Senin, 28 Oktober 2013

HIDUP YANG BERKUALITAS


Menghadiri ulang tahun IDI ( Ikatan Dokter Indonesia ) yang ke 62 tanggal 24 oktober semalam adalah berkah dan pencerahan bagi saya pribadi. Berkah karena bisa makan enak dan sehat serta menyaksikan hiburan-hiburan yang menarik juga memukau. Wajah-wajah para dokter tak satupun terkesan angker dan menakutkan sebagaimana bila kita bertemu dengan mereka di rumah sakit atau di tempat-tempat praktek, semua berselimut senyum nan cerah ceriah serta ramah. Sampai-sampai saya yang bukan dokter ditanya oleh beberapa dari mereka, “ praktek di mana? atau pengurus bagian apa atau cabang mana?. dan saya pun menjawab apa adanya, sambil senyam-senyum, agak bangga juga dikira seorang dokter.

Tapi semua itu kurang menarik dibanding indireht polemik antara menteri kesehatan, Nafsiah Mboi versus ketua umum IDI, dr, Zaenal Abidin. Walau kedua-duanya orang Bugis, menkes kelahiran Sengkang dan ketua IDI kelahiran Soppeng, tapi tidak menghalangi untuk salaing megkritik sekaligus merayakan perbedaan secara demokratis. Kritik dokter Zaenal pada minimnya anggaran kesehatan nasional yang hanya dua persen dari APBN, ditanggapi oleh ibu Menteri dengan senyum nan legowo.

Dalam pidatonya, ketua IDI melakukan otokritik bahwa para dokter juga telah berkontribusi pada disparitas sosial dengan jumlah dokter yang bekerja dan berdomisili di Jakarta ada 20 ribuan dari 120 an ribu dokter di seluruh Indonesia. Yang tentu saja membuat indeks kualitas hidup manusia Indonesia tidak merata dan buruk yang berada di peringkat117 dunia. Menteri dalam pidatonya menanggapi dengan mengatakan bahwa bila semua program-program non depertemen dimasukkan maka biaya kesehatan lumayan besar, berkisar 4 persen dari APBN. Selanjutanya ibu mnteri balik mengkritik para dokter dengan mengungkap fakta marginalitas peran Puskesmas dimana rata-rata dokter enggan mau bekerja di sana paling tidak membantu dan menyambangi Puskesmas. Dan semua yang disampaikan, dari awal sampai akhir pidatonya, ibu menteri tak pernah merengut atau cemberut, bahkan selalu tersenyum disertai dengan guyonan.

Terkait dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat, di tempat lain, dalam sebuah dialog interaktif direktur utama Jamsostek, Elvyn G, Masassya sesumbar akan mentransformasikan Jamsostek menjadi BPJS ( Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ) berkelas dunia. Benarkah demikian? Sekarang saja belum ada keterangan tentang berapa jumlah iuran dan benefit apa yang akan didapat dengan menjadi peserta Jamsostek atau BPJS. Katanya hal tersebut masih dalam pembahasan tripatrit, pemerintah, pengusaha dan pekerja. Selama hal-hal mendasar yang terkait dengan angka, hak dan kewajiban belum bisa dipublikasi maka semua sosialisasi program yang menggunakan nomenklatur dan istilah-istilah bombastis, hanya akan dirasakan sebagai angin sorga dan janji-janji manis belaka.

Konon Jamsostek yang akan bertarnsformasi mulai satu januari 2014 itu akan lebih mudah, cepat dan akurat dalam pelayanan, dalam satu hari semua proses registrasi bisa selesai, dan bisa diakses pada 127 cabang dan 500 lebih outlet diseluruh Indonesia. Jaminan-jaminan yang meliputi jaminan keselamatan kerja, kematian, usia tua dan kesehatan bukan saja akan mandatory bagi pekerja di sektor formal tapi juga akan diberikan kepada para pekerja informal seperti tukang bakso, tukan ojek, penjual nasi goreng, nasi uduk, pedagang kaki lima dll, tentu saja dengan membayar iuran secara pribadi. Termasuk pekerja kontrak atau outsourching yang dalam hal ini iuran dibayarkan oleh pemberi kerja.

Terlepas dari belum adanya kepastian pada ha-hal mendasar yang konon masih dalam pembahasan yang alot secara tripatrit, dan masih mengupayakan kesepakatan yang adil dan win-win solution, paling tidak pihak Jamsotek telah memberi secercah harapan bagi perbaikan kulitas hidup para pekerja dan keluarganya kedepan dengan janji untuk melakukan transformasi dan memberi jaminan beyond ekspectasion. Dan juga yang menarik adalah bahwa sosialisasi yang dilakukan sekarang ini lebih modern, trendy dan friendship yang bisa mengurangi ketegangan dari tekanan sosial yang massif dengan melakukan kegiatan Jams Goes to Society, Jams Goes to Pactory dan Jams Goes to Campus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar