Rabu, 05 Maret 2014

PANCASILA BUKAN PANCASIAL

Sering kali atas nama demokrasi dan hukum kita mau melecehkan harkat martabat sesama manusia, dengan memperlakukan seseorang secara tidak proporsional, bahkan merendahkan. Dan atas nama kepentingan rakyat, kita rela mencaci atau melecehkan sesama anak bangsa, bahkan kepada pejabat yang seharusnya kita hormati karena jabatannya yang penting dan strategis. Wapres Budiono yang ditengarai terlibat dalam konspirasi kasus Bank Century, telah diancam-ancam untuk dimakzulkan oleh beberapa anggota DPR Jika tidak mau memenuhi panggilan untuk diinterogasi di depan sidang DPR. Maka wajarlah jika Menko Perekonomian Hatta Rajasa meradang dan memperingatkan salah seorang kadernya di Partai Amanat Nasional. yang dianggapnya lancang mau melakukan proses impeachment itu dan mengatakan bahwa Panwas Bank Century dibentuk bukan untuk hal yang lebih jauh, melampaui tugas dan wewenangnya, mengejar target-target politik. Bukankah Wapres yang kalem itu sudah menyerahkan kasusnya ke KPK untuk diperiksa lebih lanjut dan insya Allah akan segera disidang pada kamis ini.

Juga dalam masalah rencana Pemerintah bersama DPR untuk mengamandemen KUHP dan KUHAP, telah terjadi kehebohan yang berpotensi memecah belah bangsa. Perbedaan pendapat tidak lagi terjadi antara rakyat dengan pemerintah dan DPR tapi antara sesama lembaga penegak hukum negara telah terjadi saling kritik dan polemik. Kecuali Kejagung yang adalah pendukung utama RUU KUHAP-KUHP, semua lembaga hukum seperti KPK, Kepolisian, MA, bahkan Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan ( PPATK ), Badan Narkotika Nasional ( BNN), tidak setuju dengan RUU itu. Memang banyak rancangan yang berpotensi mengurangi kewenangan KPK atau polisi untuk membongkar kasus-kasus korupsi, seperti penyadapan mesti dapat izin dari hakim komisaris, korupsi bukan dianggap kejahatan luarbiasa, dan hilangnya wewenang untuk melakukan penyelidikan, tapi seharusnya tidak melenyapkan nilai-nilai dan prinsip untuk saling menghormati dalam semangat musyawarah untuk mufakat.

Dengan sikap-sikap tersebut di atas, sepertinya hukum telah menjadi perebutan antara pihak-pihak yang menonjolkan kepentingan dan kekuasaan masing-masing. Kalau begitu hukum tak lagi menjadi yang supreme, namun coba ditaruh di bawah kaki kekuasaan. Padahal mestinya sejajar antara keduanya, hukum tanpa kekuasaan lumpuh memang, tapi kekuasaan tanpa hukum kejam dan brutal. Makanya perlu dicarikan titik temu agar nantinya hukum tidak mencerminkan kehendak dan kepentingan kekuasaan belaka, pemerintah atau rakyat. Kita memang berkepentinga pada terkikis habisnya prilaku korup, tapi pemerintah jangan juga dianggap pelayan dan pelaksanan saja, mereka juga harus diberi penghormatan dan ketaatan, agar tak terjadi anarkisme demi tegaknya orde sosial dan pemerintahan yang sehat.

Harus ada balance of power, jangan sampai anarkisme terjadi lantas jadi jalan masuk datangnya kekuasaan yang otokratis yang kadang pandai memanipulasi keadaan. Kekuatan masyarakat sipil terletak justru pada keterikatannnya pada hukum, norma dan kaidah-kaidah sosial, bukan sebuah ‘ Natural Society’ yang tanpa arah. Harus ada aliansi yang bisa disegani pemerintah sehingga suara rakyat bisa didengar dan kekuatan arus bawah punya pengaruh. Semua elemen masyarakat civil harus menyadari bahwa pemerintah bisa berbuat sewenang-wenang karena kita juga yang tak memegang teguh moral dan prinsip. Pada setiap masalah crusial kita selalu ribut dan memaki-maki. Hanya dengan uang recehan kita mau mempertaruhkan negara ke depan dengan membela yang bayar, bukan yang benar, misalnya dengan menerima serangan fajar pada pemilu atau dengan uang tak seberapa kita mau menyanjung-nyanjung pejabat atau orang atas setinggi langit. Rakyat harus kuat dan menolak semua kepalsuan para penguasa dan calon penguasa itu. Dengan begini rakyat akan punya aura, marwah dan wibawa untuk mencegah pemerintah berlaku sewenang-wenang, korup dan a moral.

Sejak jaman Sukarno telah ada pemilu, demokrasi, upaya pemberantasan korupsi, dan upaya penegakan hukum, dan sampai kini semua rentan disalah gunakan. Makanya semua produk nation state yang sejatinya bagus itu harus dikawal oleh rakyat secara elegan dan dewasa. Tidak usah mengatakan jangan pilih” politisi kotor “, tapi kita dulu yang harus bersih dari sogokan dan tidak kotor, maka perintah juga akan bersih dan ngga berani macam-macam. Jadi harus dibalik, bukan bagaimana mencari sapu yang bersih untuk membersihkan kotoran, tapi bagaimana kita membuat sapu tidak bekerja karena sudah tak ada kotoran, kan sapu akan tetap bersih juga.

Orang Mandar membina hukum dan adatnya dengan lima azas : Assimemangang ( kodrat manusia ), assipuraloang ( kesepakatan ), abiasang di seseqna apiangang ( kebiasaan terhadap yang baik ), pappasang todiolo ( petuah lelhur ), paqannana seqiadaq ( penetapan Hadat ). Semangat hukum dan adat Mandar itu adalah kebersamaan yang berdasar pada tanggung jawab dan kewajiban tidak melulu meributkan hak yang sejatinya lahir dari pandangan hidup liberal dan individualistik barat. Memang tidak eksak, tapi mengalir. Hukum ada tapi bisa dimusyawarahkan. Roh atau budaya hukum Mandar ini adalah salah satu sumber disamping dari hukum adat lain di nusantara, yang telah menjadi pembentuk Pancasila, khususnya pasal empat. Dan Pancasila seharusnya bisa melandasi semua produk ketatanegaraan dan hukum di Republik ini, agar tak jadi negara Pancasial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar