Minggu, 26 April 2015

BAHASA DAN PERCAKAPAN

Thomas Hobbes adalah filsuf Inggeris yang hidup di abad ke 17, sejaman dengan Fancis Bacon, Galileo, dan Descartes. Pemikir yang terkenal dengan adagiumnya ‘ homo homini lupus’ itu semasa hidupnya telah punya kesadaran berbahasa yang tinggi. Dalam bukunya ‘ Leviathan’ 1651, beliau menulis,” The invention of printing, though ingenious, compared with the invention of letters, is no great matter......but the most noble and profitable invention of all other, was that of speech, consisting of names or appellations, and their connexion; whereby men register their thoughts, recall them when they are past, and also declare them to another for mutual utility and conversation; without which, there had been among men, neither commonwealth, nor society, nor contract, nor peace, no more than amongst lions, bears, and wolves. The first author of speech was God himself, that instructed Adam how to name such creatures as he presented to his sight...”

Dengan bahasa Inggeris kunonya, Hobbes menggunakan simile untuk membandingkan manusia yang melakukan ‘ abuse language’ atau penyelewengan bahasa dengan burung,” Seeing then that truth consisteth in the right ordering of names in our affirmation, a man that seeketh precise truth had need to remenber what every name he uses stands for, and to place it accordingly, or else he will find himself entangled in words, as a bird in lime twigs, the more he struggles the more be limed.”

Ada hubungan yang erat antara bahasa yang hidup dalam keseharian yang digunakan dalam percakapan atau dialog tatap muka ( speech) dengan bahasa sebagai sistem perlambangan ( language). Tanpa adanya speech, dimana bahasa digunakan secara sinambung dan konsisten setiap hari, maka bahasa sebagai language akan segera punah, atau hanya sekedar menjadi bahasa mati, tanpa nilai guna. Jadi Kelestarian sebuah bahasa sangat ditentukan oleh penggunaannya sebagai sitem komunikasi dan ekspresi dalam masyarakat secara kongkrit. Perlakuan terhadap bahasa yang baik dan benar akan nyata terlihat dalam percakapan sehari-hari dan komunikasi lisan ataupun tulisan, bagaimana kita memperlakukan dan menghargainya, menyerap dan memasukkan kata-kata dan istilah baru yang baik, tepat dan benar, sehingga akan mengembangkan bahasa, menambah kaya kosa kata dan mempertebal kamus bahasa. Bahasa menunjukkan bangsa, hilang bahasa hilang bangsa.

Sejak bayi manusia sudah menggunakan bahasa, hanya saja masih bersifat kebayi-bayian, ngga jelas dan susah dimengerti, menggunakan bahasa tubuh secara kinetik, mirip orang yang sedang jatuh cinta di hadapan pujaan hatinya yang coba berkomunikasi dengan menggunakan bahasa kalbu. Setelah fase itu, manusia belajar bahasa tentu saja agar terbebas dari kegagapan, kebisuan, dan ketidak mengertian. Agar anak-anak usia sekolah bisa bersekolah, belajar dan berhitung. Yang dewasa agar bisa menjadi komunikator dan ekspresionis yang baik. Jadi penceramah, guru, orang tua, salesman, penyiar, wartawan, jubir, pejabat, politikus dan tukang jual obat yang mumpuni serta memikat.

Dalam berbahasa, dan memilih kata-kata tertentu, kita sejatinya telah mengungkapkan siapa diri kita yang sejati. Apakah kita manusia atau setengah manusia, apakah kita orang santun atau punya hobbi berpantun, semua terungkap dalam bahasa yang kita gunakan., termasuk sikap sosial, budaya dan politik kita. Berbahasa atau berbicara tanpa perasaan dan sikap sama dengan tidak berbicara. Bayi saja dalam mengungkapkan bahasa tubuhnya selalu disertai dengan menangis atau tertawa. Di sini bahasa bermakna sebagai media komunikasi, sebagai penyampai pesan serta alat untuk berekspresi.

Tapi kepandaian dan kefasihan berbahasa tidak ada hubungan dengan kearifan menggunakan kata-kata. Sering dalam keasyikan kita berbicara, tanpa sadar kita mengucapkan kata-kata yang ngga jelas maknanya atau melontarkan kata-kata atau ungkapan bahasa asing yang kadang kita tidak tahu persis apa arti dan fungsinya. Para penyiar, presenter, atau wartawan dalam berbicara dan menulis acapkali menggunakan isltilah-istilah aneh, asing dan salah kaprah. Seorang penyiar radio yang sering saya dengar kicauannya kerap berbicara begini ; Oh I see....itu effort yang good....dalam rangka capacity building.....kita memang harus selalu melakukan treatment secara konfrehensif....untuk sebuah pencapai goal yang significan...dst, dst.

Kata-kata yang dulu berwarna-warni – kata-kata bahasa Indonesia atau serapan dari bahasa asing- kini banyak yang mengalami keausan, usang dan menjadi pucat, karena telah pudar kekuatannya. Sehingga kehilangan arti yang sebenarnya. Kadang muncul dalam berita yang mengejutkan dan mendebarkan di surat-surat kabar yang suka pada sensasi. Pada jargon atau bahasa khusus dari para ekonom, sosiolog, bahkan kritikus sastra. Slogan-slogan pata politisi, dan mereka yang bermain di dunia maya, dan menghindar dari dunia nyata.

Berikut ini adalah serenceng kata-kata yang sering dipakai dalam kerja komunikasi dan berekspresi di negri ini yang berasal dari bahasa asing dan telah menjadi ‘klise’ atau kehilangan darah; subject, standard, progress, absolutely. Background, confrontation, factor, feedback, legend, great, nice, parameter, paranoid, trauma, mutatis mutandis, status quo, borjuis, regime, objective, categorical, effective, virtual, basic, promote, utilize, exhibit, constitute, eliminasi, review, dsb. Seringkali penggunaannya dalam ragam tulis tidak menyesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia, seperti kata subject, mestinya ditulis jadi subjek, standard jadi standar.

Penggunaan bahasa yang buruk, salah kaprah, tak mengikuti kaidah, serta pengalihan dan penghilangan makna sebenarnya, pernah disindir oleh George Orwell. Dalam konteks bahasa Inggris, beliau mengatakan,” It is clear that the decline of a language must ultimately have political and economic causes; it is not due simply to the bad influence of this or that individual writer. But an effect can become a cause, reinforcing the original cause and producing the same effect in an intensified form, and so on indefinitely. A man may take to drink because he feels himself to be a failure, and then fail all more completely because he drinks. It is rather the same things that is happening to the English language. It becomes ugly and inaccurate because our thoughts are foolish, but slovenliness of aur language makes it easier for us to have foolish tought. The point is that the process is reversible.”

Dalam bahasa Indonesia ada banyak kata-kata dari bahasa asing yang telah diserap namun sampai kini masih sering digunakan secara tidak tepat. Disadari bahwa kosakata bahasa Indonesia banyak dipengaruhi bahasa asing, itu tak bisa dihnidari, terutama di era globalisasi ini dimana kita akan selalu berhubungan dengan bangsa asing. Memungut kata-kata asing yang bersifat internasional justru sangat diperlukan oleh keperluan untuk berkomunikasi dalam segala segi kehidupan, termasuk dalam dunia keilmuan dan teknologi. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal ada ragam sosial dan fungsional. Hanya saja harus tetap memperhatikan prinsip penggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Benar artinya kalimat dan pembentukan kata mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Kata ‘aktifitas’ tidak benar penulisannya karena pemunculan kata itu tidak mengikuti kaidah penyerapan yang telah ditentukan. Pembentukan penyerapan yang benar ialah ‘aktivitas’ karena diserap dari kata ‘activity’. Kata persuratan kabar salah, yang benar persuratkabaran, pertanggungan jawab itu kacau, yang tidak kacau adalah pertanggungjawaban.

Pengertian ‘baik’ pada suatu pembentukan kata dan kalimat adalah lebih mengarah pada pilihan kata (diksi). Dalam suatu pertemuan atau pada jenis tulisan tertentu, kita harus memilih kata yang sesuai dengan konteksnya sehingga kata-kata yang digunakan atau dituliskan tidak akan menimbulkan nilai rasa yang tidak pada tempatnya. Pemilihan kata yang akan dipergunakan dalam suatu untaian kalimat sangat berpengaruh terhadap makna kalimat yang dipaparkan itu.

Ada dua kata atau istilah yang ingin saya sorot, yakni kata ‘ konsumerisme’ dan ‘ hedonisme. Dua kata ini berkonotasi negatif, sering dikutip sebagai mewakili suatu kondisi atau situasi negatif, padahal sejatinya ia bermakna positif dalam konteks yang lain. Seorang sejarawan pernah menulis seperti berikut, “ Agar tidak terjebak ke dalam suatu determinisme, kita perlu sadar bahwa pengembangan teknologi modern di Indonesia perlu mewaspadai dampaknya yang negatif, seperti konsumerisme, hedonisme, materialisme, dan permissiveness.”

Konsumerisme sering diartikan sebagai kegemaran belanja barang yang mewah dan banyak, atau hasrat konsumsi yang tinggi. Padahal istilah untuk itu yang tepat adalah ‘konsumtifisme’, bukan konsumerisme. Sedangkan makna sejati dari konsumerisme adalah suatu konsep atau faham yang berubah menjadi suatu gerakan karena adanya perlakukan produsen yang merugikan konsumen. Istilah ini datang pertama kali dari mantan presiden Amerika Serikat, Richard Nixon. Ini adalah adopsi dari konsep hak pembeli ( buyer’s rights). Gerakan konsumerisme adalah gerakan yang menyangkut individu, perusahaan, pemerintah, dan organisasi-organisasi independen yang berhubungan dengan hak konsumen di pasar. Dan gerakan ini diapreasi oleh presiden Kennedy di tahun 1962, kemudian mengajukannya ke kongres untuk disahkan sebagai 4 hak konsumen yaitu ; Hak untuk selamat, Hak untuk untuk memperoleh informasi, Hak untuk memilih, dan Hak untuk untuk didengar dalam keluhan dan complain terhadap barang dan jasa. Oleh General Motor, hak-hak tersebut ditambah satu yakni, Hak untuk dilindungi. Inilah yang juga diadopsi oleh Yayasan Konsumen Indonesia.

Begitupun dengan istilah hedonisme yang dimaknai sebagai kegemaran mencari kesenangan dan kenikmatan dunia dan material belaka. Sehingga seorang yang hobby menyeruput kopi di pagi hari atau di Starbuck pun dianggap sebagai pengikut hedonisme yang melulu mengejar kenikmatan. Padahal hedonisme dulunya adalah sebuah aliran filsafat yang menekankan pada prinsip kebahagian batin maupun lahiriah. Hal ini diungkapkan seorang pemikir Yunani kuno, Epicurus. Menurutnya tindakan manusia mencari kesenangan (hedonisme) adalah kodarat alamiah. Jadi manusia untuk bahagia harus terbebas dari keresahan, kegelisahan dan mencapai kebahagian rohani. Nah, kebahagian jenis inilah yang menjadi ideal Aristoteless. Dalam bukunya Etika Nikomakhea mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan manusia sebenarnya terkandung tujuan-tujuan sebagai arah dan motivator bertindak. Tujuan-tujuan itu kadang dan kebanyakan sebagai landasan bagi tujuan yang lebih jauh. Sehingga sampai pada tujuan yang tak bertujuan lagi, atau tujuan pada dirinya. Fase inilah yang disebut ‘ kebahagian’ .

Hanya pada bangsa-bangsa yang mementingkan spritualisme di atas segalanya, filsafat hedonis tidak akan berkembang. Carvaka adalah filsafat hedonis yang tidak populer di India karena serangan kaum spritual Hindu ataupun Budha di masanya. Di tengah kepercayaan pada konsep karma dan reinkarnasi, filsafat Carvaka menyeruak dan mencoba mencari prinsip serta jalan lain. Mereka disebut kaum hedonis karena punya credo yang berbunyi sbb.” Karena tidak ada hukum yang mengikat, kita boleh bertindak apa saja” Dalam ‘Kamasutra’ kaum ini berpendapat,” Sejauh hukum moral mengenai sesuatu, sejauh itu pula kita harus taati, jika bukan demi kebahagiaan hidup mendatang sekurang-kurangnya untuk membuat hidup masa kini mudah dan terhormat.”

Lalu apakah salah bila manusia mencari kebahagian atau kenikmatan hidup? Dewasa ini muncul pemahaman baru bahwa sesorang tak akan pernah sukses dalam karir dan pekerjaan jika ia tak menikmati dan senang pada pekerjaannya, atau punya passion terhadapnya. Dengan menikmati kerja sebagai satu aktualisasi diri dan pencarian makna, maka seseorang diharapkan akan mencapai sukses materi dan rohani. Anak-anak sekarang malahan dianjurkan untuk melakoni pelajaran sebagai sebuah kenikmatan dan kegembiran, bukan sebagai beban yang menyusahkan. Mencari ilmu atau belajar matematika hendaknya dianggap sebagai sebuah permainan yang menyenangkan. Citra ilmu yang formal, kaku dan menakutkan harus diubah menjadi sesuatu yang lucu, konyol, memberi kenikmatan sekaligus memanusiakan. Bahkan Roland Barthes, seorang pakar linguistik menganggap bahwa membaca teks, cerita atau bahasa merupakan suatu kenikmatan. Baginya teks adalah objek kenikmatan,” The text is objek of pleasure”

Terjadinya suatu pemaknaan bahasa yang salah seperti tersebut di atas karena menurut De Vito “ makna ada dalam diri manusia”. Sebagaimana yang dikutip Drs. Alex Sobur, M.SI. dalam bukunya “ Analisis Teks Media” , De Vito mengatakan bahwa makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan.......komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan bisa salah. Sebenarnya dalam bahasa Indonesia baku, sudah ada kata yang bisa mewakili dua kata pungutan bahasa asing yang tidak jelas di atas – konsumerisme dan hedonisme- yang bisa menimbulkan kekacauan semantik, yakni kata ‘ Foya atau berfoya-foya’ yang bermakna “ bersenang-senang dengan menghamburkan-hamburkan uang”.

Tulisan ini tidak bertendensi untuk disebut sebagai karya linguistik, tapi hanya sekedar bermaksud melakukan kritik umum atau otokritik pada diri sendiri, karena hasrat menulis yang menggebu-gebu sehingga melupakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selamat berpusimg ria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar