Sabtu, 19 November 2016

CINTA PADA SEBUAH KAPAL DAN GONE WITH THE WIND


Sekarang ini di masyarakat muncul gejala-gejala overloaded dalam hal emosi dan sifat instingtual yang nyaris telah mengganggu stabiltas suatu komunitas atau masyarakat. Pada tingkatan terkecil masyarakat, keluarga, gejala kegemukan perasaan atau meluapnya nafsu, tanpa kontrol akal, atau keserasian keduanya, hampir-hampir tak terbendung lagi dampak buruknya beserta segala implikasinya. Hal itu terindikasi oleh semakin besarnya catatan angka perceraian di masyarakat. Menurut data yang valid, dalam lima tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan angka perceraian sebesar 60 hingga 80 persen.

Bagi yang bercerai mungkin tak seberapa merasakan akibatnya. Malahan ada yang beranggapan bahwa perceraian adalah pembebasan dari neraka kebersamaan. Namun bagi anak-anak yang masih sangat membutuhkan bimbingan dan keutuhan dua orang tua akan sangat bermasalah. Secara statistik perceraian dalam keluarga memberi kontribusi pada meningkatnya jumlah anak jalanan, anak-anak nakal dan broken home yang rentan terseret pada narkobaisme dan kriminalitas. Perceraian juga merusak perlindungan yang genuine pada anak-anak, sehingga terjadilah banyak pelecehan dan pencabulan terhadap mereka. Belum lagi bicara tindak kekerasan dan tindak penculikan pada anak yang juga kian marak.

Mengapa perceraian kerap terjadi, bahkan dikalangan selebriti yang ganteng dan cantik-cantk yang begitu piawai bicara tentang cinta perkawinan sebagai dasar bagi sebuah pernikahan. Itulah masalahnya. Banyak yang beranggapan bahwa sebuah perkawinan mesti berangkat dari kedekatan hati atau cinta yang menggebu. Padahal semua itu sangat mudah aus dan berkurang drastis pada saat berada dalam bahtera rumah tangga. Ada saja penyebabnya. Bisa karena pengaruh ortu dan mertua, munculnya pria idaman lain atau wanita segar bagai rumput halaman di pagi hari, sampaI ke masalah ekonomi, bahkan konon perceraian juga banyak dipicu oleh perbedaan afiliasi politik pasangan. Tapi yang umum terjadi adalah seringnya orang salah menilai pribadi pasangan di waktu PDKT karena pengaruh cinta yang sudah kadung membesar atau hasrat untuk segera menikah.

Waktu pacaran pasangan akan menutupi semua tabiat buruknya. Orang yang sedari kecil bersifat diktator di depan pacar akan berusaha menjadi penurut, simpatik atau demokratis. Yang punya kepribadian lemah akan berusaha tampak kuat dan tegas, bahkan yang kecendrungan metro seksual pasti berusaha tampil jantan dan macho di depan kekasihnya. Yang perempuan akan mencoba jadi sok keibuan katimbang tampak centil dan urakan. Dan tentu saja pada masa pacaran penyakit-penyakit bawaan belum terlIhat, misalnya kebiasaan tidur ngiler, bahkan bau badan. Yang punya halitosis tentu saja akan rajin membawa obat semprot penghilang bau mulut.

DI masa perkawinan, ketika aneka perbedaan sifat dan tabiat mulai terkuak, dan citra-citra ideal mulai memudar maka akan timbul rasa kecewa, kesal dan marah yang mengawali suatu pertengkaran hebat. Pada saat beginilah cinta dan nilai perkawinan diuji. Jika kedua pasangan tidak mau berbesar hati untuk menerima kenyataan,memahami kelebihan dan kekurangan pasangan, tapi malah membesar ego dan emosinya, maka pernikahan itu akan segera kandas. Apalagi jika pernikahan juga tak dilandasi oleh perencanaan yang matang dan punya tujuan bersama yang disepakati. Ditambah ketiadaan skill atau kemampuan untuk berkomunikasi yang baik, maka perceraian tak bisa lagi dihindari. Paling tidak telah menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa membakar habis bahtera rumah tangga.

Dalam novel NH, Dini, Pada Sebuah Kapal, diceritakan Sri memutuskan untuk menikah dengan Charles Vincent, seorang diplomat Perancis karena terpesona oleh kehalusan budinya, lagi penuh pengertian. Ternyata setelah pernikahan, sifat asli Vincent pun terungkap. Ia kerap berlaku keras, serta banyak mengatur atau berprilaku ‘control freak’ alias menjadi diktator. Maka cekcok dan pertengkaran pun sering terjadi kendati telah beroleh keturunan. Selanjutnya rumah tangga mereka berjalan adem-ayem saja seolah tak terjadi suatu apapun, sebelum semuanya terbakar dengan perjumpaan Sri dan Michel di atas kapal yang menuju Perancis. Sri yang telah merasa dikecewakan karena hilangnya kehalusan Vincent, dan Michel yang dilanda kesepian, merindukan kelembutan dan kasih sayang, dengan cepat bersatu dalam cinta yang muskil dan perselingkuhan yang tak putus.

Apakah dalam hal ini Sri bisa disalahkan? Tentu saja tidak segampang itu untuk menvonnisnya begitu. Karena betapapun ia telah menemukan ideal cinitanya pada diri Michel. Michel adalah perwujudan mimpinya tentang cinta yang didambakan dari seorang lelaki. Sri yang masih terikat perkawinan dengan suaminya, akhirnya menjadikan Michel sebagai dewa cinta yang menetap di ketinggian yang hanya bisa disentuh dengan cinta platonik. Pada saat begini akan terasa cinta dalam wujudnya yang ideal dan jauh lebih indah dari cinta yang ril dan dekat. Bagi Sri cinta yang tadinya dilihat nyata pada suaminya telah berangsur pergi bersama angin “ Gone with The Wind”. Sri merasakan keindahan dari peradaban cinta telah hilang seiring dengan perubahan yang nyata pada suaminya.

Dan bagi Margareth Mitchell, Gone with The Wind’ adalah karyanya yang menghidupkan bayangan kekasihnya letnan Clifford Henry yang gugur dalam perang pada diri Ashley Dukes. Konon Scarlet O’hara yang diperankan Vivian Leigh adalah kenyataan dirinya yang mencintai Ashley. Tapi pria idamannya ini lebih memilih Melanie sepupunya sendiri. Pada kehidupan nyata Margareth Mitchell, hadir seorang pria yang sejatinya bukan tipe idealnya bernama Berrien Kinnard Upshaw yang biasa dipanggil Red. Yang lalu kemudian menikahi Margareth. Dalam Gone with The Wind si Red ini menjelma menjadi Rehtt Butler, pria yang nantinya menikahi Scarlet O’ Hara, diperankan oleh Glark Gable.

Nah, perbedaan karakter tokoh dalam kedua kisah nyata dan rekaan di atas adalah dalam hal adanya komitment pada satu tujuan perkawinan yang terkait zeitgeist atau semangat zaman. Sri lebih bersifat platonik yang masih kesemsem pada wujud-wujud ideal cinta sekalipun ia berada di tempat yang nun jauh. Perselingkuhannya dengan michel juga dianggap sebagai manifestasi dari ide kesetaraan gender dimana wanita bebas menentukan pilihannya, bahkan untuk menyeleweng sepesti yang laki-laki suka lakukan. Sedangkan Margarth Mitchell atau Scarlet O’hara dalam novel atau film Gone with The Wind lebih bersifat realistis dan membumi. Di sana ada kesadaran pada jaman yang sudah berubah dan peradaban indah yang perlahan sirna dan tak perlu lagi diratapi, kenyataan yang ada harus dihadapi. Orang harus bertahan dalam goncangan kehidupan dan berjwa tangguh. Ketika pada akhirnya Scarlet O’Hara menerima Rhett Butler yang tadinya tak dicintai menjadi suaminya, itu karena ia melihat ketangguhan dan keberanian untuk hidup pada diri Rhett. Telah terjalin kesamaan tujuan pada akhirnya, karena Scarlet pun mulai bisa berpikir pragmatis dan realistis.

Kedua tokoh punya persamaan, sama-sama punya mimpi tentang cinta. Hanya saja mimpi Sri lebih platonik, yang memandang segalanya secara idealistik, tidak realistis. Sedang Margaret atau Peggy Marsh yang diwakili Scarlet O’Hara lebih Aristotelian yang lebih bersifat realistik. Dalam kaitan dengan perkembangan anak dan moral umum di masyarakat yang telah terdagradasi, kita tentu akan memihak sikap Scarlet O Hara yang rela menerima kenyataan dan mempertahankan perkawinannya dengan Rhett Butler, kendati dibayang-bayangi kepedihan cintanya pada Ashley Dukes yang kandas. Katimbang pada Sri yang tak henti mencari kebahagian bersama Michel dan terus membohongi suaminya serta mengabaikan perkembangan anaknya. Prinsipnya sama seperti syair yang tertuang dalam lagu yang dipopulerkan oleh Nancy Sinatra, berjudul ‘ You Only Live Twice’
You only live twice or so it seems
One life for your self and one for your dreams
You drift through the years, and life sems tame
Till love one dream appears and love is its name
And love is a stranger who’ll beck on you on
Don’t think of the danger or the stranger is gone
This dream is for you
So pay the price
Make one dream come true
You only live twice

Sebenarnya apa dikatakan lagu itu hanya sebentuk passion belaka, sebuah preskipsi untuk cinta yang mengabaikan keseimbangan jiwa. Dalam hal ini perasaan telah dinomersatukan di atas segalanya. Ada ajakan untuk memilih hidup tenang atau bertualang dalam lautan cinta. Propaganda cinta ini bukan suatu kesalahan besar, hanya satu ketidak mengertian tentang hakekat cinta. Cinta sejati mestilah spritual dalam arti melibatkan aspek keruhanian di dalamnya, itulah yang disebut Mawaddah atau kecintaan. Sebuah hadis Nabi berbunyi, “ Sesungguhnya ruh-ruh itu bagaikan sebuah pasukan yang terorganisir. Jika ia saling mengenal, maka ia akan saling mencintai dan jika ia saling mengingkari, maka ia akan saling berselisih,” ( Shahih Bukhari )

Jadi pada diri pasangan harus ada kesamaan preqwensi, dan vibrasi kejiwaan yang sama. Tak ada cinta yang sungguh tanpa keserasian hati. Seorang pencinta tak akan sudi pada orang yang asing di hatinya. Jika dua orang punya kesaman chemistri maka segera akan meningkatkan hubungan menjadi saling mencinta. Na, itulah yang tidak terjadi antara Sri dan Vincent, tapi terjadi pada Sri dan Michel. Dalam hubungan Sri dengan Vincent, telah terjadi peristiwa salah pilih karena adanya faktor kepura-puraan pada diri Vincent. Dan hal ini sepertinya telah terjadi dimana-mana dan yang telah menimbulkan gelombang penyesalan serta perceraian yang massif.

Mestinya sejak awal orang mau memfungsikan akalnya sebagai peneliti yang netral dalam soal cinta. Tidak sekedar menjadi presenter atau terompet nafsu atau perasaannya. Akal adalah karunia Tuhan yang paling tinggi dan powerful. Akal harus bisa mengontrol kecendrungan cinta fitrah kemanusiaan yang sering hanya berlandaskan nafsu dan perasaan. jika akal cendrung hanya mau merasionalisasi fantasi nafsu yang mencinta, maka cinta itu sendiri tidak akan langgeng dan tahan lama. Dan jika cinta rendahan itu telah berubah menjadi kebencian, maka disini juka akal akan memberi pembenaranya. Kalau sudah begini yang terjadi pada diri manusia, maka segala cinta dan juga kebenciannya sudah tidak normal lagi. Akhirnya akan muncul istilah-istilah cinta karet, cinta matre atau cinta buta seperti yang dialami Sri.

Sedang cinta yang dialami Margaret atau Scarlet O’ Hara adalah cinta yang berlandaskan akal sehat yang tidak sekedar menuruti nafsu atau passion yang tak terkendali. ia telah tertransformasi oleh cinta yang pada gilirannya menemukan alter egonya pada diri Rhett. Karena ia mau menerima kenyataan jaman yang telah berubah dengan berdamai dengan dirinya, menaklukkan superegonya, maka ia pun menemukan teman seperjalanan ruhaninya, ruh Rhett yan perkasa dan yang terus bergerak ke depan bersamanya. Dengan jiwa yang terbuka, mau mencintai dan dicintai, Scarlet O’H ara telah terlahir kembali sekaligus mampu menciptakan manusia baru yang mirip dirinya, Rhett Butler.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar