Kamis, 20 Februari 2014

TRANSFORMASI LAGU RAKYAT

Di sekolah musik Yasmi dulu saya belajar gitar klasik dibawah bimbingan Adis Sugata. Tapi ini tak membuatku bisa mencintai musik gitar klasik atau gitar kopong lebih dari kecintaan pada gitar listrik yang di masa saya muda memang sedang booming oleh marak dan populernya group-group band dalam dan luar negeri. Padahal saat itu ada hasrat untuk mendalami musik gitar klasik yang saya anggap lebih berkelas dan berbudaya dengan sejarah yang lebih tua meski tetap marginal di tengah gempuran dan popularitas gitar listrik. Entah apa yang membuat saya kurang bergairah saat itu, padahal metode belajar yang dipakai adalah “ Yamaha Classical Guitar Methode” yang telah disesuaikan dengan anatomi orang Asia atau Indonesia yang mencampur gaya pop, klasik dan plamenco. Fingering diikuti dengan etude-etudenya F, Caruli atau Allegreto J. Kuffner dan Andantino A. Cano yang diajarkan pak Adis Sugata di tingkat dasar sungguh membuatku bosan, tertekan dan menjadi sombong, karena memang pada saat itu saya telah aktif sebagai anak band yang mampu memainkan dan meraungkan gaya permainan Richiie Blackmore dari Deep Purple atau bahkan petikan atau sontekan aneh ala Jimmy Hendrik.

Tak tahan oleh formalitas dan klasikisme para pengajar, akhirnya saya hengkang dari sekolah musik berkelas itu, kemudian terjun bebas bermain musik di gang-gang, jalanan, kampus ataupun pentas-pentas kecil-kecilan. Jika ketemu teman-teman di gang atau di kampus – sesama anak band atau penggembira-, kami biasanya memamerkan teknik-teknik rock ( tapping, bending dll) atau gaya bermain gitaris dunia saat itu yang dipopolerkan oleh majalah musik ‘ Aktuil ‘ besutan Denni Sabri. Kami begitu memuja supergroup2 cadas dunia yang didominasi oleh Deep Purple, Grand Funk Rail Road, Led Zeppelin, Black Sabbath, Aerosmith atau Judast Priest yang beraliran Hard Rock atau Underground. Band-band lokal kami anggap sebelah mata, kecuali yang mengikuti paham musik batu bergelinding atau sekeras cadas, seperti Godbless, AKA ( SAS), Super Kid, Bentoel, Rawa Rontek dll. Band-band beraliran pop dan mellow ketika itu kami sebut sebagai musik ‘ cacingan”. Kendati sesekali dan secara diam-diam kami melagukan karya mereka di depan gang dekat rumah sang pujaan di bawah bulan purnama atau bulan separo.

Di jaman gila-gilaan itu, musik pop masih di anggap sebelah mata oleh para rockers . Jangan Tanya musik, keroncong, dangdut, apalagi lagu-lagu daerah atau rakyat ( folk song ). Pada suatu malam saya bertandang ke rumah seorang teman dari suku Ambon atau Ternate. Saat itu dia dan teman-temannya sedaerah sedang berlatih Vocal Group untuk sebuah Festival Folk Song yang di masa itu juga sedang marak. Saya diam-diam memperhatikan ulah dan gaya mereka dalam menghayati repertoire lagu daerah yang mereka nyanyikan secara keroyokan dan dalam kebersamaan yang kental. Cara mereka membagi suara dan mengarensemen lagu-lagu seperti, Bolero atau Gaba-gaba bulu sungguh menarik, mereka memasukkan unsur-unsur rock dan gaya afro di sana. Chord dan harmonisasinya juga variatif sekali, diselingi modulasi-modulasi yang manis serta overtune yang bagus dan tak terduga. Mereka seperti begitu bebas dan leluasa bereksperimen, berinovasi dan bereksplorasi. Entah sadar atau tidak, mereka telah memasukkan dalam musik mereka unsur-unsur Gregorian, musik rakyat, rock dan jazz sekaligus. Saya jadi teringat Bela Bartok, Stravinski bahkan Debussy.
Komponis-komponis di atas adalah pelopor dan pembangkit lagu-lagu rakyat yang dalam istilah Anton Dvorak disebut musik ‘ The New World”. Bela Bartok bersama Kodaly, di masanya telah mengumpulkan 16.000 lagu-lagu rakyat Hongaria untuk mengembangkan budaya Magyar. Stravinsky menggali potensi musik rakyar Rusia dan menentang predominasi musik romatik-klasik abad 19 yang dianggapnya terlalu mengagung-angungkan emosi, keindahan subjektif, serta super fantasi yang berlebihan. Sedangkan Debussy yang terpengaruh oleh musik gamelan itu, dalam karyanya telah mencampur tradisi oriental, pentatonik dan pelog-slendro.

Penilaianku pada lagu rakyat seketika berubah. Tadinya saya menyangka musik rakyat itu identik dengan tradisionalisme yang susah dan emoh berubah, seperti musik “ Sayang-sayang” atau ‘ Kacaping’ di Mandar. Namun ternyata lagu rakyat adalah genre musik daerah yang mudah sekali beradaptasi dan luwes, karena memang ia tercipta dari alam dan kehidupan. Berbeda dengan musik gamelan Jawa yang identik dengan kraton dan dunia dewa-dewi. Atau musik klasik yang merupakan ekspresi kaum aristokrat dan kaum konservatif eropah di abad-abad lalu. Anak dari budaya barock serta klasik- romantik yang memuja virtuoso, kemegahan dan super human, seperti Othello pada Bethoven, Figaronya Mozart, Don Juan dari Strauss atau Romeo and Julietnya Gounod.

Musik rock juga kemudian saya sadari karam dan berhenti pada sosok besarnya seperti Elvis Presley, John Lennon atau Paul Mc Cartney, Jimmy Hendrik, Richi Blackmore, Ian Page, Ozzi Osborne, Ingwe Malsten atau Ian Antono di Indonesia. Pada Jazz juga selalu mendewakan para virtuosonya seperti Louis Amstrong, Benni Godman, Miles Davis, George Benson atau Lee Riteneur. Musik pop lebih karam dalam tradisi fethisisme dan idolatry, masa’ penyanyi yang bermodal tampang, tubuh bahenol dengan suaranya hanya lumayan bagus, dan baru produksi satu dua album sudah disebut Dive atau Legend. Berlebihan, ini hakekatnya iklan dan kampanye sembarangan.

Bukan antipati pada jenis-jenis musik tersebut di atas, hanya ingin membandingkannya dengan kepolosan, kerendah hatian, kealamian serta merakyatnya lagu rakyat yang genuine. Tidak dibuat-buat atau bergenit-genit, apalagi bergoyang oplos dan ngebor untuk menyesatkan orang, tapi malahan mengembalikan orang kepada jati diri, lingkungan dan daerah aslinya. Coba simak apa yang dikatakan oleh Claude Debussy berikut ini seperti yang dikutip oleh Suka Harjana dalam bukunya Musik Kontemporer, Dulu dan Kini, “ … saya tidak melakukan revolusi apapun dan saya juga tak menghancurkan apapun. Saya merintis jalan saya sendiri dan membuat sesuatu yang lain dari pada mereka yang menyebut dirinya revolusioner, ini bukan propaganda untuk ide-ide saya… saya berpihak pada kebebasan. Itu saja. Dan kebebasan sejati itu datang dari alam. Segala suara yang anda dengar dari sekeliling anda, bisa dirangkum dalam nada-nada. Secara musikal, orang bisa mengungkapkan apa saja yang ia mau melalui irama kehidupan semesta yang ditangkap oleh kepekaan pendengaran manusia sebagai suatu kenyataan yang ada di sekeliling kita. Orang-orang tertentu maunya ingin terlebih dahulu membuat aturan-aturan yang pasti. Saya sebaliknya, dalam banyak hal hanya ingin melontarkan kembali apa yang saya dengar,”

Entah kapan pemerintah akan memprogramkan dan menganggarkan lagi festival lagu-lagu rakyat yang dulu marak di tahun 70 an dan 80 an. Sekarang ini hanya stasiun radio RRI yang secara berkala menyiarkan lagu-lagu rakyat atau musik daerah. Sementara di daerah masing-masing lagu-lagu rakyat telah terdesak oleh lagu-lagu pop atau dangdut yang berbahasa daerah dengan gaya dan ekspresi kebarat-baratan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar