Kamis, 06 Februari 2014

KEARIFAN LOKAL

Mara’dia Kakanna Ipattang Daetta Tommuane mengatakan.” Naiya Mara’dia, tammatindoi di bongi, tarrarei di allo, na madandang mata : dimamatannna daung ayu / diamalimbonganna rura / diamandinganinna lita’ / diajarianna banne tau / diatepuanna agama. ( seorang raja, tidak boleh tidur nyenyak di waktu malam, tidak boleh berdiam diri di waktu siang, tetapi ia harus senantiasa memperhatikan : hijau suburnya daun kayu, dalam dangkalnya tebat, aman tenteramnya negara, berkembang biaknya manusia, kemantapan hidup beragama).

Apa yang dikatakan oleh mara’dia di atas adalah sebuah “ kearifan local” yang punya wawasan nasional bahkan internasional. Andai para pejabat negri ini mempraktekkan gaya kepemimpinan khas Mandar tersebut maka bencana yang datang di mana-mana tak akan begini besar dampaknya bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Seorang pemimpin memang harus selalu awas dan waspada setiap saat, serta mau turba dan melihat sendiri segala permasalahan yang ada diwilayahnya. Tidak enak-enakan saja di kantornya menunggu laporan dari bawah dan lapangan yang kadang telah dimanipulasi dan direkayasa demi kepuasan bos dan keuntungan sipelapor.

Jika terjadi banjir, bawahan biasanya akan mengatakan bahwa rakyat yang salah karena telah menebang pohon di gunung-gunung dan mencemari sungai-sungai dengan limbah dan sampah. Padahal dia sendiri beserta begundalnya yang telah memberi izin pendirian villa-villa, atau izin penebangan pohon-pohon di hutan lindung. Manakala banyak yang tewas dalam erupsi gunung, dilaporkan bahwa penduduk yang ogah mengungsi cepat karena takut kehilangan harta-hartanya. Padahal mereka yang salah mempredikasi dan tidak mau repot mengevakuasi warga dari zona bahaya. Atau jika terjadi banyak kecelakaan di jalan raya, maka bawahan penjilat akan mengatakan bahwa para pengendara yang tidak disiplin dan mau mentaati rambu-rambu jalan atau disiplin dalam berkendara. Sementara KIR dan SIM dikeluarkan semaunya tanpa mengikuti syarat dan prosedur perundangan yang berlaku. Truk-truk yang bertonase besar, dengan modal amplop pada petugas, bisa bebas memasuki jalan-jalan tertentu dan merusaknya.

Biasanya pemimpin yang malas dan tak perduli akan percaya begitu saja, lalu meneruskan laporan model begitu ke atasannya lagi. Pokoknya pemerintah dari yang paling atas sampai yang paling bawah akan cuci tangan semua dengan menimpakan semua kesalahan pada rakyat bila terjadi bencana atau musibah. Agar supaya dibilang peduli dan bertanggung jawab digelontorkanlah dana bantuan disertai pesan-pesan yang kedenganran arif bijaksana, agar rakyat mau lebih hati-hati menjalani kehidupan dan sabar menghadapi bencana. Busyet!
.

Pembelaan diri yang paling canggih adalah dengan menyalahkan alam. Dikatakanlah bahwa banjir terjadi karena Matahari dan Bulan kian dekat ke Bumi. Matahari yang panas menguapkan air laut dalam jumlah besar lalu menjadi curah hujan dalam debit yang besar juga. Berbarengn dengan itu Bulan yang nyaris mencium Bumi menimbulkan air pasang maka terjadilah banjir ‘rob’. Air dari gunung dan dari laut bertemu bila ketemu di kota, maka kotapun akan tenggelam. Begitu kilah mereka.

Jika begitu adanya, untuk apa ada Kementerian Kehutanan yang bertugas mengatur hutan-hutan agar tak ditebangi dan dijuali kayunya oleh para perambah dan pencuri, Menteri Negara Lingkungan Hidup yang mestinya perduli pada segala kerusakan alam yang ditimbulkan oleh keserakahan manusia. Atau Dinas PU dan Kementerian Perhubungan yang mengurusi lalu-lintas dan jalan. Bukankah mereka yang punya SDM dan dana untuk secara dini mengantisipasi serta memitigasi kemungkinan datangnya bencana? Memang harus ada sinergi antara pemerintah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) dan masyarakat, tapi pemerintahlah yang harus berada didepan memimpin dan lebih besar tanggung jawabnya karena punya kapasitas besar. Rakyat hanya mengikuti instruksi saja, apalagi rakyat miskin yang tak punya daya dan dana memadai untuk mengantisipasi segala bencana.


Kadang juga terjadi gara-gara sebuah masalah atau musibah, para pejabat saling bertengkar sesamanya, saling menjatuhkan, dan cari selamat masing-masing Prilaku mereka mirip dengan yang terjadi dalam dongeng anak-anak di bawah ini :

Di jaman entah berantah, seorang raja yang malas, masa bodoh, tak perdulian ketika mendengar serigala melolong bertanya pada menterinya apa yang terjadi. Sang menteri menjawab bahwa serigala itu tak punya baju panas. Pegawai yang mengurus pembagian selimut yang bersalah, harus dihukum, dan raja setuju. Ketika raja melihat babi hutan, sang menteri mengatakan bahwa itu sebenarnya gajah yang mengecil karena kelaparan akibat kelalaian ponggawa urusan pangan. Lalu sang ponggawa juga dibunuh, dan uang dana untuk kesejahteraan gajah-gajah dikorup si menteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar