Kamis, 26 November 2015

GURU DI DEPAN CERMIN GOYANG




Sepertinya di dunia saat ini tak satu pun profesi yang tidak mengalami devaluasi nilai, menghadapi cobaan berat, semuanya sedang berdiri di depan ‘cermin goyang’. Guru yang dianggap sebagai salah satu kerjaan mulia, bahkan sering didaulat sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ juga mengalami nasib naas, eksistensinya sebagai pembimbing, pendidik, pengajar yang benar sudah banyak diragukan dan dipertanyakan. Di Indonesia kita sering mengagung-agungkan guru, tapi realitas outputnya secara internasional konon sangat mengecewakan, seorang pakar berceloteh bahwa kita masih selalu berada di peringkat lima terbawa dalam hal kualitas pendidikan. Tapi jangan gundah dulu, sebab belum tentu para penilai tingkat dunia itu tahu persis apa makna pendidikan itu sendiri. Jika kualitas pendidikan hanya dibuktikan dengan penguasaan pengetahuan belaka, maka mereka pun berada di depan ‘cermin goyang’. Banyak orang yang sudah gerah dengan anggapan bahwa pendidikan itu identik dengan pengetahuan, apalgi hanya sekedar sebagai instrumen kehidupan ekonomi dan industri belaka. Bukankah kebijakan pendidikan ‘ Link and Match’ menteri Wardiman Djoyonegoro dulu dipertanyakan oleh banyak orang.

Sebenarnya itu bukan hal yang baru-baru ini saja menggejala, namun sejak paruh pertama abad ini, para pakar, pilosof dan pujangga sudah merasakan gejala sesuatu yang salah dari dunia pendidikan. Seorang pujangga dan pemimpin India, Rabindranath Tagore telah mempelopori ‘ Gerakan Sekolah Baru” ( de nieuwe school beweging) yang berangkat dari kekecewaan pada praktek pendidikan yang hanya bertumpu pada pengembangan intelektualitas, bukannya memantapkan ‘watak. kepribadian atau karakter’ anak didik. Tagore mengatakan bahwa paksaan yang didesakkan kepada sang anak itu merusak kodratnya, oleh karena tidak memperhatikan sifatnya yang khusus. Beliau menuduh bahwa sekolah itu pabrik belaka oleh karena tujuannya ialah menghasilkan barang yang berbentuk sama. Tagore bertanya “ Tidakkah mereka mengerti bahwa garis jalan hidup itu tiada lurus, tapi berbengkok-bengkok memutar garis lurus tadi?....menurut pemandangan sekolah sempurnalah sudah hidup ini asal mau diperlakukan sebagai barang mati yang dapat dipotong-potong menjadi perbagai kecakapan yang sama bentuknya.”

Tagore yang lalu membuat sebuah sekolah sendiri di tahun 1905 yang diberi nama “ Shanti Niketan” yang kurikulmnya menekankan pada budaya atau seni yang hidup, seakan telah mengkonfirmasi ungkapan pilosof Romawi, Seneca.” Seperti halnya tanah yang betapapun suburnya tak akan memberikan hasil kalau tak disertai budaya, maka akal budi yang digali juga tak bakal menghasilkan buah yang baik.” Memang pendidikan bukan sekedar transfer ilmu belaka dan memenuhi dan memberati kepala anak didik dengan berbagai pengetahuan, tapi ia juga urusan mengasah kepekaan sosial, menajamkan perasaan, mengendalikan nafsu-nafsu instinktif, dan menanamkan pengertian agama dan moral yang benar. Begitu intisari pandangan seorang negarawan Amerika, Daniel Webster. Atas dasar itu banyak pemikir di Amrik yang memprotes ketika pemerintah federalnya menghapus tradisi berdo ‘a di sekolah dasar, dan ketika para administrator dan dosen-dosen tak lagi perduli pada kehidupan moral di kampus-kampus.

Di negara-negara sekuler saja pendidikan watak dan kepribadian atau agama, begitu dipentingkan, kita di sini malahan bermain-main dengan aspek –aspek pemanusiaan itu dengan mencoba menghentikan kegiatan berdoa di sekolah. Yang menganggap pendidikan watak dan agama itu tidak perlu-perlu amat karena terobsesi dengan kedigdayaan sience dan ilmu-ilmu teknik dalam rangka persaingan global, utamanya dalam era ‘ Mayarakat Ekonomi Asean nanti “ jadi pendidikan telah diposisikan sebagai instrumen mengejar kepandaian dan ketrampilan pragmatis belaka, yang berdaya guna dalam rangka ekonomi dan kesejahteraan. Padahal para motivator modern telah mengingatkan pentingnya sikap, karakter dan kejujuran, atau semacamnya dalam rangka menapaki bukit tinggi kehidupan yang penuh jalan terjal. Bukankah ini kompatibel dengan kurikulum 2013 yang lebih besar muatan moralnya, sikap dan prilaku katimbang pengetahuan dan ketrampilan, mengapa kok dibatalkan lagi berlakunya?

Tapi ditengah ketidak pastian dan kebimbangan itu, para ‘GURU’ harus tetap menegaskan dirinya sebagai sosok panutan yang senantiasa digugu dan ditiru. Mestinya, betapapun besar dan hebatnya nya turbulensi kehidupan predikat digugu dan ditiru itu tak harus gugur dan berlayangan jatuh. Beban makna kata guru memang berat, tak seperti kata ‘ Teacher’ di luar sana yang bermakna hanya sekedar mengajar. Di sini guru adalah segalanya, murid dan orang tua, atau masyarakat masih sangat berharap banyak pada guru guna pengembangan diri dan kemajuan peserta didik guna menjadi manusia seutuhnya. Makanya jangan sekedar menjadi robot di depan kelas, yang juga suka melakukan ‘blaming’ karena emosi yang tidak stabil ( mood swing). Empati, keteladanan dan kebijaksanaan seorang guru sangat berpangaruh bagi masa depan murid dan lebih penting dari aneka teori dan kurikulum sekolah yang pernah ada.

Seorang penyair lawas, Sides Sudyarto DS telah membuat puisi yang bagus dan inspiratif tentang teladan dan idola para guru di republik ini, Ki Hadjar Dewantara :
KI HADJAR , SANG WIKU

Sang Wiku kau telusur zaman yang simpang siur
Kau ucapkan makna dengan laku: Bukan kata
Di padepokanmu, kau melempar merpati
Ke pondok-pondok hati
Kau selalu berdoa dengan berkata
Tentang kebahagiaan hakiki
Biar mikul dawet bersenandung,
Itu lebih indah. Daripada naik mobil berurai air mata

Tetapi Sang Wiku
Kini jalur waktu mau lain
Penuh sudah jalan raya dengan mobil
Yang penuh senyum kehangatan
Dan pemikul dawet banyak mati
Ditelan nasib sendiri

Sungai-sungai telah mengalir, Sang Wiku
Bukan air, tetapi air mata. Bukan lumpur hanyut
Tetapi kehidupan
Oh, satu hal pasti
Kelembutan macam kau almarhum, memang
Menyemen persaudaraan dan kebersamaan

Namun, bagaimana dengan tekanan
Zaman yang begitu murung
Mematahkan iga-iga harapan yang lelah
Dan doa si kecil sudah tidak menetu lagi
Kapan jawabannya datang
Ketika badai nasib tiba membawa beras
Kuira kita telah terkubur semua

Sang Wiku aku mau tahu
Siapa engkau, yang menyelinap
Dalam sela-sela sepinya ruang waktu
Dengan senyum kemanusiaan
Di mana kurun tak habis-habisnya
Tertindas hingga kini



Tidak ada komentar:

Posting Komentar