Ovan yang ternyata juga punya filosofi hidup yang lumayan. Ketika kutanya apakah prinsip hidup Ovan yang terkesan menyukai hidup bebas dan bohemian. Ovan berkata “ Jangan mimpi bisa membebaskan bangsamu jika kau sendiri tidak bebas” busyet. Ovan bukan hanya mau bebas tapi seperti cuek pada sekitar dan masyarakanya. Itu ditandai dengan rambut gimbalnya dan beberapa tatoo di bagian-bagian tubuhnya. Untuk membuktikan kecintaannya pada musik klasiek, ia menunjukkan tatoo bergambar wajah Bethoven di kaki kirinya dan Paganini di kaki kanannya yang tersembunyi di balik celananya yang agak lusuh.

Bagiku tak penting lagi keakuratan wawasan sejarah musiknya atau apakah dia kenal Anton Rubinstein atau tidak, apakah paham pada teori emansipasi musiknya Arnold Schonberg atau belum. Aku melihat mereka sejenis makhluk langka di jaman ‘Now’ ini. Di jaman ketika nyaris semua anak muda, termasuk teman-teman seprofesinya di lingkungan Kota Tua berlomba-lomba mempelajari dan menghafal lagu-lagu teranyar yang lagi trendy dan booming, seperti Havana, Perfect, atau Anywherenya Rita Ora, mereka berdua seperti ingin mengatakan ‘Ora ‘pada semua itu. Mungkin juga pada lagu Virgoun atau Armada yang lagi meledak di blantika musik pop Indonesia.

Berbeda dengan pengamen lain yang seperti asal bermusik dan bersikap, mereka berdua,Ovan dan Bob tahu pasti apa yang mereka lakukan. Mereka mengkaitkan kebebasan versi mereka yang ingin diraih dengan kewajiban pada hal yang lebih dari sekedar menyambung hidup sebagai pengamen jalanan. Entah apa definisi atau makna kebebasan bagi Ovan dan Bob, satu yang pasti usia mereka sudah melewati batas dimana anak muda rata-rata mengalami periode Sturm und Drang yang ekstrem. Artinya mereka tidak lagi sekedar memberontak dari tatanan sosial mapan yang dirasa membelenggu segala hasrat,keinginan serta ekspresi mereka. Atau sekedar melakukan sesuatu yang aneh hanya untuk menaraik perhatian orang.

Agaknya mereka sudah sampai pada kesadaran yang lebih sublim seperti yang Goethe tulis dalam sebuah sajaknya ‘Freudvoll und Leidvoll ( Gembira dan Sedih) yang terjemahannya berbunyi :
Gembira, gembira sekali
Sedih, sedih abadi;
Bahagia hanyalah
Jiwa yang kasih
Sebagaimana diketahui bahwa Goethe adalah salah satu eksponen gerakan Sturm und Drang di abad ke 18. Namun ia tak larut demi pembrontakan itu sendiri atau mengejar kebebasan untuk dirinya. Karna Ia juga pernah mengatakan “ Und das Gezet nur, Kann uns Freihet geben” ( Dan hanya hukum yang dapat memberikan kebebasan kepada kita ).

Namun nasib rata-rata para pengamen jalanan seperti mereka di jaman now ini masih mengenaskan, karena masih dianggap sebelah mata oleh banyak orang. Dibeberapa tempat, mereka diperlakukan seperti anjing geladak. Pada sebuah rumah makan yang lumayan ramai dan laris, ada sebuah peringatan “ Pengamen dilarang masuk”. Dibanyak kesempatan mereka lebih dianggap pembuat keributan katimbang pemberi hiburan murah. Apalagi di daerah gedongan, mungkin senyum anjing pudel sang pemilik rumah yang disatroni pengamen lebih berharga dari senyum manis sang pengamen. Harus dibedakan antara pengamen beneran dengan pengamen palsu. Yang terakhir ini adalah mereka yang naik ke bus-bus atau angkutan umum lainnya hanya menepuk-nepuk tangan lalu membuat narasi bernada ancaman. Yang begini memang meresahkan warga kota. Karena masalah inilah yang membuat saya mengapresiasi cita-cita mereka yang berhubungan dengan profesi mengamen.

Salah satu motif mereka berdua mengamen ria di Kota Tua adalah bahwa mereka ada niatan memasyarakatkan musik klasik dan memberi pendidikan musik pada rekan-rekannya para pengamen yang berniat mau belajar dan meningkatkan kemampuan di bidang musik. Dalam hati berkata semoga terlaksana. Oleh semua itu aku sampai pada kesimpulan bahwa mereka berdua Ovan dan Bob punya nilai yang sama dengan benda-benda dan para pelaku sejarah yang telah diabadikan di dalam museum.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar