Selasa, 20 November 2012

MENINA BOBO'KAN MANDAR


Ketika anak-anak rewel, menangis dan susah tidur, jangan sekali-kali membentak atau memarahinya untuk tidur cepat!. lebih baik di nina bobo'kan dengan mesra dan lembut karna kecendrungannya pada perhatian, kasih sayang dan penerimaan yang besar. Tabiat anak ini berkelindang dengan peran dan potensinya yang besar untuk menjadi orang penting di ranah budaya. Konon seorang cendekiawan pernah mengatakan bahwa mereka itu sesungguhnya bapak manusia atau Child is the father of man. Ini sejalan dengan kata-kata seorang penulis besar Rusia, Aleksander J. Solzhenitsyin " tetapi jaringan jiwa kita , apa yang kita kasihi dan terhadap apa kita sudah menjadi terbiasa , diciptakan semasa kita muda belia , dan tidaklah sesudah masa itu " . Gagasan bahwa kebudayaan adalah masa kanak-kanak yang terlambat diakhiri sejatinya lemah, mengingat budaya yang akan terus tumbuh dan berkembang, namun pakta bahwa aksistensi anak-anak penting di dalamnya juga susah di pungkiri.



Oleh karena itulah maka tak adalah sebuah budayapun di dunia yang akan melewatkan ritual menina bobo'kan anak dengan segala pernak-perniknya, serta contentnya tentu berlainan, walau dengan tujuan sama yaitu maunya akan cepat tidur pulas dan memasuki dunia mimpinya. Bangsa-bangsa berbahasa Inggris menyebutnya Lulaby atau Cradle song, orang Turti, Balubalu, Filipina Oyayi, di Bangladesh, Ghum-Parrani-Gaan. Kita di Indonesia secara nasional menyebutnya menina bobo'kan anak. dan lagu nina bobo' konon berasal dari seorang anak bernama Nina, peranakan Belanda-Jawa, lahir di tahun 1871, namanya lenkpnya adalah Helenina Mustika Van Rodjnik.



Di Mandar. Sulawasi-Barat, tradisi menina bobo'kan anak disebut Miondo. Dilakukan ibu-ibu yang perduli dan sayang pada anaknya yang sedang rewel, menangis dan susah tidur, atau bahkan yang anteng-anteng saja dengan mengayun anaknya di atas tojang atau ayunan sambil mendendangkan lagu nini bobo' atau yang di Mandar disebut Elong Piondo dengan lembut dan mesra, sampai terkantuk-kantuk dan tidur sendiri dibawah ayunan. Syair dan lagu yang didendangkan bervariasi antara satu tempat dengan yg lain, itu karna penyebaran tradisi itu terjadi secara lisan. Dan kreatifitas dan imajginasi yang berbeda dari pelaku budaya tersebut. Biasanya lagunya dalam tangga nada pentatonik yang terkesan gaib. liris dan beraura. Salah satu elong piondo yang penulis dapatkan berbunyi “A’a’oooo Caco’, patindomo’o naung, tuo dai marendeng, pogau’I gau’ macoa, anna malao ma’guna lao di parammu ana’u….”. (Caco: sebutan bagi bayi laki-laki) tidurlah, semoga umurmu panjang , lakukan perbuatan terpuji, agar kamu bisa berguna kepada sesamamu wahai anakku…”.



Boleh jadi tradisi miondo ini berkaitan erat dari sebuah upacara tradisional di Mandar yang disebut Mappadai' toyang' menaikkan keayunan. Atau mungkin adalah prelude atau sakralisasi dari miondo. Upacara ini dilaksanakan ketika bayi pertama kali dinaikkan di atas ayunan. Mula-mula sando meppeanaq 'dukun beranak' membakar kemenyan diatas pedupaan, mengelilingi ayunan dengan pedupaan berasap ditangannya tiga kali. Lalu dukun maccoqboq ( memberi tanda ) berturut-turut pada ayunan ditiga tempat yaitu bgin kepala, bagian kanan dan bagian kiri, lalu dahi dari ibu si bayi, dan dahi si bayi. Yang dipakai maccioqboq adalah tepung beras dicampur secuil jengger ayam yang diberi sedikit air. Membakar sedikit kemenyan, mengelilingi ayunan, dan maccoqboq diiringi dengan mantra/doa sang dukun. Selesai acara maccoqboq, Imam atau orang yang dapat menggantikannya memimpin pembacaan doa memohon keselamatan kepada Allah SWT. Upacara diakhiri dengan makan bersama para undangan dengan keluarga bayi.



Kesimpulan dan Rekomendasi



Dari paparan diatas, terlihat betapa tradisi menina bobo'kan anak adalah sangat penting dalam rangka kehadiran seorang anak dan kemunculan sebuah budaya yang sehat kelak. Sehingga semua bangsa, etnik dan komunitas melakukannya dengan sungguh, tak terkecuali di Mandar. Kebudayaan adalah cetak biru kehidupan, maka sebuh budaya positif dimana anak selalu akan dimesrai dan diayun dengan lembut oleh ibunya, sambil diberikan pesan2 dan nasehat yang baik, perlu untuk terus dijaga agar tak tergerus oleh zaman yang trendnya sedang mebuta tuli pada warisan masa lampau yang jauh dan tak terjangkau nalar dan kesibukannya, sehingga merasa perlu melemparkan tanggung jawab pada pembantu atau baby sitter untuk menjaga jiwa dan tubuh anak-anak. Perlu di garis bawahi bahwa peran seorang ibu amatlah sangat menetukan dalan tradisi miondo itu. Karna bagi anak ibu adalah jendela dunia, kehidupan dan lingkungan yang sangat dipercaya dan di cinta anak. Bagi anak, ibu adalah segalanya, sehingga apapun yang dikatakannya, didendangkannya dan dilakukannya adalah sakral dan terhujam kuat di jiwanya. Dengan ibu yang serius dan senang miondo maka dapatlah diharap sebuah masa depan Mandar yang lebih baik kedepan.



rekomendasi tentu adalah agar budaya miondo ini dirayakan kembali dengan sebuah sebuah redefinisi dan reaktualisasi yang adaptif pada jaman yang memang terus bergerak tiada henti, caranya?, ya, salah satunya dengan menjadikan bahan kajian pada tingkat Universitas seperti yang dilakukan Unasman, Bravo!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar