Rabu, 24 Juni 2015

IMAN, PUASA DAN TAQWA

Seorang ulama mengatakan bahwa Puasa itu ibarat sebatang pohon yang terus-menerus menghasilkan buah, tiada pernah berhenti. Simile atas puasa ini tentu mempunyai makna beragam. Bisa bermakna bahwa jika puasa dijalankan dengan penuh keikhlasan, serta niat untuk beroleh ridho dan rahmat Allah semata, maka puasa akan memberi kita pahala, kebahagiaan, dan kebaikan yang tidak ada batasnya. Sebabnya adalah, karena setiap ibadah sunnat di bulan puasa, bernilai ibadah wajib, sedang ibadah wajib dilipat gandakan pahalanya menjadi 70 kali lipat. Jika dalam sehari saja kita melaksanakan salat lima waktu, maka pahala yang didapat akan berjumlah 17 x 70, hasilnya hitung sendirilah.

Tercapainya angka matematis itu adalah jaminan Allah, karena puasa adalah untuk-Nya dan Allah sendiri yang akan memberi langsung ganjaran bagi shaimin dan shaimat yang dalam puasanya betul-betul berniat bermurakabah dan bermujahadah kepada Allah. Hal ini bukan sesuatu yang khayal dan ilusif belaka, karna Allah sendiri berkata, “ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku memperkenankan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku ; sebab itu hendaklah memohon perkenan kepada-Ku, dan beriman kepada-Ku supaya mereka memperoleh petunjuk.” ( Al Baqarah : 186). Perlu diingat bahwa doa orang berpuasa sejak subuh sampai berbuka tak terhijab, sama dengan doa orang yang teraniaya atau dizalimi, akan langsung diijabah Allah.

Tapi tampaknya yang terus berbuah kini hanyalah makna-makna puasa atau hikmah-hikmahnya yang terus bertumbuh karena terus dicari dan digali, sehingga terkesan dicari-cari, dan apapun bisa dikaitkan dengan puasa. Jika cita-cita dan ideal puasa yang terus bermultiplikasi itu tak sesuai dengan kenyataan, akibatnya puasalah yang jadi sorotan tajam dan memikul beban yang berat, serta kerap menjadi sasaran cemooh dan penyesalan. Kalau sudah begini, akan semakin banyak yang sinis dan ragu pada efektivitas puasa guna mengantarkan muslim menuju ketaqwaan, dalam arti menjelma menjadi manusia berkualitas secara mental, spritual dan jasmani. Bila didaftar, banyak sekali makna dan hikmah puasa yang bebas berkembang. Di Masjid dekat rumah tempat saya selalu teraweh pun telah muncul makna-makna puasa yang berbeda setiap malam. Puasa katanya bisa menumbuhkan etos kerja, menjadi momentum melakukan gerakan kebudayaan, menciptakan etos kebangsaan yang penuh toleransi dan empati pada setiap perbedaan, puasa bisa meningkatkan disiplin kerja, meningkatkan rasa kasih-sayang dalam rumah tangga dan masyarakat, menguatkan prilaku jujur untuk menghalau budaya korupsi, bisa mengeliminir suap, manipulasi, dan aneka penyelewengan di ranah publik atau pemerintahan, dst, dst.

Akibat dari cara pandang terhadap puasa yang terlalu melebar ke ranah publik dan sosial, dengan interpretasi yang seperti unlimited itu, tapi tanpa berkolerasi secara positif dengan perbaikan yang nyata pada sikap mental dan prilaku umat, maka banyak yang akan berkomentar dengan nada seperti ini, “ mengapa puasa yang telah kita jalani puluhan tahun tidak juga bisa membentuk sikap dan prilaku jujur, sabar, rajin, berdisiplin di masyarakat, dan pemerintahan, malahan sikap abai dan koruptif kian merajalela dari tahun ke tahun, seakan puasa itu tidak memberi bekas pada batin dan menyentuh sisi spritual dan kerohanian umat.”

Fenomena merebaknya sinisme terhadap puasa bagi saya justru karena kita telah menanggalkan aspek spritualitas dan kerohanian puasa, dan telah kita ganti dengan tafsiran bernada pilosofis, serta berwawasan ekonomis, sosial-budaya atau antropologis. Sehingga membuat puasa menjadi seperti sebuah pilsafat idealisme hegelian atau Platonik yang ngambang tanpa aspek kongkrit dan historis. Bagai sebuah rencana strategi perusahaan dan negara yang jauh dari reaalitas dan tahapan eksekusi nyata. Mirip mimpi kaum komunis tentang masyarakat tanpa kelas, atau igauan kaum utopis pada kehidupan sempurna di Arcadia dulu. Atau ilusi kaum positivis tentang kebenaran terakhir dunia empiris.

Puasa yang telah ditawarkan dan dijual seperti obat instant serba guna melawan berbagai penyakit hati dan sosial itu, telah melupakan sasaran utama puasa untuk menjadikan mu’min menjadi insan yang bertaqwa, yang pada gilirannya membina akhlakul karimah umat. Aspek-aspek religiusitas kian terlupakan dan banyak yang di tip ex dari lembaran memori umat berganti dengan preskripsi-preskripsi sosial, kesehatan bahkan politik. Jika kita membaca dengan cermat ayat 183 surat Al Baqarah, maka kita tentu tidak akan memperlakukan puasa secara sewenang-wenang dengan menjadikannya sekedar instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan mundane manusia. Jika bangsa ini masih banyak mengidap penyakit korupsi, ya, salahkan para pemimpinnya donk. Bagaimana sistim pengawasannya, apakah pihak wakil rakyat atau KPK, POLRI dan kejaksaan serius mau memberantas korupsi. lihalah sekarang ini di masyarakat sedang ramai pro-cons tentang dana aspirasi anggota DPR, berkelindan dengan rencananya untuk merevisi Undang-Undang KPK. Bukankah ini semua tindakan yang terkesan memberi peluang kedepan untuk semakin maraknya prilaku korup dan manipulatif di masyarakat.

Puasa sejatinya berasumsi bahwa yang melakoninya adalah umat yang sudah beriman, bukan sekedar muslim sebagaimana bunyi ayat 183 itu, Yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba ‘alaikumush shiyaamu kamaa kutiba ‘alal ladzina min qablikum la’allakum tattaqum.” ( Hai sekalian orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang yan terdahulu sebelum kamu supaya kamu bertaqwa ). Dan Iman itu sendiri sepenuhnya adalah hidayah dan taufik Allah yang harus dimuliakan, dirawat dan dijaga. “ Namun Allah-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan memberikan petunjuk keimanan, jika kamu adalah orang-orang yang suka kebenaran,” ( al-Hujurat ayat 17 ).

Menurut Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan Al Hakim dari Abu Darda, “ Iman itu merupakan sesuatu yang bugil ( telanjang), sedang busananya adalah taqwa.” Jadi Iman adalah roh, spirit, atau jati diri seorang muslim. Iman ibarat sebuah program komputer yang masih perlu di print out agar teraktualisasi lewat tindakan atau aksi nyata dan kongkrit. jadi Iman adalah sebuah potensi rohani yang perlu dimanifestasikan lewat prestasi rohani berupa ‘ Taqwa”. Tidak mungkin orang bisa bertaqwa tanpa memiliki Iman dan orang yang telah beriman tidak akan otomatis mencapai derajat taqwa. Untuk mencapai makam Taqwa adalah dengan menjabarkan atau mengaktualisasikan keimanan melalui ibadah dan amal-amal saleh. Dan salah satu jalan untuk mencapai derajat taqwa itu adalah dengan jalan berpuasa.

Jadi antara Iman, Puasa dan Taqwa, terhubung secara siklis dalam hubungan sebab akibat yang saling mengisi. Jika iman kuat, puasanya juga mantap, jika puasa mantap, maka taqwa adalah buahnya yang sempurna. Jika Iman lemah, tentu puasanya goyah, dan jika puasa sudah ngga benar, betapa akan menghasilkan manusia taqwa yang otentik. Andai puasa baik, maka akan menambah iman, dan tentu saja taqwa. Tidak mudah menjadi seorang mutaqqi. Seorang mutaqqi yang istiqomah adalah dia yang selalu merasa diawasi oleh Rabbnya selama 24 jam, kemanapun pergi dan dimanapun berada. Selalu merasa diawasi dan dimonitor Allah. Apakah ia betul-betul taat, patuh dan tunduk secara total pada Sang Khalik. Dengan adanya kesadaran Rabbaniyah, yaitu kesadaran Tuhan yang Maha Hadir (omnipresent), maka insya Allah segala anomali dan penyimpangan sosial bisa dikurangi secara perlahan sampai khallis.

Kesadaran Rabbaniyah, atau kesadaran Ketuhanan jelas tidak sama dengan Kecerdasan Spritual yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshal yang kini populer itu. Menurut Zohar, kecerdasan yang lain, yakni kecerdasan inteletual atau kecerdasan emosional bisa berfungsi jika dikendalikan oleh kecerdasan spritual. Sedangkan yang namanya kecerdasan spritual adalah suatu karakter yang selalu bertanya tentang segala sesuatu, mengapa begini, mengapa begitu, sebuah sifat khas manusia yang berhati nurani. Tapi bagi saya, gagasan kecerdasan spritual Zohar itu masih dalam tataran intektual juga. Lebih mendekati sifat para pilosof yang suka mempertanyakan segala yang ada secara radikal dan tuntas. Hanya saja membatasi dirinya dengan pertanyaan tentang makna-makna kehidupan. Bagi muslim, yang diperlukan adalah suatu Iman atau keyakinan kuat pada Yang Maha Kuasa, Pengasih dan Penyayang, tanpa reserve dan setetes keraguan, yang disertai dengan penyerahan secara total lewat ritual ibadah wajib dan sunnat, dengan pikiran dan perasaan selalu diawasi dan dimonitor Allah. Insya Allah dengan cara ini akan terjadi transformasi kepribadian yang diikuti perbaikan sosial yang significan. Sikap total dalam beragama dan beriman ini malahan juga dipraktekkan filosof eksistensialis barat terkenal seperti Soren Kierkegard, atau Karl Jasper.

Menarik penilaian filsuf Amerika, Sidney Hook tentang pemahaman Iman Kierkegard. Bagi Kierkegard, Ibrahim yang dalam tradisi Islam juga merupakan tokoh besar, adalah seorang yang mengagumkan, sebab ia seorang yang percaya takdir. Ketika Tuhan memerintahkan kepadanya untuk mengikat lalu membunuh putra tunggalnya, ia tidak merisaukannya....Ia tahu bahwa Tuhanlah yang memerintahkannya, dan untuk itu tidak dapat mengemukakan satu sebabpun kecuali Imannya; Iman yang mutlak. Kierkegard dengan sangat mendalam mengatakan bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan Argamemnon yang mengorbankan puterinya supaya mendapat angin untuk menggerakkan kapal ( lihat Percakapan dengan Sidney Hook ) Bisa dikatakan bahwa Ibrahim dalam hal ini memiliki Kesadaran Rabbaniyah, sedangkan Argamemnon, Kecerdasan Spritual belaka.

Kesimpulan adalah jika memang Iman sudah mantap, tak lagi Yaziidu wa yanqushu, naik turun seperti eskalator, maka puasa tentu akan sampai peringkat puasa khawwas atau puasa kaum arifin, dimana orang sudah mau meninggalkan hal-hal berlebihan dalam perkara halal, atau meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah. Maka derajat taqwa yang dicapai juga yang peringkatnya tinggi, yang membuat suatu negri atau bangsa selamat dan diberkati, jauh dari berbagai azab, sengsara atau musibah. Ketaqwaan semacam itu tercantum dalam surat al- Araaf, ayat 96,” Dan sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...”

Apakah yang dituju atau dipantulkan oleh Iman, puasa, dan taqwa yang telah susah payah diraih itu? Tak lain dan tak bukan adalah Akhlak Mulia, sebagai penanda penyerahan diri seorang hamba kepada khaliknya, baik kepada sesama, tulus dan akhlas dalam pengabdian dan tugas, jauh dari sifat riya, suma, ujub, sombong, takabur, kikir, serakah, dan hubbub dunya. Seorang pujangga Islam Syauqi Bek mengatakan, “ Sesungguhnya kejayaan suatu bangsa tergantung akhlak atau moralnya; jika akhlak mereka rusak, maka hancurlah bangsa itu.” Jadi akhlak adalah ukuran kemajuan, kejayaan, dan kewibawaan seseorang, masyarakat dan suatu bangsa. Dan akhlak pula yang akan membuat suatu negri beroleh maghfirah Allah dan menjadi, “ Baldatun thayyibatun wa Robbun Ghafuur.”

Jadi jika negara tercinta ini masih tampak amburadul dan banyak terjadi ‘ hangky-pangky ‘ di dalamnya, tanpa jejak-jejak ketaqwaan yang meluas dan mendalam, dimana terjadi kemerosotan moral secara tajam, maka pastilah rukun-rukun Islam yang telah dilakoni selama ini tidak berlandaskan pada Iman yang kuat dan kokoh. Dan puasa yang jalani hanya peringkat puasanya orang awam yang sekedar menghindari larangan-larangan bersifat jasmani di siang hari waktu berpuasa ; makan, minum dan bersenggama. Akan tetapi ba’da maghrib, secepatnya melakukan pelampiasan, dengan kembali melahap segala yang enak-enak, nikmat, dan gemerlapan, seakan membalas dendam atas deritanya yang pendek dan tak seberapa di siang hari. Pergi teraweh jika ada waktu lowong, itupun di malam-malam permulaan Ramadhan. Jika bersedekah, yang diberikan uang yang gemerincing, atau yang berwarna biru muda, abu-abu, paling banter yang coklat muda, itupun yang sudah kusam dan buram warnanya, jarang yang memberi uang warna biru terang, apalagi yang merah merangsang. Jika mendengar ceramah tentang akhlak dan keutamaan puasa, maka akan menengok kekanan dan kekiri, seolah hanya orang lain yang harus berubah, bukannya introspeksi ke diri sendiri, dan berprinsip ‘Ibdah binafsik’. Wallahu ‘alam bissawab.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar