Senin, 23 November 2015

KAJAO LALIDOQ DAN MUHAMMAD JUSUF KALLA

Pada setiap kerajaan di wliayah Sulawesi Selatan Barat jaman dahulu selalu ada jabatan ‘Pa’bicara’ atau hakim yang amat pandai berbicara. Tempat raja, rakyat mengadu, minta nasehat dan memutuskan perkara. Salah satunya yang terkenal adalah pa’bicara di Kerajaan Bone bernama ‘Kajao Lalidoq’. Terkait kehidupan kenegaraan dan sosial, salah satu puisi normatifnya (werekkada) berbunyi sbb : Dua tanranna namaraja tanae, seua ni malempu i na macca arung mangkau’e, Maduanna, tassisala-salae’ rilalempanua. ( Dua tandanya negeri akan besar, pertama, raja yang memerintah jujur lagi pandai. Kedua, rakyat dalam negri tidak saling berkelahi).

Sejak muda kajao lalidoq yang bernama asli ‘ La Mellong’ memang sudah menunjukkan bakat sebagai seorang cerdik cendekia yang pandai bicara. Punya kemampuan retorika tinggi, dan memainkan kata-kata sehingga lawan bicara terhenyak tak mampu berkata-kata dan melawan lagi. Berkat kecerdikan atau muslihat La Mellong, wilayah Pitumpanua yang adalah bagian dari Luwu’ bisa menjadi bagian Bone dengan tak menumpahkan darah setetespun. Ke Luwu, ia hanya ditemani seekor kura-kura yang rumahnya telah ditaburi emas parut. Ketika ditanya apa maksud kedatangannya, La Mellong menjawab tangkas, “ Saya diperintahkan oleh tuanku mempererat persahabatan antara Bone dan Luwu, dan juga hai Tuan, ada seekor kura-kura yang kotorannya bisa mengeluarkan emas saya bawa untuk saya persembahkan pada Luwu, dan saya mengambil negeri Pitumpanua.”

Karuan saja orang Luwu tertarik dan gembira dengan rencana barter tersebut, sehingga rela melepas negeri Pitumpanua kepada Bone, karena mendapat sebuah kura-kura yang bisa memberi emas dan kebesaran negri. Padahal itu hanya akal bulus dan muslihat La Mellong sebagai seorang politisi yang berbakat, kura-kura mana bisa jadi sebuah tambang emas. Dan ketika sang kura-kura tak kunjung berak emas, maka datanglah utusan Datu Luwu ke Bone menanyakan perihal kura-kura itu pada La Mellong.” Kenapa kura-kuranya Datu itu yang engkau bawa ke Luwu, engkau bilang jika buang kotoran keluar emas dari perutnya, lagi bisa membesarkan negri, sekarang tidak pernah lagi mengeluarkan emas.” La Mellong balik bertanya,” Kura-kura itu diberi makan apa?” Utusan itu menjawab “ Tentu saja nasi!” Dan La Mellong menuntaskannya dengan berkata,” Memang engkau salah, sebab yang saya berikan makan adalah emas bubuk, jadi ia keluarkan juga emas.” Maka mundur teraturlah sang utusan, namun hendak membatalkan perjanjian terkait penyerahan negri Pitumpanua, yang dijawab La Mellong dengan jitu, “ Nanti dikutuk Dewata kalau dihapus persetujuan yang telah disepakati dan tidak boleh sekali diputuskan dua kali perkara yang sama.”

Bukan kebetulan jika kepemimpinan dan kecerdikan atau kreativitas berpikir Kajao Lalidoq menurun pada salah seorang pemimpin nasional, negarawan yang berasal dari ‘Tana Ugi’ atau Bone, yakni Muhammad Jusuf Kalla. Pedagang, politisi, dan ulama yang dua kali jadi wapres itu- di masa SBY dan Jokowi, juga punya kemampuan tinggi untuk beretorika, berpikir out of box, melawan arus dengan bahasa yang jauh dari eupemisme, formalisme, dibuat-buat dan sarat unggah-ungguh. Baru-baru ini beliau menghentak lagi dengan mengatakan bahwa ‘Kemenkes bukan kementerian pengobatan’. Selanjutnya beliau berpendapat bahwa persepsi program kesehatan yang cenderung fokus pada pengobatan gratis mesti diubah. Sesuai dengan namanya, Kementerian Kesehatan harus mengupayakan orang sehat, bukan menjadi kementerian pengobatan.

Bukan JK jika dalam pidatonya tak mengeluarkan pendapat yang brilian, kendati sementara orang memandangnya aneh. Terkait keberadaab BPJS, beliau mengatakan, “ Sudah seharusnya BPJS tidak melulu mensponsori rumah sakit, tapi juga mensponsori olah raga. Dengan orang berolah raga, berkurang orang masuk ke rumah sakit...” Cara berpikir dan bertindak JK yang cerdik dan kreatif itu memang sudah jadi bawaannya sejak muda. Bayangkan, masa sebuah prosesi baris berbaris yang dipimpinnya, bisa diarahkan menuju rute tertentu demi bisa melihat mantan pacar beliau Ibu Mufidah Kalla. Dan berkat ketangguhan, ketekunan, serta tentu saja dengan spirit inovatif dan etos kerja kerja tinggi, mampu kembali mengangkat kejayaan bisnis keluarganya yang telah jatuh bangun untuk kembali kokoh dan berkibar lagi.

Perihal sepak terjang JK dalam pemerintahan dan peranannya dalam pembangunan ekonomi dan kesejahteraan bangsa yang besar, serta kepiawainnya berunding guna mengakhiri semua konflik sosial berlatar SARA, dari mulai Aceh, Poso, Ambon atau Papua, semua talah banyak dipublikasikan dan bukan menjadi rahasia lagi bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Di sini saya hanya akan menghubungkan JK dengan Kajao Lalidoq dalam spirit kepandaian dan perdamaian, bahkan dalam diksi, atau pemilihan kata-kata dan gaya bicara memang nyaris mirip satu sama lain. Bandingkan kata-kata Kajao Lalido di atas yang mengatakan bahwa “ Rakya dalam negri tidak boleh saling berkelahi” dengan kata-kata JK terkait konflik Mamasa di masa lalu. Beliau pernah berkata “ Siapapun yang berada di Mamasa, di Polewali, dan Mandar, harus siap untuk mempersatukan semua orang yang berkeinginan untuk berkelahi.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar