Senin, 21 November 2016

YANG LUCU DAN SALAH KAPRAH DI DUNIA POLITIK


Istilah Partai Politik sebenarnya masih banyak menyisakan aneka persoalan. Salah satunya adalah pertanyaan apa sebenarnya makna atau arti partai politik ditinjau dari segi definisi dan praktek nyatanya. Jangan-jangan kita tak pernah bisa menagkap maknanya yang ideal melainkan dalam arti yang lebih material. Menurut Carl J. Friedrich, Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemamfaatan idiil maupun materiil.

Tidak salah memang jika dengan masuk partai politik orang berharap akan memperoleh reward dan atau benefit. Karena salah satu sifat manusia adalah ingin berkuasa dan beroleh posisi terhormat di masyarakat. Dan libido kekuasaan itu juga bisa didapat dan disalurkan lewat partai politik. Namun Jika kekuasaan yang telah diraihnya hanya sekedar untuk kekuasan itu ansich, dan melipatgandakannya dengan uang yang didapat dari sana atau dengan tambahan dari para donatur, maka sejatinya ia telah berinvestasi politik secara keliru, yakni investasi kekuasaan. Padahal menurut Rocky Gerung politik atau berpartai politik adalah berinvestasi untuk peradaban. Tentu saja untuk lebih mengadabkan manusia yang diwakili atau yang dipimpinnya.

Apalagi jika partai politik itu sudah dimaknai secara jauh menyimpang maka yang memasukinya hanya akan sekedar mencari popularitas atau uang yang melimpah. Jika sudah begini, partai politik sudah dimaknai sebagai ‘pesta politik’ dan disetiap event politik, di parlemen, di lapangan atau dimanapun yang muncul adalah peristiwa hura-hura belaka. Bukankah salah satu arti dari kata’ party’ adalah sebuah pesta, satu event sosial tempat dimana orang biasanya makan-makan, minum-minum, bernyanyi sambil berdans, sedap kan.....pantes banyak seleb yang masuk partai politik atau memamfaakan partai untuk menuju parlemen. Sementara kata politik itu sendiri jika diambil dari bahasa Inggris adalah kata sifat. Jadi sejatinya makna partai politik adalah ‘pesta yang bersifat political.”

Poitical adalah kata sifat dan benda,tapi ia lebih operasinal. Dan itulah yang mestinya menjadi acuan jika kita bicara politik dan menulis tentang politik. Jadi buku ‘ Dasar-Dasar Ilmu Politik ‘ karangan Prof. Miriiam Budiardjo berarti dasar-dasar ilmu yang bersifat political. Mestinya berjudul Dasar-Dasar Ilmu Political dong!. Jangan-jangan kata politik itu sendiri kita warisi dari bahasa Belanda, politiek. Kalau begitu, pantas saja partai politik kita masih bersifat kolonialistik dalam arti lebih berorientasi dan suka mempertahankan kekuasaan. Dan para penguasa yang berasal dari parpol tidak sudi melihat kelompok masyarakat lain - buruh, petani, nelayan atau kaum agamawan, untuk berpolitik.

Saya jadi teringat kata-kata Soekarno dalam artikelnya pada koran Pikiran Ra’yat 1933, “ Bolehkan Sarekat Sekerja Berpolitiek?. Antara lain Sang Proklamator itu berkata, “ .....Bagaimana politieke toestand daripada kita punya kaum buruh sekarang? Politieke toestand itu, nasib politik itu, kini adalah djelek sekali. Mereka misalnya ,- sebagai seluruh rakyat Indonesia -, tidak mempunyai hak untuk berserikat dan bersidang jang sempurna. Mereka, oleh adanya artikel 161 bis dari buku hukum siksa, tidak mempunyai hak mogok. Mereka punya sarekat-sarekat sekerja tidak gampang-gampang diakui sjah oleh pemerintah dan madjikan. Mereka tidak gampang bisa mengkritik madjikan atau madjikan pemerintah. Oleh karena adanya pasal-pasal didalam buku hukum pidana jang senatiasa mengantjam kepadanya.......( masih adakah yang mau menghargai dan mengamini kata-kata Soekarno?)

Selanjutnya jangan sekali-kali ada yang mengatakan tulisan saya ini “inkonstitusional,” karena itu salah kaprah. Sebab dicari sampai botak juga di kamus-kamus dan internet, kata tersebut tidak ada dalam bahasa Inggeris. Ia hanya ikut-ikutan kata-kata yang memakai awalan IN yang memang banyak dalam bahasa Inggris, seperti ; In - dependen, In-determinisme, In-secure, In-calculable, In-competent, dll. Begitu memang kebiasaanya kita, akibat masih kurang bangganya kita berbahasa Indonesia. Ditambah kemalasan belajar bahasa asing, minimal Inggris, maka terjadilah kasus-kasus penyerapan bahasa yang keliru dan sewenang-wenang. Kata bahasa Inggris Unconstitutional seenaknya kita Indonesiakan menjadi ‘ Inkonstitusional, unconventional menjadi Inkonvesional.

Tulisan atau wacana politik juga sering diwarnai dengan kata-kata yang tidak jelas maknanya, dengan metafora-metafora yang mati, tidak imaginatif atau diksi yang penuh kepura-puraan. Metafora terkenal di dunia politik adalah ‘ politik dagang sapi’. Di masa lalu metafora ini masih operasional dan sesuai realitas. Tapi sekarang orang-orang politik tidak seolah-olah jualan sapi lagi, tapi menjual pulau dan tanah yang sekarang nilainya lebih berlipat-lipat. Dan relitasnya kita sekarang tidak jualan sapi, tapi mengimpor sapi dari tahun ke tahun. Sebuah esei di Kompas dimulai dengan kalimat-kalimat.” Indonesia adalah cermin yang pecah. Ada retakan yang lebar ‘ode’ kemajuan pembangunan dan realitas kriisis kehidupan. Kapan juga kita jadi cermin, dan sampai pada yang namanya ‘kemajuan’, yang ada jalan di tempat. Sudah bilang pecah, bilang lagi retak, mana yang benar, sebab kduanya jelas beda tau. Lalu apa pula makna ‘aktor politik’, bukankah sosok yang dimaksud hanya bermain di belakang layar atau kemunculannya tidak penting. Jadi seharusnya dinamakan sutradara politik atau figuran politik.

Kata-kata seperti kapitalisme, neo-liberalisme atau liberal, fundamentalisme, radikalisme, komunis, sosialisme, kebebasan, keadilan, Islam rahmatan alamin, sampai demokrasi, sepertinya sudah kehilangan artinya yang jelas dan nyata. Kebanyakan hanya dikutip untuk sebuah retorika, menegaskan satu standpoint, atau untuk mengesankan keilmiahan. Paling tidak dipakai secara tidak jujur. Setiap istilah tersebut pada suatu ketika pasti akan menjadi tanda bagi, meminjam istilah George Orwell. “something not desirable” Pernyataan bahwa Islam itu Rahmatan Alamin, lebih sering bermakna orang Islam tidak boleh memilih pemimpin dari kalangannya sendiri, atau berprinsip“ Atiullah, wa Rasuli wa ulil amri minkum”. Dan seolah Islam itu bisa satu dalam aspirasi politiknya. Jadi yang suka Ahok silahkan, yang tidak juga boleh. Kan negara ini negara demokrasi, rakyat yang punya kuasa dan menentukan. Bukan rakyat yang gila, kecuali kita menterjemahkan demokrasi dari bahasa Inggeris secara letterlijk, ‘Demo cracy’

Demokrasi sendiri sering disifati secara berbeda,padahal demokrasi dengan makna-makna barunya itu tidak dapat direkonsiliasikan satu sama lain. Demokrasi substansial jelas bertolak belakang secara diametral dengan demokrasi prosedural. Demokrasi Pancasila tentu jauh berbeda dengan demokrasi liberal, tapi kok keduanya bisa hadir dan bicara di republik ini. Bukan saja memanifestasi pada era yang berbeda tapi semua bisa hadir pada saat yang bersamaan, hingga membuat iklim politik jadi rancu dan penuh anomali atau anakronisme. Kalau begitu Demokrasi di jaman reformasi ini demokrasi apa. Karena kebanyakan kita malas berpikir dalam dan sistimatis, maka orang akan mafhum saja jika ada yang mengatakan bahwa ia adalah pseudo demokrasi terpimpin atau pseudo demkrasi pancasila, atau demkrasi liberal yang kalang kabut.

Begitupun dengan istilah yang lain, kebanyakan kita tak mengerti maknanya yang sejati atau kita lebih suka bermain-main dengannya, memakainya hanya untuk sekedar gagah-gagahan dan tampak pintar. Jika misalnya kita taktahu lagi secara persis apa itu komunis, kapitalis atau apa itu liberalisme, bagaiman kita bisa melawan atau menjawabnya secara benar dan tepat.jika semua sudah dikaburkan maknanya, maka adanya perbedaan yang nyata antara seorang komunis, kapitalis, agamawan atau pancasilais sudah tidak berguna dan penting lagi. Konsekwensinya adalah, pernyataan bahwa negara Indonesia bukan negara komunis, bukan kapitalis, sementara klaim sebagai negara agama dan pancasila juga tidak jelas dan tegas, maka itu berarti negara Indonesia bukan negara apa-apa dan bukan punya siapa- siapa.





1 komentar: