Minggu, 20 Februari 2011

KONSEP ILMU DALAM MASNAWI RUMI


Konsep Ilmu dalam Masnawi Jalaluddin Rumi. Dunia modern abad 20 dan 21 memang bangga akan kemajuannya dalam ilmu pengetahuan, industri, teknologi dan dalam modernisasi pendidikan dan relasi sosial. Dewasa ini, terdapat fasilitas2 modern untuk kehidupan, dan dengan itu sumber daya alam telah dikuras dan diperas demi melayani kebutuhan2 yang terus meningkat dan berubah. Namun sisi spritual manusia yang bersifat sangat eksistensial tampaknya diabaikan oleh manusia modern. Peradaban manusia mutakhir kini sangat membutuhkan guru2 dan pemandu spritual dalam pencarian makna hidup yang berakar pada cahaya Ilahiyah, dan Rumi adalah salah seorang guru yang bisa mencerahkan para pejalan (salik ). Pembacaan terhadap Rumi dapat membuka sebuah jendela pada sekolah gaib dalam hati manusia untuk menyingkap misteri-misteri yang hanya dapat dicapai lewat penglihatan batin. Ada dua definisi ilmu dalam Masnawi Rumi. Pertama, ilmu yang dihubungkan dengan eksistensi materi yang kasat mata yang bisa ditembus lewat fasilitas pendidikan. Kedua, ilmu yang tidak bersifat duniawi, tidak diajarkan di sekolah dan tidak ada dalam buku, laboratorium, atau lewat kajian akademis. Ilmu yang luar biasa ini memberi kesaksian kepada pemahaman terhadap kebenaran yang terletak di luar pemahaman manusia umum, atau kesadaran akan dunia gaib yang merupakan satu-satunya aspek eksistensi yang abadi. Dalam Masnawi, terdapat banyak kisah dan anekdot yang dengannya Rumi merujuk perbedaan dua konsep ilmu. Barangkali yang paling terkenal adalah kisah tentang ahli tata bahasa, seorang Nahwi, yang berangkat dengan kapal dan bertanya pada awak kapal: ” Pernakah kamu belajar nahwu (tata bahasa ) ?”. Ketika awak kapal menjawab bahwa dia tidak pernah belajar tata bahasa, sang Nahwi berkata kepadanya: ” Oh! Betapa kasihannya kamu, separu hidupmu telah sia-sia.” Sang awak kapal tidak menjawab langsung dan terdiam beberapa saat, sampai datang angin menghantam kapal. Kemudian sang awak kapal berteriak: ”Apakah kamu bisa berenang?” Ahli tata bahasa yang sombong ini menjawab bahwa dia tak akan pernah mau belajar berenang. Lalu sang awak kapal berkata: ”Oh Nahwi! Seluruh hidupmu telah sia-sia, karna kapal sedang tenggelam ke dalam gelombang air ini.” Diakhir anekdot ini, Rumi berkata: Di sini apa yang dibutuhkan adalah pelenyapan diri ( mahw), bukan tata bahasa (nahw ). Jika engkau lenyap dari diri, maka tenggelamlah ke laut itu, dan jangan takut akan ancaman atau bahaya. Menjadi paham di bidang studi skolastik tidak membuka jendela ke dunia gaib. Apa yang dibutuhkan untuk mencapai akhir itu, bukanlah fiqh atau sarf atau nahw. Kita membutuhkan ”hukum dari segala hukum” (fiqh-i-fiqh), ”bentuk-kata dari segala bentuk-kata” (sarf-i-sarf), dan ”tata-bahasa dari segala tata-bahasa” (nahw-i-nahw). Ungkapan ini diartikan Rumi sebagai pengetahuan yang diterima melalui relasi spritual dengan dunia Ilahi. Ungkapan lain untuk relasi ini adalah: pengetahuan ”dari sumber inti” (az an sar), yakni, pengetahuan yang tumbuh dari akar Ilahi. Ungkapan lain untuk kesadaran serupa adalah fath-i bab az sina, atau pembukaan pintu dalam hati seseorang: Setiap orang yang di dadanya (atau hatinya) pintu itu terkuak, akan memandang Matahari dari segala tempat. Jakarta 21 Februari 2011 Syafiyullah Pilman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar