Rabu, 05 Maret 2014

GUDANG PELURU

Pada hari Senin, 3 Maret lalu saya pergi ke Jalan Gudang Peluru, Tebet, Jaksel. Saya menyusuri jalan itu sambil bertanya dalam hati, apa sebab jalan ini diberi nama, gudang peluru. Dan mengapa di jalan yang namanya serem ini, orang-orang kaya dan elite Jakarta mau bermukim. Yang saya tahu tempat yang sekarang asri dan mewah ini dulu adalah medan pertempuran antara tentara Belanda di bawah Daendels melawan pasukan Inggris yang dipimpin Kolonel Gillespie pada tahun 1811. Perang ini dimenangkan oleh Inggeris yang selanjutnya berkuasa di Indonesia sampai 1816 di bawah Raffles. Dengan riwayat ini kita bisa berasumsi bahwa Inggerislah yang menyerang lebih dulu ke daerah ini untuk melumpuhkan arsenal atau gudang peluru Belanda yang mungkin ada di sana. Memang sebuah arsenal dalam perang akan menjadi target pertama untuk dihancurkan guna melemahkan dan melumpuhkan lawan. Bagaimana bisa perang kalau peluru atau amunisi tidak ada atau sudah hancur.

Dengan logika itu pula kita bisa bertanya, bagaimana TNI khususnya Angkatan Laut bisa bertahan dari serangan musuh jika terjadi perang, sistem arsenalnya saja begitu rapuh dalam hal perawatan dan penjagaan serta dalam lokasi yang rentan dijadikan target penghancuran. Untung saja kemaren terjadi ledakan di arsena l itu yang katanya ringan – korban 83 luka, satu meninggal, satu kritis- di Pondok Dayung, sehingga bisa segera dilakukan pembenahan dan evaluasi total terhadap Rencana Tata Ruang dan Wilayah TNI, ini saya sebut ‘ Blessing in Disguise’. Urgensinya bukan saja harus bisa memperhatikan RTRW masyarakat sipil, sehingga sebuah instalasi militer tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk, tapi juga agar nantinya tidak lumpuh duluan jika ada perang kilat ( blitzkrieg ) musuh seperti yang dilakukan Hitler ke Polandia dengan menghancurkan target-target strategisnya lebih dulu, atau oleh Jepang yang secara tiba-tiba meluluh lantakkan pangkalan utama Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour, Hawaii dengan serangan udara oleh Kamikaze ( pasukan berani mati ) Jepang yang legendaris itu. Kemudian melumpuhkan Amerika, dan Jepang pun bisa melenggang ke Filipina, Asia Tenggara sampai ke Indonesia. Titik balik kemenangan sekutu juga berawal dari penguasaan atas pangkalan pertahanan Jerman di pantai Normandia dan Iwojima di Jepang.

Jika pelabuhan atau ibukota negara diketahui selalu jadi target utama musuh, bagaimana mungkin TNI AL begitu ceroboh menempatkan Arsenalnya di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Yang meski telah dirahasiakan, tapi di dunia kontemporer sekarang ini, tembok juga telah punya mata. Lambang negara RI I saja bisa diobak-obok atau disadap telponnya. Untung saja kejadian semalam tidak melumpuhkan proses bongkar muat barang di pelabuhan nomor satu di Indonesia itu. Kalau itu terjadi, inflasi akan menggila dan tak tertanggulangi. Makanya saya menyayangkan pernyataan Kapuspen TNI, Iskandar Sitompul yang mengatakan bahwa ledakan di Tanjung Priok tak begitu significan dari segi strategis, karena arsenal terbesar ada di Surabaya. Ini Apologia sekaligus buka rahasia.

Jangankan sebuah Arsenal, para perwira tinggi AL saja rela tanpa syarat direlokasi dari komplek perumahan mereka yang asri dan indah di Jalan Dayak dulu untuk dijadikan pelabuhan petikemas. Orang tua saya dulu ada di komplek itu bertetangga dengan laksamana Emir Mangaweang, Andi Azis, Kemal Idris. Bahkan Laksamana Sudomo ketika masih menjadi KASAL, dulu juga tinggal di dekat komplek kami persisi di depan komplek prajurit AL Dewa Ruci dan Dewa Kembar, kemudian akhirnya pindah juga. Kami menyadari jika ada perang dan serangan kilat ke Tanjung Priuk, maka kami yang berderet di sekitar Pantai Zamvoort yang indah, akan mati duluan, makanya lebih baik pindah. Karena perwira tinggi adalah ibarat kepala bagi tubuh TNI.

Sebagai bagian dari keluarga besar TNI, saya percaya dan tahu pasti, bahwa TNI khususnya Angkatan Laut adalah pewaris nilai perjuanagan 45 ( Dharma Pusaka 45 ) dan prajurit Sapta Marga yang pantang menyerah, bayangkara negara dan penghayat PINAKA BALADIKA DAN CATUR DARMA EKA KARYA. Yang antara lain mengandung nilai Cantikarma, mampu menolak bahaya dengan mengamalkan ilmu yang dimilikinya dalam setiap lingkungan dan keadaan. Dan mampu merealisasikan ilmu-amaliah dan amal-ilmiah yang dalam pelaksanaannya dilandasi oleh kesadaran dan keyakinan , bukan karena meraba-raba atau dipaksakan. Selalu dalam arahan yang teratur dan sistimatis. Sehingga bagi seorang prajurit tidak ada lagi sesuatu yang canggung, ataupun sulit, karena telah memiliki segala kunci yang diperlukan. Jalesveva Jayamahe ( di laut kita jaya ), Ever Onward Never Retreat.

1 komentar: