Jumat, 24 April 2015

ISKANDAR MUDA LOPA DAN TARREANG


Rekan yang satu ini, Iskandar Muda Lopa, benar-benar mewarisi kesederhanaan ayahandanya, Baharuddin Lopa, kendati ia sekarang telah jadi salah seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari provinsi Sulawesi Barat. Waktu acara arisan bulanan Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat (KKMSB) Sabtu, tanggal 18 April lalu di rumahnya, para tetamu disuguhi dengan kuliner khas daerah Mandar yang sederhana, jauh dari kemewahan, diantaranya ; lameayu dianjoroi (singkong), bau peapi, bau tunu ( ikan masak dan ikan bakar). Salah satu penganan yang sangat sederhana adalah bubur Tarreang atau bubur jewawut yang lebih dikenal secara luas dewasa ni sebagai bahan makanan burung. Di Mandar biasanya dihubungkan dengan burung Bukkur atau tekukur. Saat itu kami sudah tak ingat lagi apakah kami manusia atau burung, pokoknya kami sambut dengan gembira hidangan tersebut, lalu menyantapnya dengan lahap. Bubur tarreang itu manis karena dicampur dengan gula merah Mandar dan santan kelapa. Paling nikmat jika disantap ketika sedang panas. Dan akan tambah nikmat rasanya jika kita juga membayangkan sedang menyantapnya sambil mendengar alunan suara burung-burung penyanyi ; perkutut, tekukur, kenari, parkiit, lovebird, dsb. Serta mengingat riwayatnya dulu ketika masih dianggap komoditas penting sebagai makanan pokok manusia.

Dalam merenungi jewawut yang saya nikmati dengan tuntas, saya teringat pada apa yang pernah ditulis Bertrand Russel dalam esainya yang berjudul ‘ Useless Knowledge’ , “ Curious learning not only makes unpleasant things less unpleasant, but also makes unpleasant things more pleasant. I have enjoyed peaches more since I have know that they were first cultivated in China in the early days of the Han dinasty; that Chinese hostages held by the great King Kaniska introduced them into India, whence they spread to Persia, reaching the Roman Empire in the first century of our era....All this makes the fruit taste much sweeter.”

Nah, diaspora jewawut mirip dengan buah peaches tersebut. Menurut sejarahnya, Jewawut adalah makanan pokok banyak bangsa di dunia sebelum dikenalnya padi atau beras, termasuk di Nusantara. Bangsa China telah membudidayakan jewawut 5000 tahun sebelum masehi, lalu menyebar ke bangsa Romawi sekitar 3000 tahun sebelum masehi. Saya malah merenungkan dan berspekulasi, bahwa bubur tarreang itu adalah penanda tuanya kebudayaan Mandar, setua bangsa China atau Romawi. Mungkin di seluruh daerah atau wilayah etnik di Nusantara ada juga budidaya jewawut, atau bubur jewawut seperti di Makassar, atau Bali, tapi hanya di Mandar ada cerita dongeng yang berjudul Paqjaga Tarreang” atau penjaga Jewawut yang mencuri selendang si putri bungsu dari tujuh bidadari langit. Dongeng bertema sama, seorang lelaki mencuri selendang bidadari yang turun mandi ada juga di Pulau Jawa yakni kisah‘ Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan”. Tapi kisah Jaka Tarub dan Nawangwulan telah berada di era pertanian, dimana beras telah menjadi makan pokok rakyat. Konon Nawangwulan, sang bidadari, istri Joko Tarub, punya kemampuan cukup memasak sebutir beras tapi bisa menghasilkan sebakul nasi. Sementara cerita Paqjaga Tarreang mungkin telah ada jauh sebelum itu, di era jewawut masih menjadi makanan pokok manusia. Menurut bukti-bukti pra sejarah, era pertanian di Nusantara dimulai pada tahun 3000 sebelum masehi.

Bagi bangsa-bangsa kuno, sebuah dongeng, cerita rakyat, legenda atau mitologi , akan sangat berkaitan dengan alam, lingkungan dan benda yang ada di sekitar yang dilihatnya sehari-hari. Imajinasi masyarakat tradisional yang mewujud dalam aneka cipta dan cerita masih bersifat historis dan bersumber dari pengalaman keseharian yang kongkrit dan spontan. Sedangkan manusia modern, imaginasi telah menjadi sebuah metode dan rekayasa mental untuk menciptakan sebuah karya seni, ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Mereka bisa terbang ke masa lalu, masa kini dan masa datang untuk mencari ilham berimaginasi, serta menjadikan benda apa saja sebagai sumber imaginasi.

Dapatlah disimpulkan sementara ( hipotesa) bahwa dongeng ‘ Paqjaga Tarreang’ di Mandar adalah kristalisasi dari satu renungan atau imajinasi yang berkaitan dengan sesuatu yang dianggap sangat penting dalam hidup keseharian dan dunia simbolis orang Mandar di masa yang paling awal. Dan ‘sesuatu’ yang telah menjadi sumber cerita itu adalah Tarreang atau Jewawut, serealia atau tanaman semusim yang juga menjadi kesukaan para burung penyanyi. Sementara ilustrasi dan keberadaan 7 para bidadari mungkin adalah personifikasi dari burung-burung tersebut. Dongeng Paqjaga Tarreang boleh jadi lahir dari seorang local jenius yang sedang menjaga tanaman tarreangnya dan melihat datangnya rombongan burung penyanyi, lalu jatuh hati oleh keindahan suara mereka, makanya penjaga itu dalam cerita selalu meminta burung pujaannya untuk menyanyi. Di bawah ini saya sertakan sinopsis pendek dongeng Paqjaga Tarreang yang saya kutip dari buku ‘ Ensiklopedi Sejarah, Tokoh dan Kebudayaan Mandar’ yang disusun oleh Suradi Yasil.
Paqjaga Tarreang
Alkisah seorang pemuda paqjaga tarreang melihat tujuh bidadari bersaudara turun mandi di sebuah telaga dekat kebun jewawutnya. Terpesona oleh kecantikan sang bidadari bungsu, sipenjaga lalu menyembunyikan pakaiannya. Bidadari bungsu tak bisa lagi ikut terbang ke langit, dan di bumi ada paqjaga tarreang yang mencintainya, maka kawinlah keduanya. Sang paqjaga tarreang selalu meminta istrinya untuk menyanyi, padahal itu akan membuat istrinya mampu untuk kembali ke langit walau tanpa pakaian saktinya. Maka suatu ketika sang bidadari pun bernyanyi yang berakibat ia bisa kembalilah ke langit. Dalam kesedihan, paqjaga tarreang, nekat terbang ke langit dengan menggunakan pakaian istrinya. Setelah melewati ujian yang sulit dan dengan bantuan lalat dan kucing, akhirnya paqjaga tarreang dapat berkumpul kembali dengan istrinya. Tak lama berselang, keduanya turun ke bumi menjemput anak mereka lalu membawanya ke langit dan menjadi warga langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar