Sabtu, 15 Februari 2014

CELOTEH MINGGU PAGI TENTANG MANDAR DAN PUISI

Beberapa hari setelah Adam Air kecemplung di Teluk Mandar di awal Tahun 2008, seorang paranormal beken mengeluarkan pendapat yang abnormal, bahwa wilayah tempat Adam Air jatuh ke laut itu sangat besar daya energy dan aroma mistiknya. Katanya lagi bahwa suku Toraja yang mendiami daerah itu memang kuat dan ahli dalam ilmu gaib dan mistik. Jadi Adam Air telah terserap masuk ke dalam pusaran gravitasi kekuatan supranatural itu. Komentar tuan yang saya saksikan di Televisi itu tak mengapa karena itu adalah haknya untuk berspekulasi demi kelangsungan karirnya sebagai paranormal yang laris, tapi persangkaannya tentang penduduk lokal itu jelas sebuah kekhilapan budaya. Karena seluruh dunia tahu bahwa yang mendiami wilayah sekitar Teluk Mandar ya, suku Mandar.

Di masa muda jika saya menyanyikan lagu Mandar di depan teman-teman, maka ada saja yang nyeletuk “ itu lagu Makassar ya.” Kekhilapan-kekhilapan itu masih saja berlangsung sampai kini. Bahkan tadi pagi saya mendengan siaran budaya di Radio Republik Indonesia, dimana ada sebuah lagu Mamuju diperdengarkan yang saya lupa judulnya, kemudian setelahnya ibu penyiar mengatakan “ demikianlah sebuah lagu dari provinsi Sulawesi Tenggara” waddou!

Tentu semua insiden budaya itu terjadi karena masih kurang maksimalnya kita mempromosikan Mandar kendati telah berdiri Provinsi Sulawesi Barat yang mewadahinya. Di mana Mandar akan lebih mudah di kenal, apalagi bila ditambah dengan promosi-promosi dan capaian-capaian dalam bidang pembangunan dan seni. Tapi semua itu kini sedang berproses menuju pengelolaan Mandar yang lebih baik.

Jika kita ngebrowsing di internet, maka yang paling menonjol sekarang ini pada pambahasan tentang sastra khususnya puisi, adalah banyaknya advokasi tentang bagaiamana membuat puisi yang baik dan bagus. Tidak ada yang salah dalam hal itu, tapi lebih tepat rasanya jika kita mengajarkan tentang “ Apa itu puisi” atau suatu uraian tentang sejarah, teori dan hakekat puisi. Sebab jika kita bermaksud membimbing orang untuk membuat puisi yang bagus, maka itu adalah sebuah kesalah pahaman. Kecuali jika kita mencoba mengajarkan sebuah “ pseudo puisi”

Puisi sejatinya adalah hasil kreatifitas jiwa yang sangat bersifat personal dan occasional sekali. Dia tak punya metode dan bersifat sekali jadi, tak bisa diulang. Hari ini seseorang dengan tak sengaja dan diduga bisa membuat sebuah puisi yang indah, besok atau lusa bahkan berbulan belum tentu ia bisa melakukannya lagi, karena itu adalah masalah perasaan yang tak bisa dikomputasi dan direkayasa. Kita bisa mencipta puisi tepat ketika kita tak tahu apa yang sedang kita lakukan dan terjadi pada kita. Kreatifitas bekerja diam-diam dan kadang tanpa kita sadari di saat kata-kata puitik berlompatan dari jiwa, dan ketika kita mencoba menerangkan apa yang kita alami setelahnya, maka hati akan membisu dan bibir terkatup rapat. Jika kita bisa menjelaskan metode membuat puisi maka itu tak lebih dari pekerjaan tukang meubel yang tahu metode pembuatan dan cara memoles meubel dengan indah dan enak diduduki. Kreatiftas adalah penemuan diri dalam kerja, dan sangat pribadi sekali sifatnya serta tak mungkin bisa dikomunikasikan.

Tulisan ini tak bermaksud mendiskreditkan kalangan pembimbing cara membuat puisi, hanya mencoba memberi masukan agar pekerjaan memasyarakatkan sastra yang mulia itu lebih lengkap dan variatif. Kreatifitas sastra akan merebak dan membuahkan hasil jika kita melakoninya dengan cinta dan menularkan cinta pada sastra itu, bukan dengan mendikte dan menggurui. Puisi, sastra atau seni apapun adalah pekerjaan hati yang rindu pada sesuatu yang ideal dan rohani, ia bersifat spiritual dan transcendence, melampaui ke kinian dan ke disinian, tapi ia bisa datang tiba-tiba menjergap kita dari belakang lalu memaksa tangan menggoreskan jiwa dalam berbagai bentuk-bentuk seni yang indah, sublime dan menterjagakan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar