Sabtu, 15 Februari 2014

GUS DUR, SUNAN KALIJAGA DAN WILLIAM SAROYAN

Tidak ada mantan presiden RI yang sekontroversial K.H. Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur, beliau melampaui yang lain dalam toleransi, inklusivitas dan sikap ambiqu. Toleransi yang diperagakan cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy-ari ini sampai membuatnya dituduh sebagai Yahudi karena telah berkunjung ke Amerika Serikat memenuhi undangan Shimon Wiesenthal Center (SWC) untuk menerima Medal of Valor, Medali Keberanian. Selain untuk menerima medali tersebut, Gus Dur juga menyatakan ikut merayakan hari kemerdekaan Israel, sebuah hari di mana bangsa Palestina dibantai besar-besaran dan diusir dari tanah airnya. Islam ditangannya menjadi Islam yang penuh pengertian dan bersifat melindungi. Semua tokoh agama dan pengikutnya sekaligus senang berada dekat Gus Dur, sampai seorang Kristen marginal yang pernah saya temui di jalanan mendoakan keselamatan Gus Dur saat digoyang oleh orang-orang yang dulu mengangkatnya sebagai presiden.

Ketika semua orang menghujat Suharto di masa reformasi, Gus Dur dengan mantapnya melenggang ke Cendana menemui “ The Smiling General” itu. Setelah bercengkerama dengan Megawati, ditempat dan hari lain dia menggandeng Tutut. Mencintai demokrasi secara par excellent, tapi juga melindungi Prabowo Subianto, Kemal Idris dan Theo Syafei yang dianggap orang sebagai jendral-jendaral keras dan tak kenal kompromi. Terutama Prabowo yang dituduh telah melakukan penculikan terhadap para aktivis dan mencoba mengkudeta Habibi dulu. Atas semua itu dengar saja apa yang dikatakan sahabat sekaligus seteru Gus Dur, Amin Rais, tentangnya, “ Di antara politikus yang saya amati, Gus Dur menurut saya yang paling licin, piawai, dan luarbiasa karena mengandung element of surprise. Terus terang, dibandingkan dengan kepandaian Gus Dur membuat pernyataan-pernyataan yang multi interpretative, saya tidak ada apa-apanya. Itulah Gus Dur. Kadang-kadang dia dituduh plin-plan, tidak punya integritas, tetapi dia Cuma tertawa terus. Mengapa dia tertawa? Karena saya yakin dia punya jawaban yang dia yakini kebenarannya,”

Sebagai “ The living wali” begitu dulu beliau digelari karena sanad keluarganya memang bersambung sampai ke beberapa wali hingga ke Jafar Shadiq Ibnu Muhammad Baqir yang diyakini oleh para Sayyid dan Syarif sebagai bagian dari ahlul bait, tentu Gus Dur telah banyak mewarisi ilmu dan kearifan para wali, baik secara genetik ataupun didaktik. Sifat ambigu yang terkesan mendua dan inkonsisten yang sering ditunjukkan beliau adalah resultan atau manifestasi dari kecintaan Gus Dur untuk membela dan menyelamatkan semua yang saling berseberangan, dengan menghindari polaritas dan antagonisme total , dan menuju pada win-win solution, dimana tak ada yang merasa kalah dan dirugikan. Dalam kaidah fiqih prinsip moderasi itu disebut,” dar’ul mufasid muqaddamun aula min jalbil mashalih,” ( menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan). Barangkali itulah sebabnya dulu Gus Dur bersedia digadang-gadang oleh kelompok poros tengah untuk menjadikannya Presiden, walau kemudian dilengserkan lagi oleh mereka. Tujuannya jelas adalah menghidari chaos dan anarki jika salah satu dari dua kubu yang berseteru, saling bersaing keras dan secara diametral bertentangan dalam ideology dan politik, naik panggung, yakni kubu Megawati dan kubu Habibie.

Sikap dan sifat Gus Dur yang tampak enigmatik, eklectik dan unpredictable itu adalah tipikal karakter para wali yang tawakkal, pasrah pada kebijaksanan Tuhan dengan senantiasa bersikap tawasuth. Sunan Kalijaga waktu memasuki sebuah hutan, melihat seekor ular yang hendak memangsa seekor katak. Kemudian beliau berucap,” Hu” dan adegan pembunuhanpun tidak jadi berlangsung. Tidak lama kemudian sang ular bertanya pada Sunan, “ Mengapa Kanjeng Sunan menyia-nyiakan rejeki yang telah dipersembahkan Allah padaku,” dan Sunan menjawab,” Wahai ular yang rajin bekerja, sungguh aku tak bermaksud seperti itu, malah sebaliknya dengan berkata Hu sesungguhnya aku bermaksud Huntalen ( telanlah ). Mendengar jawaban itu, si ular merasa malu, minta maaf dan berlalu. Tak berapa lama setelah itu, sang katak menghadang Sunan dan berkata, “ Wahai Waliyullah, kenapa anda tak cepat menolongku, padahal nyawaku tengah terancam saat itu?” Dengan tersenyum bijak Sunan Kalijaga menjawab,” Wahai katak yang baik, sama sekali aku tak bermaksud seperti yang kau tuduhkan, malah sebaliknya dengan mengatakan Hu aku bermaksud Huculo ( cepat lepaslah ),” wajah katak pucat, kerana telah menuduh yang bukan-bukan pada Sunan, lalu minta maaf dan pergi.

Salah satu ciri khas Gus Dus adalah ucapannya yang selalu muncul pada masalah-masalah krusial dan kontrovesial, yakni, “ begitu saja kok repot.” Frasa yang sering dilontarkan Gus Dur itu adalah indeks pandangan realistis terhadap dunia yang penuh dengan tawaran-tawaran gila dan mimpi dan kadang membuat orang lupa diri dan bertindak secara tidak proporsional dan seimbang. Dalam ranah politik, frasa itu kadang bisa mencairkan suasana ketika semua pihak telah bersikukuh berpegang pada pendirian dan idealismenya masing-masing. Gus Dus pernah berujar tentang politik, “ Dalam berpolitik orang bisa saja berubah pandangan politiknya,” Menurut Hajrianto Tohari, mantan ketum PP Pemuda Muhammadiyah yang sekarang jadi wakil ketua DPR,” Gus Dur memang bisa dengan mudah melakukan koreksi dan rekoreksi, legitimasi dan legitimasi terhadap sikap-sikapnya yang lalu.

Masalah yang kerap direspon secara enteng dan santai oleh Gus Dur itu mirip sikap seorang tokoh dalam cerita pendek William Saroyan yang berjudul, “ Seekor Kuda Putih,” Di sana ada seorang bernama Khosrove yang hidup dalam masyarakat miskin tradisional yang memandang setiap masalah dengan tenang, seolah tak mau pusing. Ketika pada suatu hari anaknya, Arak, berlari kepada Khosrove yang sedang merawat kumisnya dan mengabarkan bahwa rumah mereka terbakar. Tuan Khosrove hanya berkata, “ tidak apa-apa, tidak apa-apa,” Di paragrap terakhir ia juga berkata pada kemenakannya yang gembira dan senang karena kuda yang disukainya setengan mati telah kembali, “ tenang, tenang, kudamu sudah kembali, mengapa harus pusing-pusing?”

Mungkinkah Gus Dur telah membaca William Saroyan? Sehingga beliau sedikit terpengaruh oleh perilaku lahiriah tokoh-tokoh ceritanya yang sejatinya mencerminkan pandangan hidup William Saroyan sendiri yang realistis dan pragmatis. Mungkin saja karena Gus Dur pernah sering datang ke lembaga Amerika di Mesir dan melalap buku apa saja disana tentu termasuk cerpen-cerpen penulis Amerika. William Saroyan adalah kelahiran Fresno California, tahun 1908 dan meninggal tahun 1981.

Tapi apa yang tampak di mata dan lahiriah sering tak mencerminkan suatu hakekat dan esensi sebuh ontologis. Sejatinya apa yang tampak diperagakan oleh Gus Dur dalam kemenduaan yang enigma, eclektik bahkan sinkretis itu adalah indeks dari sebuah keberagamaan yang benar, paling tidak menurut tafsir kaum tradisional. Makna Al-Din ialah a binding suatu ikatan dimana ada yang mengikat dan diikat. Persamaan itu mengikat dan perbedaan sesuatu yang harus diikat, jadi pada segala bentuk dan manifestasi, semua harus diikat. Dengan demikian agama mengikat manusia dengan segala perbedaan dan manifestasinya pada Tuhan. Pastilah Gus Dur faham betul perintah al-din atau agama ini.

Gus Dur sendiri dalam bahasa yang lain secara tidak langsung menjawab keberatan dan pertanyaan orang pada kedekatannya dengan tokoh agama lain dan pada pakaiannya yang tampak belang-belang, bergaris-garis, dengan mengutip perintah Allah dalam Al Qur’an, “ Wama arsalnaka illa rahmatan li al alamin, ( tiada kuutus engkau, ya Muhammad, kecuali sebagai ramat bagai seluruh alam). Gus Dur menjelaskan bahwa di antara sesama kita, harus ada yang mampu menjadi pihak yang membawa kerahmatan. Rahmat artinya tali pengikat dari rahim. Pengikat di antara kita sesama anak Siti Hawa dan Adam. Ini ditulis oleh Abdurrahman Wahid di tahun 2000 dalam makalahnya, “ Muhammmadiyah-NU, Perlu Meneladani Keikhlasan Rasulullah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar