Kamis, 03 Oktober 2013

ILUSI DUNIA PENDIDIKAN



Untuk menerapkan sistim pendidikan yang baik dan mencerahkan bagi siswa, guru,,
orang tua dan masyarakat, tak perlu jauh-jauh berguru pada Paolo Friere dengan sistim pendidikan pembebasannya atau Rabindranat Tagore dengan Santiniketannya, apalagi dengan meliberalkan system pendidikan, cukup dengan menghilang perangkap “ilusi-nya” bahwa pemerintah, orang tua dan guru yang lebih tahu apa yang terbaik bagi siswa. Nilai-nilai apa yang pantas dan benar ditanamkan di benak para siswa yang kita pandang hanya kelinci-kelinci percobaan, atau tanah liat yang bisa kita bentuk seenanknya dan semaunya dengan tanpa melihat pada kekhususan-kekhususan dan anaeka potensi, kreativitas, serta kemampuan yang berbeda dari tisp-tiap siswa.

Dewasa ini banyak orang yang mennghabiskan waktunya secara spartan di lembaga-lembaga pendidikan lalu merasa tidak mendapat apa-apa dan menjadi apa-apa, Kendati telah meraih serenceng gelar yang berderet di belakang namanya. Faktanya memang banyak orang-orang pintar jebolan sekolahan yang merasa frustasi, tersesat dan akhirnya jadi koruptor. Belum lagi bicara yang putus sekolah atau DO dari kampus lalu kemudian mengisi daftar panjang para penganggur dan pemakai obat-obatan, serta peserta tawuran antar kampus atau sekolah.

Walau banyak juga para alumni yang sukses dan telah berada di jalan yang benar, tapi secara umum, pendidikan sekarang perlu dijiwai dengan semangat baru, mungkin itulah sebabnya pemerintah berkeras mengimplementasikan kurikulum baru 2013, dengan visi dan misi yang lebih menekankan pada pendidikan karakter siswa, meski masih kontroversi.

Kebanyakan para siswa telah melewatkan waktunya di sekolah bertahun-tahun untuk tidak mendapat arti dan nilai hidup manusia dengan pertolongan orang lain yang telah mengungkapkan pengalaman mereka lewat pelajaran-pelajaran dan tulisan-tulisan mereka, tetapi kebanyakan mereka hanya sibuk berusaha mengumpulkan kredit, naik kelas, lalu mendapat ijazah dan dengan demikian mengorbankan perkembangan diri pribadi mereka sendiri.

Dalam suasana seperti itu, tidak mengherankan bahwa orang menjadi semakin enggan untuk belajar karena perkembangan mental dan emosional yang sesungguhnya telah dihalang-halangi oleh situasi pendidikan, di mana murid menganggap guru lebih sebagai tuan yang selalu menuntut, bukan sebagai pembimbing yang menemani mereka dalam mencari pengetahun dan pengertian.

Salah satu dari persoalan-persoalan yang paling besar dalam pendidikan ialah diberikannya pemecahan masalah, sedangkan masalah itu sendiri sebetulnya tidak ada. Agaknya sumber pendidikan dan pemberian informasi yang paling sedikit digunakan ialah pengalaman murid sendiri. Kadang-kadang guru berbicara mengenai kasih dan benci, takut dan kegembiraan, harapan dan keputusasaan sementara murid mencatat atau melihat keluar jendela karena bosan. Juga tak faham, karean sejatinya apa yang didengarkan bukan pengalaman merek sendiri tentang hal-hal tersebut di atas. Dengan sendirinya persoalan-persoalan yang muncul di sana takkan pernah dapat tertangani apalagi tersolusikan kelak

Mereka biasanya terima saja karena tak ingin tampak ringkih dan bodoh. Tak ada yang berani mengingatkan pada teman-teman dan guru bahwa masih ada beberapa soal yang sangat penting dalam kehidupan yang belum disentuh. Mereka merasa lebih aman dengan diam saja tanpa protes pada yang membuat mereka mengantuk, demi menghindar dari cap murid yang tak patuh dan santun.

Maka mengajar, pertama-tama menuntut diciptakannya suatu ruang di mana murid atau guru dapat masuk dalam suatu relasi yang tidak diwarnai rasa takut dan menjadikan pengalaman hidup mereka masing sebagai sumber utama dan paling bernilai bagi perkembangan dan pendewasaan pribadi. Untuk itu dituntut rasa “ saling percaya “ Di sana mereka yang mengajar dan mereka yang ingin belajar dapat saling hadir satu bagi yang lain, tidak sebagai pihak-pihak yang saling berlawanan, tetapi sebagai pribadi-pribadi yang berjuang bersama dan mencari kebenaran yang sama pula.

Jadi pendidikan mengimplemantasikan bukan sekedar pengajaran atau penyampaian pengetahuan ( ta’lim), tetapi pelatih, pembangkit seluruh potensi diri siswa ( tarbiyah). Jadi guru bukan sekedar seorang mu’alim atau penyampai pengetahuan, tetapi juga sekaligus murabbi, pelatih jiwa dan kepribadian sekaligus pendamping atau teman seperjalanan siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar