Jumat, 22 April 2011

POLIGAMI


POLIGAMI Apabila orang berbicara tentang poligami, maka langsung orang mengira, bahwa agama Islam adalah sebagai pelopor memasyarakatkan poligami. Padahal poligami dalam pandangan agama Islam merupakan pintu darurat yang hanya sewaktu-waktu saja dapat dipergunakan. Umpamanya saja pintu darurat dalam psawat terbang, hanya dalam keadaan terpaksa saja dapat dibuka dan dimamfaatkan. Dalam situasi biasa (aman ), malahan dilarang membukanya. Sebenarnya poligami sama tuanya dengan sejarah kehidupan manusia, yaitu jauh sebelum agama Islam datang. Bangsa2 terdahulu seperti Yahudi membolehkan penganutnya berpoligami, bahkan tanpa batas tertentu. Pada bangsa-bangsa yang tidak beragama Islam pun berlaku poligami seperti di Afrika, India, Cina dan Jepang. Sebenarnya agama kristen juga tidak melarang poligami, sebab di dalam injil tidak ada satu ayatpun dengan tegas melarang poligami. Masalah poligami ini dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan pada pasal 55: 1. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri. 2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya 3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang. Selanjutnya pada pasal 56 disebutkan , suami yang hendak beristeri lebih dari seorang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama dan perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukam yg tetap Kalau ummat Islam berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam diatas, maka tipis kemungkinan orang berpoligami. Walaupun pasal 55 ayat 1 memberi peluang boleh beristeri sampai empat orang dalam waktu yang bersamaan, tetapi ayat 1 ini dikunci ayat 2, yaitu harus mampu berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak. Timbul pertanyaan, apakah ada orang yang mampu melakukannya? Apalagi kalau pasal 55 ayat 2 dikaitkan dengan pasal 58 ayat 1, a dan b, bahwa harus ada persetujuan dari isteri dan brdasarkan penyelidikan Pengadilan Agama, orang yang bersangkutan benar-benar mampu dalam soal materi untuk menjamin kehidupan keluarga. Wallahu alam Jakarta, 23 April 2011 Syapiyullah Pilman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar