Rabu, 12 Maret 2014

DIRI YANG TERTIPU

Hamzah Fanzuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus ke Qudus terlalu payah
Akhirnya dijumpai di dalam rumah

Syair di atas adalah hakekat pencarian diri dan perjalanan menuju Allah oleh Hamzah Fansuri. Di sini Hamzah Fansuri mengatakan telah pergi kemana-mana mencari Tuhan dan diri sejatinya, ke Mekkah, Barus dan Kudus, akhirnya merasa menemu apa yang dicarinya di dalam dirinya sendiri. Dalam terminology sufi maqam ini disebut ‘ Mukasyafah’ atau Musyahadah al Haq, suatu penyaksian nyata dan perasaan telah dekat sekali dengan Allah. Tak ada lagi hijab, semua hakekat dan rahasia kebenaran telah terbentang luas dan tersingkap di hadapannya. Serupa rombongan burung yang di pimpin burung Hud-hud yang merasa telah menemu hakekat diri dan Tuhannya di Gunung Qaf dalam kisah Percakapan Burung ( Mantiq al Tayr) karya Fariduddin Attar.

Dalam hal ini Al Hallaj beranjak lebih jauh dengan menjelaskan dan membenarkan fenomena kerohanian itu dimana manusia yang sudah bersih ‘ roh natiqah’ sungguh-sungguh dapat bersatu dengan roh Tuhan ‘ ainul ajma’ sesudah berlakunya ‘ hulul lahut fin nasut. Dia juga mengatakan bahwa seorang wali dapat bersatu dengan Tuhan, sehingga wali itulah Tuhan, dan Tuhan itulah wali, dan dia sendiri berkata ‘ ana al haq’

Para sufi atau salik yang menempuh perjalanan kerohaniaan menuju Tuhan dan diri sejatinya, digambarkan dengan baik oleh Faridudduin Attar dalam karyanya yang lain ‘ Musibah-namah. Seorang sufi bepergian jauh, mencari kebenaran mutlak. Setelah bertanazut dan menyepi selama 40 hari lamanya,serta mengurangi makan dan tidur, banyak berzikir dan tafakur, kemudian ia mengembara mengarungi dunia ciptaan. Dia mulai berjalan dari jiwa ketuhanan, kemudian turun ke alam ciptaan yang paling rendah. Dia mendengarkan lisan al-hal ( lidah kenyataan), angin, dan tanah, api dan laut. Dia mendengarkan kerinduan tanpa akhir dari segala ciptaan, yang dalam keadaan bingung berhasrat kembali ke asal ciptaan. Pada akhirnya dengan bimbingan Nabi Muhammad saw mereka mencari jalan dan menemukannya di dalam lautan jiwanya sendiri, tempat segala kerinduan berakhir.

Namun sang hujjatul Islam Iman Al Ghazali dalam bukunya ‘ al-Kasyfu wa al- tabyin fi Ghurur al-Khalqi Ajmain telah memperingatkan kita tentang adanya ahli-ahli ibadah, ulama atau ahli tasawuf yang tertipu. Menurut beliau kaum sufi yang tertipu itu ada yang mengaku telah sampai pada maqam tertentu, mencapai makrifat dan mengenal Allah, padahal mereka tidak mengenal semua itu kecuali sebatas nama-nama dan kata-kata saja. Oleh karena itu mereka memandang para ahli fiqih, ahli baca al Qur’an, ahli hadis, dan para ulama lainnya – lebih-lebih kaum awam- dengan pandangan menghina dan merendahkan, sampai-sampai para petani meninggalkan pertaniannya, dan tukang tenun meninggalkan tenunannya agar selalu dekat dengan mereka meski beberapa hari saja. Lalu menangkap dari mereka kalimat-kalimat yang dipalsu agar dibaca secara berulang-ulang seolah-olah mereka berbicara berdasarkan wahyu dan mengungkap semua rahasia yang tersembunyi.

Diantara mereka ada yang melakukan perjalanan kerohanian dengan memalingkan pandangan mereka dari segala gemerlap dunia dan hadiah-hadiah yang ada padanya, pokoknya mereka mereka mengingkari dunia yang dianggap sama buruknya dengan bangkai anjing. Dan mereka terus bersemangat melanjutkan perjalanan. Namun ketika hampir mencapai tujuan, mereka mengira telah sampai pada tujuan. Akhirnya merekapun berhenti dan tidak melanjutkan perjalanan. Sungguh mereka keliru dalam perkiraannya. Karena sesungguhnya Allah SWT memiliki tujuh puluh hijab yang terbuat dari cahaya dan kegelapan, di mana para salik ( penempuh jalan spiritual ) tidak akan mencapainya, keculi ia mengira telah mencapainya. Mereka seperti Ibrahim dalm Qur’an al-An’am 76 berkata “ Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang, dia berkata : Inilah Tuhanku,”

Adakalanya seorang yang menempuh jalan spiritual ini terjerumus dalam ketertipuan, karena berhenti ketika sampai pada hijab tertentu. Mungkin saja ia tertipu pada hijab pertama, sebab hijab pertama antara hamba dan Tuhannya adalah hamba itu sendiri, karena diri seorang hamba merupakan amr Rabbani ( sesuatu berasal dari Allah SWT ) juga. Dan itu merupakan salah satu cahaya di antara cahaya-cahaya-Nya. Yakni rahasia jiwa yang di dalamnya termanifestasi semua hakikat kebenaran, sehingga ia dapat meliputi alam secara keseluruhan yang di di dalamnya terwujud gambaran segala sesuatu. Disaat seperti itu, akan terbitlah cahayanya dengan sangat terang dan mempesonakan,karena di dalamnya akan tampak segala wujud seperti adanya, setelah sebelumnya ia terhijab oleh sebuah misykat ( ceruk dalam dinding ) yang berfungsi sebagai tirai penutup.

Apabila telah muncul cahanya secara penuh dan merata, maka saat itu pula tersingkaplah keindahan jiwa, setelah cahaya Allah menimpanya. Adakalanya si pemilik hati berpaling ke dalam hatinya, lalu menyaksikan keindahan yang luar biasa dan membuatnya terpesona. Dalam keadaan seperti itu, mungkin saja ia berteriak sambil berucap “ akulah kebenaran” Apabila tidak jelas baginya apa yang tersembunyi di balik pengalamannya itu, maka ia telah tertipu oleh ilusinya sendiri. Dan jika ia berhenti sampai di situ, niscaya ia akan binasa.



1 komentar:

  1. Isu ini berulang kembali d zaman pasca moden. Dulu sudah berlaku Dan akan terus berlaku. Suatu kebarangkalian @ hipotesis ia lah penulis2 yg ANTI THARIQAT @ HAQIQAT telah d doktrinasikan oleh WAHABBI Dan MASTERMIND NYA dr PROTOKOL YAHUDI / ZIONIS. Mungkin shj mereka telah d upah dan penulisan2 sebegini supaya umat distracted / d alih perhatian / keliru kpd PUSAKA AGUNG PENINGGALAN RASUL......bag us !ini praises aringan yg ideal, kerana yg benar2 let, sungguh2, ikhlas Sahara yg bisa TEMBUS. Yg d perlukan adalah umat2 yg berkualitet tinggi agar bisa d andalkan / d harapkan menghadapi cabaran Alaf baru yg mengila. Umat ku nanti banyak, laksana buih d lautan......( hadith) anda pilih kwalitet atau kantitet kira nya anda adalah Nabi... ( ecek2 nya lah )

    BalasHapus