Sabtu, 15 Februari 2014

INDONESIA, AMERIKA DAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN

Belum lama ini tiga kapal perang China meninggalkan pangkalannya di Pulau Hainan bergerak ke arah selatan. Changbaisan, sebuah kapal perang amfibi yang berbobot mati 20 ribu ton, Wuhan dan Haikou, bermanuver di sepanjang perairan Indonesia, masuk Selat Sunda mendekati Pulau Christmas lalu berputar menyusur pantai selatan Jawa, masuk Selat Lombok terus ke Selat Makassar dan berhenti di Pasifik Barat. Entah mengapa gerakan simulasi tempur armada perang China itu luput dari sorotan keamanan laut Indonesia.

Pergerakan kapal-kapal perang China yang bak siluman itu mungkin adalah sebuah pesan bagi negara-negara yang selama ini bersengketa dengan China dalam masalah claim atas Laut China Selatan, seperti Filipina, Brunei, Malaysia, Vietnam dan Taiwan. China bermaksud unjuk kekuatan dan memperingatkan negara-negara tersebut agar tidak bertindak gegabah dalam kasus sengketa tersebut di atas. Modus mengirim kapal perang ke wilayah sengketa adalah gaya Amerika di Jaman dulu ketika masih terlibat dalam perang dingin dengan Uni Soviet. Kapal Induk Amerika kerap memasuki perairan negara-negara tertentu untuk memperingatkan bahwa sebuah operasi militer bisa terjadi manakala negara tersebut masuk dalam pengaruh Rusia komunis. Bahkan pasca perang dingin hal tersebut masih sering terjadi.

Sebelumnya presiden Filipina berkomentar keras terhadap China. Di New York Times Presiden Benigno Aquino III meminta semua negara mendukung Filipina untuk melawan claim China di Laut China Selatan. Aquino membandingkan sikap China dengan sikap Jerman di bawah Hitler sebelum menduduki Cekoslovakia pada perang dunia II. Demikian juga dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, bulan lalu di sela forum ekonomi di Swiss, Abe membandingkan ketegangan antara negerinya dan China serupa dengan hubungan Inggeris dan Jerman sebelum Perang Dunia I.

Yang mengherankan adalah sikap Amerika yang lunak dan tampak pada komentar Komandan Angkatan Udara AS di Samudra Pasifik, Jendral Herbert Carlisle. Komandan yang satu ini menyayangkan komentar Aquino dan Abe yang dianggap dapat meningkatkan ketegangan di kawasan sengketa. “ Meredam Eskalasi ketegangan harus menjadi pendekatan multilateral, alih-alih tanggung jawab satu negara,” kata Carlisle. Sepertinya AS tidak perduli pada keprihatinan kedua sekutu dekatnya itu dan negara lain yang merasa terancam dengan sikap agresif China tersebut.

Memang sikap politik Amerika pasca perang dingin lebih berhati-hati, sekaligus terkesan seenaknya sendiri seolah tak perduli dengan sikap negara-negara sahabatnya apalagi yang bukan sahabat. Malahan seperti menerapkan standard ganda dan pilih tanding. Jika di Asia Timur Amerika tampak berhati-hati dalam politik luar negrinya, di kawasan Timur Tengah semua seteru politiknya ditangani secara garang dan keras. Kecendrungan itu tampak jelas dalam kasus Irak versus Kuwait dan Palestina melawan Israel. Tanpa mau mendengar keberatan negara-negara seluruh dunia, Amerika dengan tanpa alasan yang jelas serta merta menyerang dan mengacak-ngacak Irak dua kali dan dengan bertebal muka dan menutup kuping terus saja membela Israel yang nyata-nyata telah menjajah dan menyengsarakan bangsa Palestina sejak deklarasi Balfour yang diikuti pembentukan negara Israel di Timteng. Politik Containment dan contingensi untuk mencegah eskalasi keruwetan politik regional sepertinya dilaksanakan tidak konsekwen lagi. Memang China jauh dari hasrat untuk menjadi kekuatan global atau menjadi negara adidaya seperti Rusia dulu, tapi kemungkinan untuk menjadi kekuatan hegemonic di Asia Selatan dan Timur alias menjadi imperium regional bisa saja terjadi karena satu dan lain hal. Bisa karena permasalahan LCS yang tidak bisa diselesaikan secara diplomasi dan hukum internasional, sehingga memunculkan sebuah China yang bersifat agresif dan ekspansionis.

Dulu siapa yang menyangka bahwa Jepang bisa dan mau menduduki China di tahun 1895 dan mampu menyerang Rusia yang diback up Jerman dan Perancis lalu mengalahkannya akibat sengketa semenanjung Liaotung pada tahun 1905, kemudian menjadi negara ekpansionis atau negara penjajah. Atau Turki di bawah komando Mustafa Kemal Pasya bisa keluar dari rencana jahat Inggris di bawah Lloyd George yang dengan berbagai cara hendak menguasai Konstatinopel, lalu memukul tentara Griek ( Yunani ) boneka Inggeris di Afiun Karahissar, kemudian bergerak mendekati dan menguasai selat Dardanela. Padahal Turki saat itu dijuluki sebagai “ The sick man “

Menurut para ahli, setelah kekalahan Amerika di Vietnam, politik luar negerinya tampak melunak dan tak lagi suka memaksakan kehendak. Ben Wattemberg menulis tentang ini di New York Times, 1979,” And so it seemed to many that the old rules deserved to be junked. The new U.S foreign policy, formed in reaction to Vietnam, was less mosculer, more accommodating, and lower in profile. When Jimmy Carter became president, many of the people he appointed to foreign policy positions accepted these soft-line “ lesson” . Watemberg menguatkan argumentasinya dengan menunjukkan sejumlah bukti dan kenyataan, seperti respon yang tidak effetif Amerika di Angola dan Iran, dan menghadapi aneksasi Rusia di Afganistan, ketidak sanggupan berunding dengan Cuba terkait kekuatan ekspedisiny di Afrika, penarikan pasukan di Korea Selatan dan demoralisasi CIA.

Lalu bagaiman sikap Indonesia terhadap eskalasi politik yang mengkhawatirkan di kawasan Asia Timur, Selatan dan Tenggara? Indonesia tentu tidak akan berani dan setegas Shinzo Abe atau Aquino yang telah membawa masalah sengketa LCS ke Mahkamah Internasional , Indonesia cenderung bersikap wait and see atau mencari titik tengah. Ya, sikap pemerintah Indonesia adalah konsekwensi dari politik bebas aktif dan oleh keterbatasannya sendiri. Ambisi besar untuk berperan penting secara regional dan internasional tentu akan terkait erat dengan neraca keseimbangan antara kekuatan politik dengan kekuatan ekonomi dan sumber daya yang dimiliki. Indonesia cenderung focus pada penguatan demokratisasi dan penguatan ekonomi lewat Bali Democrasy Forum 2013, Konferensi Tingkat Tinggi Apec, dan perundingan Putaran Doha/ WTO di Bali. Dalam hubungan politik negeri, kita paling banter meributkan masalah-masaah minor, seperti kasus penyadapan dan nama kapal perang. Atau sibuk bernegosiasi guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negri yang 65 persen lebih masih diimpor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar