Rabu, 11 November 2015

SIAPAKAH PAHLAWAN ITU?

Judul di atas bukan sebuah provokasi atau mempertanyakan keabsahan setiap pahlawan yang telah diresmikan eksistensinya oleh pemerintah belum lama ini, justru ingin menyusur lebih jauh dan dalam tentang makna kepahlawanan yang selama ini lebih banyak bersifat persepsional. Bayangkan, orang Mandar saja sampai kini belum bersetuju untuk menetapkan siapakah pahlawan mereka yang pantas diabadikan ke dalam buku-buku sejarah sebagai ‘Pahlawan Nasional”, apakah Baharuddin Lopa atau Ibu Agung atau Andi Depu. Akibatnya, hajat mulia untuk menghargai pahlawan daerahnya jadi tertunda. Entah sampai kapan Mandar akan punya pahlawan yang dipelajari oleh murid-murid sekolah di seluruh Nusantara ini. Saya bahkan mengusulkan Imam Lapeo juga dimasukkan ke dalam daftar tunggu untuk menjadi pahlawan nasional mengingat jasa-jasa beliau di bidang pengembangan agama, serta kontribusi beliau yang besar bagi kemerdekaan bangsa.

Jika kita tak bisa melepaskan diri dari jebakan menilai sosok pahlawan pada ‘Nawaitunya’, atau keilhlasan tanpa pamrih yang menyertai gerak langkah perjuangannya, maka di dunia hanya akan ada segelintir saja sosok yang disebut pahlawan. Jika hanya kesuci murnian jiwa dan tindakan yang dinilai maka yang pantas jadi pahlawan hanya Nabi Muhammad SAW, Nabi Isa, Sidharta Gautama, Laotze atau Kong Hu Chu. Diluar sosok-sosok yang dinilai maksum itu, tentu tak ada yang luput dari dosa dan salah yang bersifat pribadi ataupun sosial. Makanya saya merasa hairan jika ada yang mempertanyakan jasa-jasa perjuangan Soekarno, Soeharto atao Sarwo Edhi sekalipun.

Mungkin jarang yang meragukan perjuangan dan tindak kepahlawanan Otto Van Bismarck, Abraham Lincoln, bahkan Lenin?. Bismarck kita tahu adalah pemersatu Prusia Raya, Lenin pendiri Uni Soviet raya, dan Abraham Lincoln pemersatu Amerika, Unionist dan Confederation, yang akhirnya mengakiri masa perbudakan di Negaranya. Dan semua adalah pahlawan besar bagi pengikut dan sebagian besar bangsanya. Tapi seorang penulis, dan kritikus sejarah Amerika, Edmun Wilson, dalam bukunya, ‘Patriotic Gore’ telah menilai ketiganya dalam satu ungkapan,” Each of these men, through the pressure of the power which he found himself exercising, became an uncompromising dictator, and each was succeded by agencies which continued to exercise this power and to manipulate the peoples he had been unifying in a stupid, despotic and unscrupulous fashion, so that all the bad potentialities of the policies he had initiated were realized, after his removal, ini the most undesirable way.

Bahkan Wilson memetaforakan sikap terjang perjuangan mereka seperti prilaku binatang bawah laut, Sea Slug, Wilson menulis, ” In a recent Walt Disney film showing life at bottom of the sea, a primitive organism called a sea slug is seen gobbling up smaller organisms trough a large orifice at one end of its body; confronted with another sea slug of an only slightly larger size, its ingurgitates that too. Now, the wars fought by human beings are stipulated as a rule primarily by the same instincts as the voracity of the sea slug.” Bahkan ia juga mengutip pendapat sementara warga di tanah kelahirannya, Virginia tentang Abraham Lincoln sebagai, “ a bloody tyrant’.

Pandangan muram dan pejoratif terhadap ketiga pahlawan besar bagi bangsanya masing-masing itu tentu saja banyak mendapat protes atau kritikan, salah satunya dari Irving Howe kritikus penulis buku” Sherwood Anderson: A Critical Biography and William Faulkner: A Critical Study. Atas penilaian Wilson, Irving menulis, “ But the comparison with the sea slug is too grandioso, too monolithic, too apcalyptic. Claiming to encircle the whole of behavior, it fails to discriminate among the many kinds....” bahkan Irving Howe beranggapan sosok Wilson adalah orang telah dikecewakan oleh dunia nyata, tidak betah hidup di dunia modern, “ He dislikes its cheap-jack commercialism, it frantic vulgarity, its ingrained deceit. He hedest American Chauvinism, and look with the cool eye upon our claims to moral superiority in the cold war.

Seperti penilaian Irving bahwa pandangan Wilson mirip-mirip pandangan kaum Stoic, yang melihat secara miring manusia dengan berbagai kekurangan, kebobrokannya. Serta memandang dunia dan segala manifestasinya begitu rendah, bahkan sesuatu yang semu, maya dan palsu. Tak ada optimisme di sana kecuali manusia mau melakukan penyucian dan pertobatan. Wilson bagai tak percaya bahwa kemalangan dan derita manusia bisa mengantarkannya kepada pembelajaran yang pada gilirannya menuju kebahagiaan dan kejayaan. Di Indonesia pengaruh mashab Stoa masuk ke dalam sementara aliran tasawwuf, kebatinan dan gerakan pelarian lainnya.

Adanya inisiatif kaum santri dan pemerintah untuk menjadikan tanggal 22 sebagai hari santri nasional, sungguh suatu usaha yang mulia untuk mengembalikan makna kepahlawanan kepada proporsinya yang telah banyak terdistorsi selama ini. Bukankah realitas kepahlawan Hasyim Ashary adalah ketika menyerukan ‘Jihad Fisabilillah’ kepada setiap bentuk penjajahan yang nyata dari manusia serakah, Nica serta Belanda. Seruannya adalah menghentikan’ eksplotation d lhomme par lhomme’ . di sini ada semacam anamnesis untuk mengingat jasa-jasa para pahlawan yang secara riel dan nyata telah terjun ke arena perjuangan pisik melawan setiap usaha-usaha untuk merongrong kedaulatan bangsa dan kemerdekaannya.

Perjuangan nyata KI Bagus Hadikusumo, manta Ketum PP Muhammadiyah, yang telah ditetapkan sebagai pahlawan adalah, bahwa beliau besar kontribusinya dalam penyusunan mukadimah Undang-undang Dasar 45. Beliau yang memberi masukan besar dalam perumusan sila-sila Ketuhanan, kemanusiaan, peradaban dan keadilan. Dalam hal ini Ki Bagus telah menterjemahkan aspek spritual Islam ke dalam butir-butir pemikiran nyata demi sebuah dasar dan ideologi negara yang mumpuni. Disamping perjuangan pisik (perang) nyata, Bernard Wilhem Lapian telah membentuk sekutu gerejanya sendiri, Kerapatan Gereja Protertan Minahasa, sebagai perlawanan atas gereja bentukan Belanda yang bernama, Indische Kerk. Makanya beliau pantas disebut pahlawan.

Jadi spirit kepahlawanan juga meliputi sebuah visi dan efektifitas dalam perjuangannya hingga dianggap punya jasa dan kontribusi besar bagi bangsanya. Dari sudut pandang sejarawan dunia, Arnold Toynbee, seorang fanatik yang berjiwa besar dan tidak mementingkan diri sendiri seperti Robespierre, bahkan Lenin, malahan bisa mendatangkan petaka karena tidak efektif katimbang pengejar karier berdarah dingin dan sinis tetapi cerdik dan penuh taktik. Bagi Toynbee, Kaisar China Han Liu Pang, kaisar Roma Augustus, atau Khalifah Muawiyah adalah sosok sukses dalam sejarah. Mereka berhasil berkat ‘ savoir faire’ mereka atau kemampuan mereka menentukan apa yang harus dilakukan dalam situasi apapun, dalam menegakkan kembali rejim yang nyaris atau sudah roboh, dan mengembalikannya pada keadaan yang kokoh. Memang banyak tindakan para tokoh itu secara etik tidak dapat dihargai, tetapi dalam situasi tertentu, secara politis dan kenegaraan merupakan jalan yang bijaksana.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar