Sabtu, 29 November 2014

CATATAN DARI SEMINAR DAN RAKERNAS PAPPRI

Pada hari Selasa 25 November lalu saya menghadiri “ Seminar Nasional” yang diselenggarakan oleh Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) di auditorium gedung utama Kementerian Perdagangan. Seminar itu dalam rangka Rakernas Pappri ba’da Musyawarah Besarnya setahun lalu yang telah memilih Tantowi Yahya sebagai ketua umum.

Hasrat hati untuk mendapatkan pencerahan dan harapan ke depan sebagai seorang pencipta dan pemusik serta anggota PAPPRI agaknya tak teraih siang itu, karna tak satu pun pembicara yang membahas secara khusus mengenai kesejahteraan dan nasib para pencipta yang kini sekarat dengan maraknya pembajakan dan pelanggaran hak cipta dimana-mana, di segala tempat atau media. Kesejahteraan itu hanya disinggung secara sepintas dalam materi-materi yang disampaikan. Agus Sarjono membawakan materi mengenai tafsir Undang-undang Hak Cipta No.28 tahun 2014 tentang keberadaan Lembaga Managemen Kolektif local maupun yang nasional (LKMN) serta hubungan antara keduanya. Di sana hanya ada iming-iming bahwa dengan adanya lembaga tersebut yang berpayung hokum tetap, maka akan ada perlindungna terhadap hak-hak pencipta secara pasti dan sah. Lho memangnya uang yang diterima para pencipta sebagai royalti dari KCI sebagai collecting society selama ini tidak legal alias haram?. Lantas dalam undang-undang hak cipta yang baru tersebut jika penerima royalty semakin diperluas subjeknya seperti para penyanyi, pemusik, produser atau lembaga penyiaran dengan membentuk LMK-LMK baru, apakah nasib para pencipta akan kian membaik dan terangkat harkatnya.

Rasanya tidak. Karena para user yang selama ini seret membayar royalty ke KCI tentu tidak akan menambah lagi jumlah apa yang telah dibayarkan seperti yang sudah-sudah. Yang itu saja selalu menimbulkan masalah dan pertanyaan tentang dasar perhitungan royalty dari pihak KCI. Jadi jika satu user telah membayar sepuluh juta setahun kepada KCI maka jumlah itu harus dibagi lagi dengan penerima-penerima royalty baru yang oleh undang UUHC yang baru disebut pemilik “ Hak Terkait” yakni penyanyi, pemusik atau produser. Atau barangkali para user rela menyisihkan penghasilannya untuk menambah jatah bagi royalty pihak terkait itu. Tadinya yang berhak mendapat royalty dari satu lagu hanya pencipta, kini harus dibagi dengan penyanyi, pemusik atau produser, wah, ente’ rek!

Satu-satunya jalan bagi pencipta untuk menambah jumlah royaltinya di LMK (N) adalah dengan memperbanyak ciptaan lagu yang didaftarkan di KCI. Tapi lagi-lagi itu akan membentur tembok karena eksistensi dan sepek terjang para pembajak dan pelanggar hak cipta telah memati surikan industri rekaman Indonesia. Para produser sudah tidak ada yang mau produksi kecuali yang telah punya jaringan bagus dan pelanggan tetap yang setia seperti Musica atau Sony Music. Tapi mereka yang masih eksis dan berproduksi hanya bisa menampung karya pencipta tertentu saja dan pasti akan sangat selektif memilih lagu. Katakannlah hanya belasan pencipta saja yang telah punya nama besar. Lantas anggota KCI yang jumlahnya hampir 3000 an itu akan kemana beraktualisasi dan mencari nafkah? Nah, hal inilah yang seharusnya dicarikan solusinya oleh PAPPRI dan KCI sebagai anak kandung PAPPRI.

Membahas peran LKM dan LKMN ke depan memang penting karna itu terkait dengan kerja menghimpun dana para user untuk royalty kepada para pencipta dan pihak terkait. Tapi hal yang lebih penting adalah bagaimana agar dunia industri rekaman itu bisa bergerak dan berproduksi dan para pencipta bisa mencipta dan kreatif lagi. Bagi pencipta, tidak perduli pihak mana nanti yang akan menjadi LKMN atau siapa saja yang akan menerima royalty, yang penting asal dapur bisa ngebul dan batin bisa tentram karena mencipta lagi. Pencipta juga tak begitu pusing dengan berapa lama hak-hak mereka itu bisa bertahan apakah seumur hidup plus 50 tahun, 70 tahun atau 5 tahun sekalipun. Concern mereka hanya pada adanya lingkungan yang kondusif bagi proses penciptaan lalu mendapatkan imbalan atau hak ekonomi darinya. Tentu saja caranya adalah dengan ketegasan dan keberanian PAPPRI, KCI, ASIRI atau aparat penegak hukum memberantas pembajakan dan pelanggaran hak cipta. Elsya Sayarif yang juga jadi narasumber siang itu mengatakan “ sebaik apapun sebuah peraturan atau undang-undang jika penegakan hukumnya lemah, percuma saja….masalah bukan pada baik atau tidaknya, sempurna atau belum sebuah undang-undang, tapi pada aspek penegakan hukumnya.”

Tapi harapan itu agaknya mengabur karena adanya klausul “ Penyelesaikan masalah lewat mediasi atau arbitrase. Bahkan UUHC yang baru tersebut telah merubah delik biasa menjadi delik aduan terhadap pelanggaran hal cipta. Dengan adanya penyelesaikan di luar pengadilan, maka akan terbuka peluang kongkalikong bagi mereka yang tak tahan godaan suap yang besar dari kubu para pembajak dan pelanggar hak cipta. Karena pembajakan hak cipta menjadi delik aduan bukan delik biasa, maka polisi yang bertugas di Polsek Glodok tidak bisa berbuat apa-apa pada para pembajak yang banyak menjual hasil bajakan dekat kantor mereka selama tidak ada pengaduan itu. Glodok adalah pusat para pembajak di Indonesia.

Sejak dulu pembajakan dan pelanggaran hak cipta telah terang-terangan terjadi dan telah merugikan para pencipta dan pihak terkait, juga pemerintah dari hilangnya potensi pajak dalam jumlah puluhan atau ratusan triliun, tapi kok masih ada toleransi terselubung lewat undang-undang, mestinya untuk menyudahi keadaan yang patologis itu, yang harus dilakukan adalah “ law enforcement’ yang tegas dan tak pandang bulu. Jika niat, dan political will itu ada sejak dulu, harusnya sudah lama para pembajak bisa diberantas, tidak menunggu adanya undang-undang yang baru.

Di samping hak ekonomi yang dianggap maha penting, banyak juga para pencipta yang justru pusing dengan diabaikannya “hak moral” mereka sebagaimana diatur dalam UUHC yang baru. Yang sederhana saja, mengenai keharusan mencantumkan nama pencipta jika lagunya diputar pada broadcast-broadcast seperti radio dan televisi. Setahu saya, kedua media penyiaran itu jarang atau tidak pernah mencantumkan nama para pencipta setelah lagunya diputar. Mungkin ada tapi itu adalah mukjizat, dan bukan karena kesadaran untuk menghargai jerih payah dan kreasi para pencipta. Atau tidak menjadi kebijakan umum bagi lembaga penyiaran untuk memperhatikan hak-hak moral para pencipta lagu. Bagi pencipta, jika lagu tak dibayar oleh para pelanggar hak cipta bukan menjadi concern utama, walau dianggap penting juga, tapi yang terutama adalah hak-hak budaya mereka sebagai pencipta lagulah yang teratas menjadi prioritas agar diperhatikan. Mereka bukan “ Homo Economicus” tapi “Homo Faber“ dan “Homo Sapiens” makluk pencipta atau pekerja yang berbudaya dan berakal budi. Terkait Hak atas kekayaan Intelektual ( HAKI), merekalah yang sejatinya paling berhak dan paling pertama untuk dilindungi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar