Senin, 31 Maret 2014

TU FU DAN LI PO



Tu Fu atau Du Fu adalah magnum opus bangsa China yang vibrasi dan jamahan kebijaksanaannya yang liris menggigit pada hamparan luas ruang dan waktu. Dianggap terbesar dengan kepakaran dan penguasaan bahasa yang nyaris sempurna dari ribuan penyair China yang pernah hidup. Ia adalah penyair China yang hidup dan berkarya antara tahun 713 sampai tahun 770 dengan karya lebih dari 1400 puisi. Boleh dibilang ia seorang “ The Last Man Standing” yang berdiri di atas kaki puisi bagi keadilan dan kebebasan rakyat China secara keseluruhan dari jarahan dan kesewenangan penguasa jamannya ( dinasti Tang ) yang tadinya ia bela. Patriotisme Tu Fu tidak pernah diwujudkan dalam seorang individu atau dinasti kaisar, melainkan ke China sebagai bangsa. Dia dihormati orang, mengasihi orang-orang, semua untuk kepentingan rakyat.

Kebaikan yang bangkit dari jiwa Tu Fu bersifat konstitusional tanpa sayap dan kaki yang ditulari kearifan Konfusianisme. Kita tahu dalam konfusianisme manusia di jajar dalam kesamaan kodrati berdasar pada argument bahwa setiap insan memiliki apa yang disebut “ Akal Budi Evaluatif”. Menurut golden rule ini, tidak ada orang yang dilahirkan untuk dihargai lebih tinggi sehingga bisa memperoleh tempat yang lebih terhormat dalam hirarki sosial. Satu-satunya criteria untuk menerima privelese politis dan ekonomis adalah kebaikan. Terkait visi kebaikan dan kepedulian Tu Fu, ia berkata dalam sajak “ Mengenang Saudara- Saudaraku di Bawah Sinar Bulan.” Genderang perang memisahkan para lelaki / Pedih Rasanya waktu musim semi mendengar angsa liar menjerit di medan perang / Malam ini kulihat betapa bulan bersinar cemerlang di desaku / Saudara-saudaraku terserak di empat penjuru bumi / tak kutahu mereka hidup atau mati / Surat-surat entah kemana ; siapa pula akan menerimanya / selama perang masih merajalela.

Lihatlah betapa Tu Fu merana dengan kenyataan perang yang ditunjukkan dengan lanskap alam yang mengaksentuasi pedih yang jauh mengalir menyentuh gua semesta keheningan yang dicipta oleh keterpisahan yang akut. Namun ia bisa mengeliminir kecengengan yang sentimental dengan menjaga ketat penalaran yang manis. Walau ada kerinduan yang tertahan di sana pada suasana damai di bawah bulan. Disamping seorang moralis, Tu Fu juga seorang yang dikenal memiliki tradisi intelektual dari keluarganya, sehingga dalam setiap keadaan ia selalu sanggup bersikap tenang walau hatinya sering teriri-iris dan hancur oleh peperangan yang kerap di masa hidup dan pengabdiannya pada kerajaan.

Tu Fu juga seorang pluralis yang bisa secara inklusif menerima keyakinan hidup dan palsafah yang berbeda dengan yang dianutnya. Makanya ia bisa bersahabat dengan seorang penyair besar China lainnya, Li Po. Maestro puisi yang satu ini adalah seorang romantikus penganut Taois yang mencari perlindungan dari dunia ini pada anggur, wanita dan alam. Saking cintanya pada alam, Li Po Kerap menghanyutkan puisinya di sungai dan bahagia melihat puisinya yang ditulis di atas kertas itu terbawa arus sampai jauh. Konon matinya pun dilceritakan penuh romatika. Kata sebuah versi yang dikutip oleh Sapardi Djoko Damono, Li Po meninggal di sebuah telaga karena tercebur ke dalam air waktu sedang mabok, sebab ia hendak merangkul bulan yang berenang di telaga tersebut.

Li Po telah menulis puisi untuk Tu Fu berjudul “ Kepada Tu Fu “ yang pendek tapi sarat makna, “ Di Gunung kujumpai Tu Fu / Mengenakan topi bambu di tengah hari terik / Hei, kenapa kau sekurus itu? / Apa kau menderita karena puisi?. Sepertinya Li Po menggambarkan posisi Tu Fu yang tinggi di bidang sastra dan pemerintahan dengan kata ‘ Gunung’. Sekaligus menyindir posisi Tu Fu yang ringkih dan butuh perlindungan dalam situasi dan Susana kerajaan yang panas dan penuh intrik dan pembrontakan. Tapi apa yang diekspresikan Li Po itu boleh jadi adalah keprihatinan Li Po pada Tu Fu yang telah mengungsi dan menjauh dari kerajaan yang selalu berperang menuju kesepian desa di dalam rumah beratap rumbia.

Mengherankan juga, Li Po yang seorang pengembara cuek dan sepertinya hanya kenal puisi, bulan, alam dan anggur, bisa begitu peduli dan perhatian pada seorang sahabatnya untuk diabadikan ke dalam sebuah puisi yang indah. Tapi betapapun Li Po seorang penganut Tao yang berfondasikan prinsip “ Wu Wei” yang secara harafiah berarti ‘ jangan mencampuri’ Hal ini adalah keutamaan Taoisme. Wu Wei berarti kodrat yang spontan, seperti suara aliran sungai. Kepada Tu Fu barangkali ia hendak bicara “ jangan berbuat yang berlawanan dengan kodrat, lihatlah aku yang tidak berbuat apa-apa, dan tak menghasilkan apa-apa, hanya merenungi alam saja.”

Maka dengarlah apa balasan Tu Fu pada Li Po di bawah ini :
KEPADA LI PO
Ketika angin dingin mengunjungimu dari sudut-sudut bumi –
Apa kabar, sahabatku, apa yang kau impikan?
Kapan angsa liar terbang membawa suratmu ke mari?
Sungai dan telaga musim panas menjadi dalam dan membuatku terkenang padamu.
Dewa puisi membenci mereka yang beruntung hidupnya,
Setan tertawa keras kalau ada lelaki yang berdiri di sampingnya.
Dunia ini padang pasir! Kalau saja kita bisa melemparkan puisi ke sungai Milo.
Dan berbicara pada sang jiwa agung, korban bagi kesetiaan dan puisi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar