Kamis, 28 Agustus 2014

DIALOG PERADABAN

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak kemaren menghadiri forum global the United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC) keenam yang akan berlangsung hingga 29 Agustus 2014. UNAOC ditujukan untuk mendorong terciptanya kerukunan antarperadaban, utamanya dengan menjembatani jurang peradaban --termasuk antara Islam dan Barat-- serta membangun kemauan politik dan memobilisasi kemauan bersama untuk menghadapi prasangka, salah persepsi, dan ekstremisme dalam masyarakat. Tema UNAOC tahun ini adalah tema "Unity in Diversity: Celebrating Diversity for Common and Shared Values". Acara itu akan dihadiri dua utusan khusus, 20 pejabat setingkat menteri, pejabat tinggi serta perwakilan dari organisasi termasuk media.

Khusus mngenai ketegangan peradaban Islam dan Barat, itu sudah berlangsung selama berabad-abad. Di era perang dingin, ketika blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat berhadap-hadapan secara frontal dengan blok Timur yang dipimpin Uni Soviet (USSR), Islam lebih sering berada di camp barat, kendati ada beberapa pemimpinnya yang memainkan politik dua kaki dan berayun bak pendulum, ke kiri dan ke kanan atau ke barat dan ke Timur. Seperti Gamal Abdel Nasser yang dalam projek perangnya melawan Israel, terpaksa berpaling ke Moskow untuk mengimbangi Israel yang selalu didukung tanpa reserve oleh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.

Runtuhnya komunis Rusia, membuat kedekatan Islam dan Barat terinterupsi oleh sebab yang lebih bersifat cultural. Dalam artikelnya “ Clash of Civilisation”, Samuel P. Hungtington mengatakan “ that cultural conflict will replace ideological struggle in upcoming era.” Dan yang berpotensi untuk berhadapan secara vis a vis adalah Islam dan Barat. Munculnya issue-isue teroris serta khilafah yang oleh barat dikaitkan dengan radikalisme Islam semakin merunyamkan hubungan asimetris antara dua kubu yang sudah berlangsung sejak era sejak Perang Salib. Pemberian stereotype, stigma dan citra negative terus diproduksi oleh Barat sebenarnya untuk menjinakkan Islam di sangkarnya agar tak menjadi penghambat bagi aksi-aksi agressif barat yang hegemonik dan dominatif.

Dalam perspektif Hasan Hanafi, lewat proyek kolonialismenya, barat telah menciptakan problem epistemology dengan spiritual baru yang berbeda secara cultural dengan timur khususnya Islam, berupa dominasi kesadaran kognitif. Barat secara arogan menyederhanakan kolonialisme sebagai proyek modernisasi peradaban. Secara epistemologi, kolonialisme dianggap sebagai keinginan mulia masyarakat barat untuk menciptakan sebuah peradaban yang lebih maju, lebih beradab dari peradaban sebelumnya. Bagi masyarakat Barat, awalnya menganggap peradaban Timur adalah masyarakat tak berperadaban, primitif, masih diselimuti oleh mitos, tahyul dan juga dominasi teologi yang harus diubah melalui semangat modernisasi.

Semua hal diatas adalah penyebab munculnya reaksi ‘defence mechanism dan kecurigaan Timur atau Islam yang sangat bisa difahami terhadap Barat. Bahkan Hasan Hanafi telah menciptakan studi ‘ Oksidentalisme’ untuk mendekonstruksi dominasi dan supremasi Barat secara filosofis. Perjuangan secara akademik ini lebih efektif dan solutif katimbang perlawanan secara radikal dan ekstrim dengan menggunakan kekerasan. Bersama dengan usaha rekonsiliasi dan deradikalisasi lewat G to G forum yang berbasis dialog dan menjembatani, sebuah co eksistensi dalam rasa saling mentoleransi dan rukun bisa tercipta dan mendamaikan dunia ini.

Berbagai tantangan termasuk yang datang dari peradaban neokomfusionisme, dari negara-negara timur sendiri seperti China, Jepang atau Korea, mestinya membuat kita memperkuat basis-basi cultural dan structural sendiri jika tak mau dilibas dan dilindas oleh mesin tank peradaban lain yang lebih agresif dan penuh daya saing. Penguatan SDM ala ICMI yang bertumpu pada pengembangan daya Pikir dan Dzikir mutlak dilakukan secara sungguh-sungguh, sembari terus mau belajar untuk saling menunjang dan melengkapi. Karena dari peradaban Barat atau yang lain, juga punya potensi untuk memperkaya peradaban sendiri, tak ada jalan untuk menutup diri. Agar bisa maju dan mentas, berdiri sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan peradaban lain, kita harus selalu bersikap terbuka dan mengedepankan dialog. Hanya pemahaman budaya Islam dan budaya lokal yang bersifat inklusif dan pluralistik yang akan membuat kita punya peluang keluar dari kemelut dunia peradaban dan budaya yang berkecendrungn saling menggerus dan mau top sendiri. Semoga spirit dan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan bisa ditularkan oleh presiden SBY kepada mitra-mitranya dari berbagai latar budaya dan peradaban dunia di Bali. Insya Allah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar