Sabtu, 20 Juni 2015

PUASA, CINTA DAN KESEHATAN JIWA

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas umat lain sebelum kalian, agar kamu sekalian menjadi bertaqwa ( al- Baqarah : 183)

Insya Allah dengan berpuasa selama sebulan di bulan penuh rahmat dan magfirah ini, dengan menegakkan serta menjaga ketentuan dan syarat-syaratnya, maka tentulah kaum muslimin akan beroleh derajat taqwa, sebuah prestasi rohani yang luar biasa sebagai pembuktian dari Iman yang otentik. Iman yang terhayati secara mendalam akan memanifestasi dalam setiap ucap, kerja dan tindakan muslim, berupa amal-amal saleh. Jadi taqwa sebagai tujuan puasa tidak akan tercapai manakala muslim sepi dalam melaksanakan kebaikan di ranah privat ataupun di wilayah publik selama bulan puasa.

Puasa adalah ibadah khusus dimana terlaksana atau tidaknya, hanya Allah yang tahu, dan tentu saja oleh siberpuasa itu sendiri. Orang yang shalat akan tampak jelas bagi kita jika ia shalat, begitupun dengan orang yang berzakat dan berhaji, semua bisa secara kasat mata dibuktikan terlaksananya. Tapi puasa dengan mudah bisa dikamuflase, dan orang munafik yang berlagak puasa, bisa berpura-pura lapar dan haus dengan tubuh dilemas-lemasin, atau wajah dikusut-kusutin. Padahal mungkin saja telah makan dan minum di sebuah restoran. Ya, restoran pada bulan puasa kali ini bisa bebas buka 24 jam seperti pada bulan-bulan lain.

Urusan restoran buka siang di bulan puasa ini telah rame diperdebatkan. Ada dua pejabat publik yang dalam rangka itu telah mendapat kritik masyarakat secara luas. Karena secara publik dan tegas membolehkan restoran buka siang pada bulan puasa, menteri agama, Lukaman Hakim Saifudin, dan gubernur Provinsi DKI, Basuki Cahaya Purnama atau Ahok. Namun jangan lantas masing-masing pihak merasa benar lalu saling menyudutkan, dan memperpanjang masalah. Memang tidak ada aturan dan ketentuan yang menyuruh tutup restoran, warung makan, atau warteg di bulan puasa, dari dulu sampai kini, tapi perihal anjuran menghormati orang berpuasa dari dulu sudah dilakukan. Bentuk penghormatan itu bisa berupa jam buka restoran yang singkat, hanya waktu petang, atau dengan membuka sejak pagi tapi dengan membuat tirai agar tak terlampau tampak menyolok mata dan perut. Kalaupun ada yang tidak mematuhi kelaziman itu, toch ummat Islam secara umum jarang yang meradang, dan melakukan reaksi berlebihan, kecuali kelompok tertentu yang merasa punya tanggung jawab yang kelewat terhadap ummat Islam. Tapi itu juga sejatinya punya dasar dan referensi.

Pelaku-pelaku makan minum di siang bulan puasa di tempat-tempat makan, banyak juga orang muslim sendiri, selain yang non muslim. Nah, pada kenyataan inilah semua pihak hendaknya bisa melihatnya secara jernih dan luas. Ketika menteri Agama mengatakan bahwa yang berpuasa juga harus menghormati yang tidak berpuasa, yah, wajar saja dan perlu jika itu ditujukan bagi non muslim. Karena jika semua restoran tutup padahal para pekerja non muslim harus makan siang misalnya, tentu memprihatinkan sekali situasinya, lalu mereka akan makan di mana. Jadi dalam hal ini kita memang harus menghormati hak asasi mereka untuk hidup dengan makan dan minum tentunya. Ketentuan dan syarat-syarat puasa tidak berlaku bagi mereka. lain halnya dengan bagi si muslim yang munafik itu, tentu tidak pantas untuk menghormatinya, karena perbuatan mereka ngga ada baik dan indah-indahnya. Apalagi pada golongan ini, malamnya banyak yang ikutan taraweh juga, jadi bagaimana bisa kita menghormati mereka, jika agama, tradisi masyarakatnya sendiri tak dihargai dan dipermainkan. Dan betapa orang akan menghormati agama dan tradisi kita, jika kita sendiri sebagai muslim melecehkannya.
Mending mereka makan di rumah sendiri, atau ngumpet, dari pada mempertontonkan sifat rakus, dan abai itu di depan umum. Saya sendiri sering melihat teman atau sesama muslim makan di restoran dengan wajah tampak riang tanpa penyesalan. Andai mereka itu anak-anak yang belum akil balig, tak mengapa. Tapi orang-orang Islam dewasa yang tak berpuasa lalu secara terang-terangan makan di restoran tanpa malu, patut dipertanyakan kesehatan rohaninya. Seharusnya mereka sadari itu, karena pasti telah tahu apa syarat-syarat puasa yang terdiri dari : Islam, akil balig, sehat jiwanya, alias tidak gila, dan mampu.

Ahok, sebagai gubernur yang sejogyanya perduli pada kesehatan mental warganya secara budaya, sosial-psikologis maupun agama, kenapa juga harus mempermasalahkan orang-orang yang mau beramal dan membantu sesama dengan membagi-bagikan makanan dan minuman pada Sahur on The Road. Jangan sampai keinginan orang untuk beribadah, berbagi kebahagiaan, dan beramal saleh terhalangi oleh satu sebab yang sejatinya bisa diselesaikan dengan bijak dan mudah. Katanya banyak dari mereka yang menyisakan sampah setelah SOTR. Kalau toch itu betul, maka ngga usahlah komentar yang pedas dengan mengatakan “ Buat apa puasa kalau buang sampah sembarangan!” karena puasa adalah satu hal, dan urusan sampah hal lain lagi, urusan dan dampaknya berbeda.

Jika keinginan untuk mengawasi SOTR karena alasan nyampah itu, maka saya anggap itu berlebihan Apa salahnya, menyuruh anak buah di dinas kebersihan untuk mengurusi sampah yang saya yakin tak seberapa itu dari acara SOTR. Atau menghimbau agar para pelaksana SOTR bertanggung jawab untuk membuang sampah pada tempatnya setelah acara. Berapa banyak sih orang yang melaksanakan SOTR, seandainya pun itu banyak, maka mestinya siapapun mensyukuri perubahan mental warga itu yang menjadi lebih Islami dan Pancasilais.

Terkait dengan sikap Ahok yang tidak mau mentoleransi para pengemis dengan anjuran untuk tak memberi mereka sedekah, tentu karena banyak dari mereka yang profesional, ini juga bukan satu sifat yang bisa diterapkan secara universal dan diterima umum. Banyak muslim atau non muslim yang berprinsip “ lebih baik salah tapi memberi, daripada benar tapi tak memberi”. Di sini rasionalisme kalah oleh dorongan altruism dan cinta pada sesama yang menderita. Jangan dipikir mereka yang mengemis secara profesional tidak menderita, bahagia dengan banyaknya uang dan harta yang didapat dari mengemis. Rasanya tak ada manusia yang mau jatuh ke tingkat hewan sedemikian rupa sehingga kerjanya hanya meminta atau hidup bermalas-malas tapi doyan uang. Jika ada yang berlama-lama ria dalam mengemis, mungkin saja ia sedang mengumpulkan kemampuan untuk mendidik anak-anaknya, dus keturunannya bisa menjadi orang, agar sang pengemis juga dianggap orang oleh orang lain yang mengaku telah menjadi orang, padahal suka merendahkan orang.

Ketika melihat kemiskinan dan kemelaratan warga kota Dublin, Irlandia, Jonathan Swift, seorang satiris, penyair yang hidup di kurun waktu 1667 sampai 1745, membuat satu tulisan yang berjudul A Modest Proposal, yang ditulisnya pada tahun 1729. Esainya itu diawali dengan sebuah narasi yang sekaligus menunjukkan tujuan proposalnya.
For preventing the Children of Poor People of Ireland
from Being a Burden to Their Parents or Country,
and for Making Them Beneficial to the Public

selanjutnya Jonathan menulis : “ It is melancholy objet to those who walk trough this great town, or travel in the country, when they see the streets, the roads, and cabin doors crowded with beggars of the female sex, followed by three, four, or six children, all in rags and importuning every passenger for an alms. These mother, instead of being able to work for theis honest livelihood, are forced to employ all their time in strolling to beg sustenance for their helpless infants; who as they grow up either turn thieves, for want of work, or leave their dear native country to fight for the pretender in Spain. Or sell themselves to the Barbados.”

Situasi dan keadaan sosial kota Dublin yang digambarkan Jonathan di atas adalah sesuatu yang tak terhindarkan bagi semua negara di dunia, dulu dan saat ini. Terutama di negara-negara yang melaksanakan pembangunan industri seperti Indonesia. Sikap kita menghadapi kemiskinan dan penderitaan sesama yang telah menjadi tumbal bagi pertumbuhan ekonomi yang mensyaratkan industrialisasi dan urbanisasi, mestilah berdasar pada sikap tindak yang bijak, mendasar dan terukur. Dewasa ini ada tuntutan untuk lebih memandang setiap masalah sosial secara lebih manusiawi, lebih-lebih pada bulan suci ini. Orang dituntut untuk bisa menjaga dan merawat Hati, mata, mulut, telingan, kaki dan tangan.

Sedang kepada binatang yang terlantar banyak yang mau perduli, seperti ‘Komunitas Pencinta Kucing’ yang kasihan melihat kucing-kucing berkeliaran tanpa arah yang jelas di sekitar kita, padahal kucing kan suka ‘tabarras fi ayyi makani’. Saya sungguh kagum dengan sikap penyair Jose Rizal Manua yang demen ngumpulan kucing-kucing liar di sekitar Taman Ismail Marzuki dan memberi mereka makan dengan tangannya sendiri yang mencampur makanan di atas piring atau wadah yang bersih lalu menyerahkan langsung ke pada sang kucing-kucing liar, bukan dengan melemparkan atau menaruhnya di sembarang tempat dan wadah. Beliau yang juga pengasuh teater anak-anak yang sering mentas ke mancanegara, dus adalah seorang yang penuh cinta di hatinya ; pada manusia, binatang, atau pada yang sering kita pandang half human atau sub human.

Saya pikir, hanyalah jalan cinta dan kasih sayang sebagai yang terbaik untuk mengatasi semua masalah-masalah mendasar manusia di manapun itu. Dan semua agama di dunia adalah identik dengan jalan cinta. Islam sendiri berprinsip atas kedatangan dan eksistensi Nabinya, “ Dan tiada Kami utus kamu melainan menjadi rahmat bagi semest alam.” ( Al Anbiya : 107). Problematika nyata, pemecahan dan komunikasinya mestinya dalam spirit cinta untuk dipecahkan, bukan dengan pendekatan kekuasaan, atau bersifat top down, juga jangan sepenuhnya, bottom up. Dua pendekatan ini berpotensi menimbulkan birokratisme yang mengekang dan arogan serta formalisme agama di masyarakat yang bisa memandulkan demokrasi jika ia eksesif.

Hanya saja dalam prakteknya di dunia ini, jalan cinta sering menghadapi jalan terjal, atau jalan bersimpang, dimana cinta itu sendiri bersimpangan karena takaran dan cita-citanya yang berbeda. Dalam masalah ini, sejarawan dunia, yang adalah salah seorang tokoh post modernism Arnold Toynbee pernah membahasnya, dan menulis “ Dalam sejarah filsafat China, terdapat suatu kontroversi tentang takaran mana yang tepat untuk pembagian cinta oleh manusia kepada manusia. Ahli filsafat Mencius, mengutip sang guru Kong Hu Cu, menyatakan bahwa cinta harus dialokasikan secara tidak sama. Cinta bagi anggota keluarga sendiri harus lebih diutamakan daripada cinta kepada orang asing dan orang bangsa lain. Mencius menentang Mo Tzu yang berpendapat bahwa cinta seseorang harus diberikan dalam takaran yang sama bagi semua umat manusia. Inilah satu dari sejumlah masalah etis dan sosial mendasar yang abadi dari kehidupan manusia,”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar