Selasa, 18 Maret 2014

ABU NAWAS


Orang Mandar terutama generasi senja pasti akrab dengan kisah-kisah Abu Nawas yang jenaka, lucu tapi cerdas. Diantaranya yang terkenal adalah kisah Abu Nawas yang selamat dari jebakan dan hukuman raja karena mengaku ayam jantan setelah tak bisa bertelur seperti kemauan sang raja. Atau tentang Abu Nawas yang bisa memaksa seekor Gajah mengangguk-ngangguk dengan menggosokkan balsam di kemaluan gajah dalam sebuah sayembara. Yang juga popular dan telah beradaptasi dengan budaya Mandar adalah kisah Abu Nawas yang mampu menangkap I Pukkali ( kadi) yang tak mau dipecat raja. Dengan kelihaian dan keahlian Abu Nawas, pada malam Lailatulkadar sang Kadi bisa dimasukkan ke dalam kantong oleh Abu Nawas dan diantar ke istana raja, dan disangkutkan ke tanduk rusa yang jadi perhiasan Istana raja.

Ya, begitulah, Abu Nawas yang sejatinya adalah sorang sufi penyair yang alim, arif bijaksana dan cerdas, entah dengan cara bagaimana telah beroleh citra negatif sebagai seorang yang sekedar disamakan dengan pembual, licik, penuh dengan akal bulus dan sebagai pelawak saja. Bahkan dalam Kisah Seribu Satu Malam ( Alf Laylah wa Laylah) atau dalam cerita-cerita rakyat yang tersebar di seluruh dunia Islam dan yang bukan, ditemukan episode-episode cerita yang mendiskreditkan dan memberi citra buruk pada beliau. Abu Nawas sebagai penyair dan guru sufi yang sederhana dan merakyat yang selalu membela mereka yang lemah dan tertindas, telah diidentikkan dengan orang baduy yang licik, hedonis, suka khamar dan wanita. Malah ada yang beranggapan jangan-jangan ini adalah hasil kerja dan rekayasa kaum orientalis yang bertujuan menjelek-jelekkan dan merendahkan Islam, Wallahu ‘alam bissawab.

Walau banyak cerita-cerita jenaka yang cerdas dan mencerahkan yang juga dinisbatkan kepada Abu Nawas tapi kebanyakan cerita-cerita yang beredar tentangnya selama berabad-abad berkonotasi negatif dan menjadikan Abu Nawas menjadi sosok ikonik bagi mereka yang suka menipu dan berbohong serta menjadi bahan olok-olok. Dalam masyarakat kita, jika ada orang yang telah dianggap sering melakukan penipuan diberi gelar ‘ si Abu Nawas’ Padahal Abu Nawas sejatinya adalah sufi penyair yang arif lagi bijaksana, hakim yang pandai memecahkan soal-soal pelik, dan seorang yang mempunyai pandangan mendalam pada aspek kejiwaan dan keagamaan manusia serta dicintai oleh raja Harun Al Rasyid di jaman daulah Abbasiyah.. Dibawah ini adalah salah satu kisah Abu Nawas yang menunjukkan kualitas dirinya yang sebenarnya sebagai seorang muslim yang alim,ahli hikmah, kritis, serta arif bijaksana.

Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang banyak. Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang selalu menanyakan mengapa Abu Nawas selalu mengatakan begini-begitu. Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama, orang pertama mulai bertanya,

“ Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“ Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” Jawab Abu Nawas.
“ Mengapa?” kata orang pertama.
“ Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.” Kata Abu Nawas.
Orang pertama puas kerena ia memang yakin begitu.

Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama dan mendapat jawaban dari Abu Nawas “ Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” dengan menjelaskan bahwa dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan. Dan orang kedua tersebut juga puas dengan jawaban Abu Nawas tersebut.

Orang ketiga juga bertanya hal yang sama dan dijawab oleh Abu Nawas dengan tegas bahwa yang lebih utam adalah yang mengerjakan dosa-dosa besar. Ketika ditanya mengapa, beliau menjawab,” Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.” Dan orang ketika itu menerima alasan Abu Nawas itu.

Seorang murid Abu Nawas yang belum mengerti dan terheran-heran, bertanya mengapa dalam pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. Abu Nawas pun menjelaskan dengan panjang lebar “ Manusia dibagi dalam tiga tingkatan ; tingkatan mata, tingkatan otak, dan tingkatan hati. Tingakatan mata seperti anak kecil yang melihat bintang di langit, dan mengatakan bahwa bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata. Sedangkan yang berada pada tingkatan otak adalah orang yang pandai melihat bintang dan mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan. Selanjutnya orang yang telah sampai ke tingkatan hati adalah orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. Ia tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun tahu bahwa bintang itu sejatinya besar sekali. Karena baginya, layaknya orang yang alim dan mengerti, tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan ke-Maha Besaran Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar