Minggu, 31 Agustus 2014

SULAWESI BARAT BERBENAH DAN BERDANDAN

Provinsi Sulawesi Barat dewasa ini sedang berbenah, memperbaiki diri, dan berdandan, bak gadis remaja yang sedang berusaha memoles dirinya agar mempunyai daya tarik fisik yang besar. Maka sejumlah pelabuhan laut, bandara dan jalan pun dibuka dan diresmikan. Dua bandara telah dimiliki Sulbar, Tampa Padang dan Sumarorong. Ada enam pelabuhan laut sedang dibangun dan dikembangkan. Salah satunya pelabuhan Belang-belang yang diproyeksikan untuk menjadi pelabuhan Internasional. Yang lain pelabuhan Pasang Kayu, Tanjung Silopo di Polewali atau Palipi di kabupaten Majene. Jalan arteri juga diperbanyak dengan schema multiyear yang akan tetap berlanjut di tahun-tahun mendatang. Untuk itu total anggaran yang dibutuhkan sekita 1,9 triliun, begitu kata gubernur Sulbar, Anwar Adnan Saleh seperti yang dilangsir oleh Koran Tempo belum lama ini. Semua itu dalam rangka membuka keterisolasian, menggerakkan roda ekonomi, memacu pertumbuhan dan produktivitas yang pada gilirannya akan menaikkan tingkat kesejahteraan warga secara keseluruhan dan merata.

Good Governance
Tapi kebanyakan penjelasan tentang pembangunan daerah hanya menyentuh aspek fisik dan materialnya saja. Pemda sering lupa mengimformasikan bagiamana setting, urgensi dan karakter pencapaian yang ada. Sehingga kita luput mengetahui apakah pembangunan dengan pelbagai sukses storynya itu telah memanisfestasikan sebuah nilai-nilai pemerintahan yang bersih ( clean government) dan pemerintahan yang baik ( good governance). Jika ukurannya pada aspek fisik belaka, maka mungkin pemprov Sulbar telah memenuhi criteria sebagai sebuah good governance. Tapi prinsip good governance yang luas juga mensyaratkan keterlibatan nilai-nilai demokrasi dengan partisipasi dan emansipasi masyarakat dalam setiap proses pembanguan, mulai dari perencanaan, operasional hingga pengawasan. Jadi rakyat di sini tidak sekedar menjadi obyek tapi subjek pembangunan yang tentu lebih tahu dan paham tentang apa yang dibutuhkan oleh diri dan lingkungannya.

Era pembangunan yang ditetapkan dari atas oleh pemerintah ( top down), mestinya sudah berakhir pasca reformasi. Pembangunan yang terlalu sentralistik, menyamaratakan, cendrung mengabaikan heterogenitas masyarakat. Ketiadaan partisipasi dalam pembangunan telah diakui tidak efektif, dan efisien oleh para pakar. Karena selalu ada potensi abuse of power, KKN dan resistensi masyarakat yang bisa menghambat laju pembangunan. Itulah sebabnya semua stakeholder bangsa sepakat untuk menerapkan otonomi daerah nyata dengan sistem desentralisasi pemerintahan dan pembangunan. Managemen pembangunan dituntut untuk transparan, akuntabel dan partisipatif. Keterlibatan masyarakat adalah salah satu variable kunci bagi berhasilnya good governance. Pemerintah dan jajaran birokrasi harus selalu mau bertanggung jawab kepada public karena ia sejatinya pemerintah memang pelayan masyarakat dalam sistem demokrasi di mana yang berdaulat adalah rakyat.

Agar fungsi keterlibatan dan fungsi pengawasan masyarakat bisa dioptimalkan, maka pemerintah perlu membangun sistem imformasi yang akurat, jujur dan konsisten yang bisa diakses oleh siapapun dan lembaga apapun. Jangan sampai terjadi disimformasi, manipulasi data dan pengungkapan fakta yang bagus-bagus saja. Penyelenggaraan pembangunan yang tidak transparan akan mendistorsi mekanisme check and balance dan menurunkan kredibilitas pemerintah. Akibat seringnya pemerintah melakukan disimformasi karena factor politik atau ego sektoral depertemen, maka di masa lalu kerap terjadi krisis kepercayaan kepada pemerintah secara meluas. Apa saja yang dikatakan pemerintah cenderung dicemooh, dianggap tak bermakna. Sampai-sampai marwah pegawai negri dewasa ini mengalami penurunan kurs yang signifcan. Dan yang pasti adalah sebuah pemerintahan yang tidak transparan, koruptif dan sombong, pelan tapi pasti akan ditinggalkan rakyat.

Dimensi Kultural
Dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan belanja negara tahun 2015, dana yang akan dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 9,1 trliun, walau belum memenuhi besaran yang diamanatkan oleh UU Desa No.14 Tahun 2014 sebesar 64 triliun atau setara 10 peren APBN. Dana yang begitu besar dan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat akan salah sasaran dan sia-sia manakala modal cultural dan modal sosial masyrakat belum terbangun dengan baik. Dilain pihak pemerintah juga harus melakukan reformasi birokrasi untuk memenuhi criteria good governance. Perluasan scala dan dimensi pembangunan mensyaratkan penguatan masyarakat madani yang bertumpu pada seperangkat nilai-nilai dan norma yang relevan. Pers, NGO, mahasiswa, dan berbagai komunitas yang menjembatani, perlu diberi ruang public yang bebas dan nyata, agar potensi abuse of power bisa diminimalisir sekecil mungkin. Harus ada kebebasan pers, kebebasan berbicara, kebebasan berserikat dan kebebasan berakal sehat.

Kemajuan Korea Selatan dimulai dari desa dengan ‘gerakan membangun desa baru’ ( sae maul undong) Kita pun bisa menanam fondasi kemajuan dari desa dengan memobilisasi dan mengaktualkan nilai-nilai pedesaan yang kaya di Indonesia. Demokrasi desa yang direvitalisasi akan memungkinkan partisipasi aktif warga untuk membangun dari bawah ( bottom up).otonomi dan desantralisasi yang nyata itu tercermin di desa yang masih steril dari nilai-nilai individualism dan materialisme. Kebersamaan dan sifat gotong royong yang outward looking perlu terus diremajakan dan dipraktekkan di desa. Sikap saling percaya atau Trust harus tetap dijaga dengan pemberian keteladanan oleh pemerintah. Perlu juga pengerahan nilai-nilai budaya dan kearifan local yang terpendam di desa. Di Sulbar, redefinisi dan revitalisasi makan kata Malaqbi atau Siriq mutlak dibutuhkan agar bisa menjadi guidance untuk melangkah ke depan.

Singkat cerita, pembangunan yang berkeadilan dan sebuah good governance hanya akan terjadi jika :
1. Terjadi perubahan sikap mental dari semua pemangku kepentingan. Presiden terpilih Jokowi bahkan akan melakukan ‘revolusi mental’.
2. Penguatan nilai-nilai demokrasi dan demokratisasi harus terus dilakukan.
3. Pelenyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dilakukan secara transparan, akunabel dan partisipatif.
4. Rakyat kian mandiri dan berdaya saing tinggi dengan penguatan ekonomi kerakyatan berbasis budaya dan kemampuan local atau pengayaan ekonomi kreatif.
5. Ada supremasi hukum yang berkeadilan dan egaliter.
6. Ada insentif dan opportunity serta akses masyarakat kesumber-sumber daya yang ada.
7. Menghapus dualism ekonomi serta system-sistem yang monopolistik dan oligopoly yang kadang mewujud menjadi kapitalisme desa.
8. Sistim Pendidikan yang membangun karakter dan moral siswa, bukan sekedar pendidikan Link and Macht.


.

Obrolan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar