Seni Budaya Mandar di Rantau
SENI BUDYA MANDAR DI RANTAU
Tokoh dan Budaya
BAHARUDDIN LOPA DAN KEARIFAN LOKAL MANDAR
Rasanya mungkin hanya segelintir orang saja di republik ini yang tak mengenal sosok Baharuddin Lopa. Kiprah dan sepak terjangnya di dunia hukum begitu fenomenal dan dikenal luas. Lopa membuat banyak pelanggar hukum dan kriminal negara ketakutan pada tindakan dan keberaniannya. Mulai dari penguasa lokal Andi Selle, pengusaha lokal Tony Gozal, sampai pengusaha Nasional Bob Hasan, semua telah merasakan dan mengalami betapa kerasnya palu godam hukum dan keadilan ditangan seorang Baharuddin Lopa.
Walau karier puncaknya sebagai penegak hukun – Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung di era Gus Dur – hanya bertahan sekitar 5 ( bulan ) karena keburu dipanggil sang Khaliq, namun keteladanan, kredibilitas, integritas dan pemikirannya di lapangan hukum dan keadilan akan dikenang melampaui batas-batas waktu.
Membaca Lopa, tak bisa terlepas dari pembacaan pada tradisi dan kearifan lokal Mandar. Suku Mandar kaya dengan warisan tradisi, nilai-nilai dan kearifan yang terdokumentasi di dalam lontara, cerita-cerita rakyat, sastra lisan ( Kalinda’da ), sejarah pemerintahan dan orang – orang besar Mandar ( Mara’dia dan Bangsawan Adat ).
Lopa dan budaya Mandar saling bersimbiosis ; Lopa terinspirasi oleh tradisi dan kearifan lokal Mandar, yang terakhir terevitalisasi dan teraktualisasi oleh Lopa.
Sosok yang mula-mula meletakkan dasar-dasar sistim budaya politik dan hukum yang berorientasi pada kepentingan rakyat kecil di Mandar adalah I Manyambungi alias Todilaling, Raja Balanipa pertama. Mulai memerintah sekitar thn 1440 ( Darwis Hamzah, 1986 ).
Todilaling dimata rakyat Balanipa ( Mandar ), adalah penyelamat dari kezaliman dan angkara murka. Todilaling menyingkirkan dan menghukum semua pmimpin yang kejam dan sewenang-wenang, seperti To Makaka Lerang, To Makaka Titie, To Makaka Loppong dan lain-lain.
Antara lain sikap dan kearifan Todilaling yang diwarisi oleh banyak pemimpin-pemimpin Mandar yang datang kemudian, adalah prinsip dan sabdanya ” Patondosaliwangi baromu, patondotamai barona tau mae’di ”, ( Tempatkan kebutuhanmu pada garis luar, utamakan kebutuhan orang banyak ).
Prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan yang ditanamkan oleh To Dilaling, boleh jadi telah mengilhami Lopa dalam kiprahnya di Pemerintahan dan Masyarakat. Sikap tanpa kompromi dan keberanian Lopa, adalah tipikal Raja-raja Mandar dahulu dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Salah satu dari sekian banyak yag telah menginspirasi Lopa, adalah ungkapan ” Ada tammakeana, tamakkeappo” ( Hukum itu tidak beranak dan tidak bercucu ). Beliau menjelaskan bahwa hukum harus diberlakukan sama pada setiap orang. Tidak boleh lantaran orang berpangkat tinggi maka dibebaskan dari tuntutan hukum walaupun ia bersalah. Sebaliknya, jangan karena ia seorang penduduk biasa, maka diperberat hukumannya.
Dalam hukum tatanegara ( Politik dan Pemerintahan ), beliau selalu berpedoman pada adat Lontara di Langgana halaman 18 yang berbunyi ” Kalau terjadi perselisihan dalam soal-soal pemerintahan antara Raja dengan para anggota Dewan Adat, maka penyelesaiannya ditentukan oleh rakyat yang berarti keduanya tunduk pada kehendak Rakyat ” ( Baharuddin Lopa, Pidato Kebudayaan di TIM 1999 ).
Nyatalah pada kita, bahwa beliau dalam setiap kesempatan dan pidatonya selalu mengangkat pesan-pesan dan kearifan dari kebudayaan leluhurnya.
Kalinda’da adalah salah satu bentuk sastra lisan Mandar yang sering dikutip oleh Lopa dalam tulisan-tulisan dan orasinya. Beliau paling suka memilih Kalinda’da yang berisi pesan-pesan agar mau bekerja keras, hemat dan menjaga harga diri ( Siri’ ). Kalinda’da yang berisi anjuran untuk bekerja keras berbunyi” Dipameappai dalle, Diletteangi pai, Andiang dalle, Napole mettiroma ” ( Rezeki itu harus dicari, titiannya harus dibuat, karena rezeki tidak akan pernah datang menyongsong kita ).
Untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia yang kini terpuruk disegala bidang, kita memang harus mencari berbagai altenatif perbaikan, lalu meramunya dengan model-model yang telah ada, baik yang datang dari luar maupun dari masyarakat sendiri.
Adalah seorang ahli teori pembangunan Brazil, Alberto Guerreiroo Ramos yang telah memajukan teori P ( Probability ) sebagai alternative atas teori N ( Normative ) yang berciri konvensional. Asumsi teori N adalah, negara-negara yang sedang berkembang sekarang pastilah secara berangsur – angsur menuju kearah tingkat perkembangan yang telah dicapai oleh negara-negara maju. Teori ini berkonotasi totalitas dan positivistik. Sebaliknya, teori P tak mau terikat pada model-model empiris yang ada. Harus ada alternative2 dan kemungkinan2 baru dalam rangka pembangunan masyarakat. Pendekatan teori P memungkinkan kita untuk mencari kearifan-kearifan dari budaya sendiri guna mendorong perbaikan masyarakat. Dan itu telah dilakukan oleh negara-negara Naga di Asia Timur dengan menoleh pada kearifan2 yang terkandung dalam budaya, agama dan pilsafat mereka, seperti dalam ajaran-ajaran ; Konfucionisme, Taoisme, Budhisme ( Zen Budhism ) dan Shintoisme ( Mokhtar Naim, 1995 )
Dalam kaitan itulah, eksplorasi Lopa pada kebudayaanny, pantas kita hormati dan teladani. Beliau dengan tak bosan-bosannya berusaha mengangkat dan mengaktualisasikan nilai-nalai dan kearifan2 yang terkandung dalam budaya leluhurnya untuk dipersembahkan bagi perbaikan masyarakat. Beliau sangat meyakini, bahwa hukum yang diturunkan dari nilai-nilai dan kearifan yang hidup dan diyakini rakyat, berptensi untuk dihargai dan ditaati sehingga dapat berperan sebagai ” A Tool of Sosial Control and A Tool Of Social Engineering”.
Jakarta, 22 Juni 2007
Syafiyullah Pilman
Suatu fakta yang menggembirakan adalah, bahwa orang-orang Mandar di perantauan khususnya di Jakarta masih setia menggauli dan cinta pada budaya leluhurnya. Ini terlihat jelas pada waktu-waktu perayaan hari-hari besar nasionl dan keagamaan, dimana biasanya akan ada saja penampilan group kesenian maupun perseorangan yang mengusung Ayangang ( lagu-lagu ) mandar, Kalinda’da, Sayang-sayang dll.
Bagi orang Mandar, baik yang lahir, besar dan baru di Jakarta, hambar rasanya bila dalam acara2 perayaan bersama dan perhelatan2 tak ada orang yang ma’ Ayangang, makkalinda’da dan massayang-sayang. Bahkan bisa dibilang pada moment-moment tersebut semua orang Mandar tiba-tiba jadi Seniman dan larut dalam histeria kemandaran. Disini, segala batas-batas yang dikonstruksi manusia jadi cair dan kehilangat relevansi. Tak ada lagi Mandar Mamuju, Mandar Majene Mandar Balanipa dan Mandar Mamasa. Hilang sekat-sekat kelas dan sosial, menyatu dalam ikatan kultural yang sama.
Namun apakah integrasi kultural emosional tersebut telah juga dikuti integrasi sosial yang otentik? Rasanya jauh panggang dari api. Bahkan yang namanya solidaritas kemandaran saja sudah semakin menipis. Kalau ia mewujud, paling hanya sebagai kosmetik dan basa-basi belaka.
Bukan salah bunda mengandung jika hal tersebut kini terjadi. Semua akibat tuntutan dan skala kehidupan yang kian meluas sekaligus mendera dan menghimpit. Di thn 70 an, orang-orang Mandar masih saling mencari antar sesama saudara, teman sekampung. Saat itu kalau tak bersama luluare-luluare, hidup rasanya hampa dan terasing di tengah riuh dan hingar bingarnya Kota Jakarta ; Yang tinggal di Grogol akan selalu datang ke saudara atau temannya di Tanjung Priok ; Yang di Senen ke Cililitan dst. Kini orang-orang Mandar sepertinya saling menghindar dan menjauh bukan saja secara pisik, tapi juga dalam hati. Nantilah pada moment-moment tertentu, barulah ada saling kontak dan berkomunikasi, itupun dalam rangka pragmatisme belaka.
Kalau ada kebersamaan, maka itu berdasar pada hubungan clan dan kelas sosial,. misalnya pada kelompok2 arisan. Disinipun sering kali hanya jadi ajang unjuk status dengan pameran Handphone, busana atau mobil baru. Yang tak mau dan sanggup unjuk gigi perlahan- lahan undur diri. Budaya konsumerisme jelas mengemuka di sini. Jarang sekali muncul percakapan intelektual yang serius ; dalam arti percakapan berkisar pada masalah dan pemecahan masalah sosial. Paling banter yang muncul gossip-gossip politik atau tentang kande-kande dan ande-ande Mandar
Jadi terjadi kesenjangan antara nilai-nilai budaya yang tersirat dan tersurat dalam senibudaya dengan kehidupan sosial orang Mandar, prilaku ideal dengan prilaku real. Sejauh ini kesenian belum memberi effek pencerahan ke hati orang Manda. Padahal sebagian besar seni budaya Mandar dicipta dan tercipta untuk memberi nasehat dan panduan kehiduapan. Sebagai contoh; lagu Passurungi Salili, jelas mengandung nilai persatuan dan solidaritas. Banyak lagu Sayang-sayang yang bersyair Kalinda’da mengandung nilai-niali agama dan sosial.
Menurut D. H. Lawrence, ” The essential function of art is moral, not aesthetic, not decorative, not pastime and recreation, but moral ”. Yang dimaksud di sini adalah moral dalam arti passion yang mentrasformasikan jiwa dan pikiran. Jadi melihat realitas yang terjadi pada orang Mandar di Jakarta, dapat disimpulkan, kesenian belum berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengarah kepada kesalehan sosial..
Nah, pada keadaan inilah KKMSB ( Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat ) seharusnya berperan sebagai fasilitator untuk merumuskan kembali politik dan strategi budaya khususnya kesenian agar dapat berfungsi sebagai media pencerahan, perubahan dan pendewasaan. Untuk sebuah kesenian yang mencerahkan, tak perlu mewah dan mahal, Asal saja ia mengekspresikan dan merepleksikan nilai masyakatnya walau sederhana dan seadanya, akan lebih baik bagi Mandar kedepan.
Menipisnya nilai-nilai kemandaran dikalangan orang mandar, terutama pada kalangan TO Mawuweng hendaknya jangan dipelihara dan diwariskan ke generasi muda. Caranya, adalah dengan memberi kesempatan pada mereka untuk lebih berperan aktif dalam setiap aktivitas seni budaya. Dengan begitu akan terjadi proses sosialisasi nilai-nilai secara langsung.dan enjoy tanpa merasa terbebani ketimbang lewat ceramah-ceramah, buku-buku atau sbagai pelaku pasif kebudayaan. Tentu saja untuk itu, perlu dikaji dan disajikan seni budaya yang secara implisit maupun eksplisit mengekspresikan nilai-nilai budaya Mandar yang positiv. Sebab sering terjadi apa yang diberikan pada generasi muda hanya bentuk-bentuk seni hiburan belaka, yang tidak mengarah pada pencerahan jiwa dan penghayatan nilai-nilai. Dengan kata lain itu kalau ada, hanya aspek Estetikanya saja yang ditonjolkan.Belum sampai pada seni yang dapat menimbulkan kesadaran moral dan penghayatan ke-Tuhanan. Preskripsi ini wajar, karna menurut Kiskegard, seorang filsuf eksistensialis theistis, bahwa tahap perkembangan jiwa manusia mulai dari tahap Estetis ke Etis hingga ketahapan penghayatan ke-Tuhanan.
Penting juga dicermati, bahwa permasalahan budaya bagi generasi muda adalah, mereka terancam dan rentan terasimilasi kedalam budaya kosmopolit ibukota dimana mereka akan masuk ke dalam rimba nilai-nilai yang tak berujung pangkal dan pasti, yang pada gilirannya mencerabut mereka dari nilai –nilai budaya nenek moyang. Dan jika ini terjadi, akan sangat berat mengembalikan mereka kepusaran nilai kemandaran. Bahkan mereka akan memandang rendah segala yang berbau Mandar. Maka kita perlu memasuki wilayah permasahan ini secara arif.
Menyuguhkan pada mereka bentuk-bentuk seni tradisi asli tanpa memahami ideom-ideom folklorik perkotaan mereka, riskan dan problematik, sebab justru akan membuat mereka kaget dan bingung dan malah akan membuat mereka tambah terasing dari budaya nenek moyangnya. Alih-alih mau menyanyikan lagu-lagu mandar atau Mattu’du, mereka akan semakin tenggelam dalam kehidupan enjoy dan santai yang distimulir oleh kepiawaian mereka nge-Rap, nge-Renbi, nge-Disco dan seterusnya. Mereka adalah generasi digital yang telah dimanjakan oleh kemudahan-kemudahan serta kesenangan2 instan lewat media-media Komimfo seperti ; Telivisi, Internet, Facebook,twitter dan Hang Up secara langsung di Cafe-cafe. Tidak mudah untuk mengembalikan mereka pada kebiasaan2 dan harapan2 orang tua-tua. Satu-satunnya jalan yang mungkin bisa ditempuh adalah dengan beradaptasi pada cara hidup mereka dan buakan sebaliknya. Mengajak mereka untuk menyanyi dan menarikan mandar harus sabar dan pelan-pelan. perlu juga mengemas tampilan seni yang lebih kena kehati mereka, misalnya dengan mengaransir lagu-lagu Mandar yang lebih ngetrend dan futuristik untuk dinyanyikan mereka.Ini adalah bagian dari strategi budaya dan Entry point bagi kepulangan The Lost Generation. Tabe
Jakarta, Senin, 25 Oktober 2010
17 Dzulqaidah 1431 H
Penulis : Syafiyullah Pilman
MUDIK ATAU RETREAT ( SEBUAH PERSPEKTIF )
MUDIK
Mudik bagi ummat Islam, berarti orang kota pulang berlebaran ke desa menemui orang tua dan kerabat. Atau pulang ketempat yang asal ( primordial ) dan kembali ’Fitri’. Mudik adalah prosesi menjalani tradisi untuk melengkapkan rangkaian ritual peribadatan Puasa di bulan Ramadhan.
Namun dalam pengertian umum, mudik sejatinya adalah nyanyian kemanusiaan sepanjang jaman dan bersifat universal. Dimanapun atau kapanpun Kota kehilangan watak dasarnya sebagai tempat persemaian peradaban dengan sifat2 ramah, manusiawi dan perduli, maka secara serentak orang akan ramai-ramai meninggalkan kota, baik secara fisik maupun batin.
Tapi kota, terutama yang metropolis, senatiasa akan mempunyai watak-watak yang asing bagi jiwa manusia. Ironisnya sifat asing itu kebanyakan lahir dari kerja dan otak manusia sendiri, berupa mesin-mesin organisasi2 rigid, kaku dan overdirected. Ciptaan manusia inilah yang justru mengasingkan manusia dari kesejatiannya, bahkan manusia telah diperalat oleh ciptaanya sendiri.
Mesin-mesin telah melimpahi manusia lautan materi, kenikmatan dan kenyamanan, namun pada akhitnya megap-megap kepayahan didalamnya. Keberadaan mesin2 dan pabrik adalah symbol kekalahan manusia dari anak kandung peradabannya. Mesin telah menjadi kekuatan dominan saat ini. Dominasi mesin (technologi) ini, telah digambarkan secara ekstrim oleh Lewis Munford ”With no goals but it’s on ceaseless expansions and implation has broken down the continueties of history”.
Dalam dunia mesin dan organisasi itulah manusia merasa asing dan termekanisasi lalu kehilangan kebebasan dan kreativitasnya. Disaat manusia kehilangan diri dan terancam di kota, maka fenomena mudik (Retreat) pun merebak dimana-mana. Hanya saja sikap manusia dalam memaknai fenomena mudik berbeda-beda. Ada yang beranggapan mudik atau retreat adalah cara abadi untuk melepaskan diri dari jerat modernisme akut. Tak mungkin lagl ada rekonsiliasi antara kehidupan natural di desa atau alam dengan kehidupan yang kompleks di kota.
Pandangan serba negatif terhadap kota ini akan melahirkan sikap2 Escapisme. Ekspresi penentangan terhadap landscape urban industrial begitu refulsif. Bagi meraka kota adalah keburukan, kebisingan, udara yang terkontaminasi, disorganisasi sosial,inkoherensi dan ketidakberdayaan individu.
Sikap escapisme, biasanya akan berimplikasi sosial dan politik seperti munculnya paham2 ekstrim bernuansa lingkungan dan keagamaan spt paham agama semu dan aliran sesat.
Namun kebanyakn pelaku mudik dalam arti luas (retreat) akan mengalami tiga tingkat kesadaran yang selalu berulang-ulang, retreat, tinggal di desa (alam) lalu balik ke kota. Hanya sedikit orang yang benar-benar memutus hubungannya secara total dengan kota.
Pertama, mudik atau retreat dimulai dengan keinginan menjauh dari masyarakat yang begitu kompleks dan terorganisasi secara ketat, dimana ia merasa terasing. Hidup seperti didominasi dan ditekan oleh sistim nilai-nilai yang mekanistik,rutinitas yang menjemukan dan ketidak jelasan makna dan tujuan hidup. Ketidak mampuan menghubungkan pengalaman batin dengan lingkungan kota inilah yang menimbulkan hasrat untuk pulang ke desa atau alam.
Kedua, manusia mulai mengeksplorasi kemungkinan cara hidup yang simpel dan penuh harmoni di desa. Selama episode ini, yang seorang ahli menyebutnya ” Moment Of Spiritual Exaltasion”, manusia menikmati perasaan damai, tenang tentram, bebas dari kecemasan, kecemasan dan komplik. Akan tetapi disini manusia juga merasakan ketidak mungkinan hidup diluar batas-batas masyarakat normal.
Pada tahap ini manusia merasakan ancaman keterbatasan alam dan desa dalam menopang kehidupannya. Keterpencilan dan ketakberdayaan mulai mengganggunya. Pengalaman spritual di alam bebas dan pengalaman psikis di desa justru menimbulkan ketakutan baru. Manusia segera menyadari bahwa penyembuhan yang membuta dari peradaban bisa menghancurkan. Kini ada dua kekuatan yang menjadi musuhnya; ekses buruk peradaban dan kehidupan alam yang liar dan anarkis.
Kedua insight tsb membawanya ketahap ke tiga atau fase terakhir tindakannya. Setelah menemukan keterbatasan2 dan masalah selama retreatnya, manusia memutuskan kembali ke kota atau kemasyarakat.
Di kota, manusia kembali manjalani kehidupan biasa dan normal dengan segala kewajiban dan tanggung jawab, betapapun tidak sempurnanya. Manusia harus menerima konsekwensi2 kekotaan dan berusaha merenovasi ”kekitaan” yang pecah oleh turbulensi modernisme. Dengan menerima kenyataan dirinya hanya insan biasa dan lemah, lalu kemudian berusaha menyempurnakan kemanusiaannya, ia akan terhindar dari kecendrungan nihilisme dan absurditas.
Para pemudik lebaran yang berjumlah jutaan, masuk dalam kategori positif retreat ini. Pulang kampung adalah untuk merealisasikan kefitriannya, menemukan akarnya yang tujang, menyungkemi para tetua, melarutkan dan menghanyutkan dosa-dosa dan kesalahan dan merayakan kemenangan. Lalu setelah itu kembali ke kota, kembali kemedan perang kehidupan dengan segala kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengukir dan mengawal peradaban. Mudik atau retreat tanpa semangat keagamaan yang benar adalah tersesat dua kali, di kota dan di desa.
Robert Prost – penyair Amerika – memandang fenomena retreat atau mudik sebagai ” A Momentary Stay Of Compulsion”. Prost telah mengekspresikan sikapnya itu dalam sajak klasiknya “ Stopping by Woods on a Snowy Evening “. Pada bait terakhir ia menulis “ The woods are lovely, dark and deep / But I have promises to keep/ and miles to go before I sleep / and miles to go before I sleep.
Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin
Jakarta, 30 Oktober 2007
Budaya mandar yang progressive
Tentu ada yang bertanya, dimana progresivitasnya budaya mandar?.,Sebab Kebanyakan dari kita akan selalu mengasosiasikan Mandar dengan tari Pattu’du yang lemah gemulai,tenang atau mala’bi, walau ditengah hentakan dan pukulan gendang yang gemuruh dan bertalu-talu. Ditambah lagi bila kita melihat sikap pakkacaping yang selalu tenang tentram dan terkesan pasif. Pergi dan temuilah orang Mandar, maka seketika anda akan mendapat kesan lembut bagai angin kata2 mereka,dengan kecendrungan Plegmatis atau menarik dan menutup diri dari relasi dan percakapan terlalu jauh
Namun sering apa yang tampak lahir belumlah bisa dijadikan entry untuk mengetahui apa yang terkandung dilubuk hati manusia ( mentalitas atau budaya ). Dan hal ini terjadi pada orang Mandar. Dibalik apa yang digambarkan diatas tentang orang Mandar, sebenarnya tersimpan jejak-jejak budayanya yang progressiv dan dinamis.
Sudut pandang ini didukung oleh kenyataan bahwa orang mandar adalah bangsa pelaut yang berani mengarungi lautan untuk pergi kenegri-negri dan tempat-tempat jauh untuk mencari ikan atau menetap di sana. Hal ini telah terjadi berabad-abad dan tentu telah membentuk kepribadian orang mandar dengan sifat-sifat berani, tabah, aktiv dan dinamis.
Ketika hampir semua kerajaan atau pusat-pusat kekuasaan nusantara di masa lalu mempraktekkan sistim kekuasaan absolut, despot dan otoriter, di Mandar, Todilaling ( Mara’dia pertama Balanipa ) telah mempraktekkan Demokrasi,hal ini dibuktikan dengan ucapannya yang terkenal “ Patondo saliwangi baromu, patondo tamai barona to mae’di’ ( Tempatkan kepentinganmu disebelah luar dan kepentingan orang banyak disebelah dalam ). Dan sikap demokratis ini tentu saja telah jadi Role Model bagi raja2 dan rakyat Mandar sepeninggalnya.
Ketika perempuan ditempat2 lain di Nusantara masih terbelenggu oleh budaya Patriarki yang ketat, dimana wanita hanya dijadikan pasangan hidup dengan peran domestik yang terbatas, di Mandar wanita telah setara dengan laki-laki baik dilingkungan rumah maupun diwilayah publik. Jika nelayan (Laki-laki ) telah sampai dipantai dari mencari ikan, maka selesailah tugasnya. Selanjutnya adalah tugas sang istri apakah akan memasak ikan, mengeringkan atau menjualnya ke pasar. Disini jelas ada pembagian tugas yang setara dan emansipatif ( Sibaliparri )
Namun sering apa yang tampak lahir belumlah bisa dijadikan entry untuk mengetahui apa yang terkandung dilubuk hati manusia ( mentalitas atau budaya ). Dan hal ini terjadi pada orang Mandar. Dibalik apa yang digambarkan diatas tentang orang Mandar, sebenarnya tersimpan jejak-jejak budayanya yang progressiv dan dinamis.
Sudut pandang ini didukung oleh kenyataan bahwa orang mandar adalah bangsa pelaut yang berani mengarungi lautan untuk pergi kenegri-negri dan tempat-tempat jauh untuk mencari ikan atau menetap di sana. Hal ini telah terjadi berabad-abad dan tentu telah membentuk kepribadian orang mandar dengan sifat-sifat berani, tabah, aktiv dan dinamis.
Ketika hampir semua kerajaan atau pusat-pusat kekuasaan nusantara di masa lalu mempraktekkan sistim kekuasaan absolut, despot dan otoriter, di Mandar, Todilaling ( Mara’dia pertama Balanipa ) telah mempraktekkan Demokrasi,hal ini dibuktikan dengan ucapannya yang terkenal “ Patondo saliwangi baromu, patondo tamai barona to mae’di’ ( Tempatkan kepentinganmu disebelah luar dan kepentingan orang banyak disebelah dalam ). Dan sikap demokratis ini tentu saja telah jadi Role Model bagi raja2 dan rakyat Mandar sepeninggalnya.
Ketika perempuan ditempat2 lain di Nusantara masih terbelenggu oleh budaya Patriarki yang ketat, dimana wanita hanya dijadikan pasangan hidup dengan peran domestik yang terbatas, di Mandar wanita telah setara dengan laki-laki baik dilingkungan rumah maupun diwilayah publik. Jika nelayan (Laki-laki ) telah sampai dipantai dari mencari ikan, maka selesailah tugasnya. Selanjutnya adalah tugas sang istri apakah akan memasak ikan, mengeringkan atau menjualnya ke pasar. Disini jelas ada pembagian tugas yang setara dan emansipatif ( Sibaliparri )
Ciri progresivitas budaya Mandar juga terlihat pada design sarung sutra mandar ( lipa’ sa’be ). Tadinya penulis beranggapan bahwa design dan motif2 kain Mandar dipengaruhi Estetika Islam, yang cendrung pada garis-garis linear vertikal dan horisontal dengan prinsip denaturisasi atau menghidari penggambaran alam dan machluk hidup. Namun akhinya berasumsi bahwa design sarung Mandar dipengaruhi oleh estetika seni modern ( modern art ) karna adanya penonjolan bahan ( sutra ) yang dihindari dengan sangat oleh seni Islam. Ciri modern art seperti gaya Plastis ( meruang ), linear dengan garis2 horisontal dan vertikalisasi, ada pada design sarung mandar. Estetika mesin yang dingin dan lugas serta warna2 dasar menonjol pada sarung Mandar.Ciri modern art juga terlihat pada design perahu Sande dengan bentuk stremline dan aerodinamis. Ini adalah cara untuk mempercepat laju perahu Sande dengan modus mengurangi hambatan angin.Tentu saja disamping tafsir ini, ada juga tafsir lain tentang estetika Lipa' Sa'be dan Sande.
Dari pakta tsb diatas dapat dikatakan bahwa selain kandungan tradisinya yang kental, budaya mandar juga dalam aspek-aspek tertentu bersifat Progressive. Kedua entitas ini selalu sejalan seiring melandasi dan mewarnai perjalanan peradaban dan kebudayaan Mandar.
JAKARTA, 14 DESEMBER 2010
0 komentar:
Hannah Arendt
First published Thu Jul 27, 2006 Pertama kali diterbitkan Thu Jul 27, 2006
Hannah Arendt (1906–1975) was one of the most influential political philosophers of the twentieth century. Hannah Arendt (1906-1975) adalah salah satu filsuf politik yang paling berpengaruh pada abad kedua puluh. Born into a German-Jewish family, she was forced to leave Germany in 1933 and lived in Paris for the next eight years, working for a number of Jewish refugee organisations. Lahir dari keluarga Jerman-Yahudi, ia terpaksa meninggalkan Jerman pada tahun 1933 dan tinggal di Paris selama delapan tahun ke depan, bekerja untuk sejumlah organisasi pengungsi Yahudi. In 1941 she immigrated to the United States and soon became part of a lively intellectual circle in New York. Pada tahun 1941 ia berimigrasi ke Amerika Serikat dan segera menjadi bagian dari lingkaran intelektual yang hidup di New York. She held a number of academic positions at various American universities until her death in 1975. Dia memegang beberapa posisi akademik di berbagai universitas Amerika sampai kematiannya pada tahun 1975. She is best known for two works that had a major impact both within and outside the academic community. Dia terkenal karena dua karya yang memiliki dampak besar baik di dalam dan di luar komunitas akademis. The first, The Origins of Totalitarianism , published in 1951, was a study of the Nazi and Stalinist regimes that generated a wide-ranging debate on the nature and historical antecedents of the totalitarian phenomenon. Yang pertama, The Origins of Totalitarianisme, diterbitkan pada tahun 1951, adalah studi dan Stalinis rezim Nazi yang menghasilkan lebar-mulai perdebatan tentang sifat dan pendahulunya historis fenomena totaliter. The second, The Human Condition , published in 1958, was an original philosophical study that investigated the fundamental categories of the vita activa (labor, work, action). Kedua, Kondisi Manusia, yang diterbitkan pada tahun 1958, adalah studi filosofis asli yang menyelidiki kategori fundamental dari vita activa (kerja,, tindakan kerja). In addition to these two important works, Arendt published a number of influential essays on topics such as the nature of revolution, freedom, authority, tradition and the modern age. Selain dua karya-karya penting, Arendt menerbitkan sejumlah esai berpengaruh pada topik-topik seperti sifat revolusi, kebebasan, otoritas, tradisi dan zaman modern. At the time of her death in 1975, she had completed the first two volumes of her last major philosophical work, The Life of the Mind , which examined the three fundamental faculties of the vita contemplativa (thinking, willing, judging). Pada saat kematiannya pada tahun 1975, ia telah menyelesaikan jilid pertama dua filosofis terakhir pekerjaan utama-nya, The Life of Mind, yang meneliti tiga fakultas mendasar dari vita contemplativa (berpikir, mau, menilai). - 1. 1. Biographical Sketch Sketsa biografis
- 2. 2. Introduction Pengantar
- 3. 3. Arendt's Conception of Modernity Konsepsi Arendt Modernisasi
- 4. 4. Arendt's Theory of Action Teori Arendt Aksi
- 4.1 Action, Freedom, and Plurality 4.1 Aksi, Kebebasan, dan Pluralitas
- 4.2 Action and Speech as Disclosure 4.2 Tindakan dan Ucapan sebagai Pengungkapan
- 4.3 Action, Narrative, and Remembrance 4.3 Aksi, Narasi, dan Peringatan
- 4.4 Action, Power, and the Space of Appearance 4.4 Aksi, Power, dan Ruang Penampilan
- 4.5 Action, Unpredictability, and Irreversibility 4,5 Action, ketidakpastian, dan ireversibilitas
- 5. 5. Arendt's Theory of Judgment Teori Arendt Penghakiman
- 5.1 Judgment: Two Models 5.1 Penghakiman: Dua Model
- 5.2 Judgment and the Vita Contemplativa 5.2 Penghakiman dan Vita Contemplativa
- 5.3 Judgment and the Wind of Thought 5.3 Penghakiman dan angin Pemikiran
- 5.4 Judgment and Kant's Aesthetics 5.4 Penghakiman dan's Estetika Kant
- 5.5 Judgment and the Vita Activa 5.5 Penghakiman dan Vita Activa
- 5.6 Judgment and Validity 5.6 Penghakiman dan Validitas
- 6. 6. Arendt's Conception of Citizenship Konsepsi Arendt Kewarganegaraan
- Bibliography Bibliografi
- Other Internet Resources Lain-lain Internet Resources
- Related Entries Related Entries
1. 1. Biographical Sketch Sketsa biografis
Hannah Arendt, one of the leading political thinkers of the twentieth century, was born in 1906 in Hanover and died in New York in 1975. Hannah Arendt, salah satu pemikir politik terkemuka abad kedua puluh, lahir tahun 1906 di Hanover dan meninggal di New York pada tahun 1975. In 1924, after having completed her high school studies, she went to Marburg University to study with Martin Heidegger. Pada tahun 1924, setelah menyelesaikan studi SMA-nya, dia pergi ke Universitas Marburg untuk belajar dengan Martin Heidegger. The encounter with Heidegger, with whom she had a brief but intense love-affair, had a lasting influence on her thought. Perjumpaan dengan Heidegger, dengan siapa dia memiliki cinta singkat namun intens-peristiwa, memiliki pengaruh yang abadi pada pikirannya. After a year of study in Marburg, she moved to Freiburg University where she spent one semester attending the lectures of Edmund Husserl. Setelah setahun belajar di Marburg, ia pindah ke Universitas Freiburg di mana dia menghabiskan satu semester mengikuti kuliah Edmund Husserl. In the spring of 1926 she went to Heidelberg University to study with Karl Jaspers, a philosopher with whom she established a long-lasting intellectual and personal friendship. Pada musim semi tahun 1926 dia pergi ke Heidelberg University untuk belajar dengan Karl Jaspers, seorang filsuf dengan siapa ia mendirikan sebuah persahabatan intelektual dan pribadi yang tahan lama. She completed her doctoral dissertation, entitled Der Liebesbegriff bei Augustin (hereafter LA) under Jaspers's supervision in 1929. Dia menyelesaikan disertasi doktoralnya, berjudul Der Liebesbegriff bei Augustin (selanjutnya LA) di bawah pengawasan Jaspers's pada tahun 1929. She was forced to flee Germany in 1933 as a result of Hitler's rise to power, and after a brief stay in Prague and Geneva she moved to Paris where for six years (1933–39) she worked for a number of Jewish refugee organisations. Dia terpaksa mengungsi Jerman pada tahun 1933 sebagai akibat dari kenaikan Hitler berkuasa, dan setelah tinggal singkat di Praha dan Jenewa ia pindah ke Paris dimana selama enam tahun (1933-1939) ia bekerja untuk sejumlah organisasi pengungsi Yahudi. In 1936 she separated from her first husband, Günther Stern, and started to live with Heinrich Blücher, whom she married in 1940. Pada tahun 1936 ia terpisah dari suami pertamanya, Gunther Stern, dan mulai hidup dengan Heinrich Blücher, yang ia menikah pada tahun 1940. During her stay in Paris she continued to work on her biography of Rahel Varnhagen , which was not published until 1957 (hereafter RV). Selama dia tinggal di Paris, dia terus bekerja pada biografi Rahel Varnhagen, yang tidak dipublikasikan sampai 1957 (selanjutnya disebut RV). In 1941 she was forced to leave France and moved to New York with her husband and mother. Pada tahun 1941 ia dipaksa untuk meninggalkan Perancis dan pindah ke New York bersama suami dan ibu. In New York she soon became part of an influential circle of writers and intellectuals gathered around the journal Partisan Review . Di New York ia segera menjadi bagian dari sebuah lingkaran berpengaruh penulis dan intelektual berkumpul di jurnal Partisan Review. During the post-war period she lectured at a number of American universities, including Princeton, Berkeley and Chicago, but was most closely associated with the New School for Social Research, where she was a professor of political philosophy until her death in 1975. Selama masa pasca-perang ia mengajar di sejumlah universitas di Amerika, termasuk Princeton, Berkeley dan Chicago, namun paling erat terkait dengan Sekolah Baru untuk Penelitian Sosial, di mana dia adalah seorang profesor filsafat politik sampai kematiannya pada tahun 1975. In 1951 she published The Origins of Totalitarianism (hereafter OT), a major study of the Nazi and Stalinist regimes that soon became a classic, followed by The Human Condition in 1958 (hereafter HC), her most important philosophical work. Pada tahun 1951 ia menerbitkan Asal Usul Totalitarianisme (selanjutnya disebut PL), sebuah studi utama dan Stalinis rezim Nazi yang segera menjadi klasik, diikuti dengan Kondisi Manusia pada tahun 1958 (selanjutnya HC), pekerjaan yang paling filosofis penting. In 1961 she attended the trial of Adolf Eichmann in Jerusalem as a reporter for The New Yorker magazine, and two years later published Eichmann in Jerusalem (hereafter EJ), which caused a deep controversy in Jewish circles. Pada tahun 1961 ia menghadiri persidangan Adolf Eichmann di Yerusalem sebagai reporter untuk majalah The New Yorker, dan dua tahun kemudian diterbitkan Eichmann di Yerusalem (selanjutnya EJ), yang menyebabkan kontroversi yang mendalam di kalangan Yahudi. The same year saw the publication of On Revolution (hereafter OR), a comparative analysis of the American and French revolutions. Pada tahun yang sama melihat publikasi dari Pada Revolusi (selanjutnya OR), analisis komparatif dan Perancis revolusi Amerika. A number of important essays were also published during the 60's and early 70's: a first collection was entitled Between Past and Future (hereafter BPF), a second Men in Dark Times (hereafter MDT), and a third Crises of the Republic (hereafter CR). Sejumlah esai penting juga diterbitkan selama 60 dan 70-an: koleksi pertama berjudul Antara Masa Lalu dan Masa Depan (selanjutnya BPF), Pria kedua di Dark Times (selanjutnya MDT), dan Krisis sepertiga dari Republik (selanjutnya CR ). At the time of her death in 1975, she had completed the first two volumes on Thinking and Willing of her last major philosophical work, The Life of the Mind , which was published posthumously in 1978 (hereafter LM). Pada saat kematiannya pada tahun 1975, ia telah menyelesaikan jilid pertama dua di Berpikir dan Bersedia filosofis terakhir pekerjaan utama-nya, The Life of Mind, yang diterbitkan secara anumerta pada tahun 1978 (selanjutnya LM). The third volume, on Judging , was left unfinished, but some background material and lecture notes were published in 1982 under the title Lectures on Kant's Political Philosophy (hereafter LKPP). Volume ketiga, pada Dilihat, yang tersisa belum selesai, tapi beberapa bahan latar belakang dan catatan kuliah diterbitkan pada tahun 1982 dengan judul Lectures on Kant Filsafat Politik (selanjutnya LKPP).2. 2. Introduction Pengantar
Hannah Arendt was one of the seminal political thinkers of the twentieth century. Hannah Arendt adalah salah satu pemikir politik mani abad kedua puluh. The power and originality of her thinking was evident in works such as The Origins of Totalitarianism , The Human Condition , On Revolution and The Life of the Mind . Kekuatan dan keaslian pemikiran tampak jelas dalam karya-karya seperti The Origins of Totalitarianisme, Kondisi Manusia, Pada Revolusi dan Hidup Pikiran. In these works and in numerous essays she grappled with the most crucial political events of her time, trying to grasp their meaning and historical import, and showing how they affected our categories of moral and political judgment. Dalam karya-karya dan dalam berbagai esai ia bergulat dengan peristiwa politik yang paling penting dari waktunya, mencoba memahami makna dan impor sejarah, dan menunjukkan bagaimana mereka mempengaruhi kategori kami penghakiman moral dan politik. What was required, in her view, was a new framework that could enable us to come to terms with the twin horrors of the twentieth century, Nazism and Stalinism. Apa yang diperlukan, dalam pandangannya, adalah sebuah kerangka kerja baru yang bisa memungkinkan kita untuk berdamai dengan kengerian kembar abad kedua puluh, Nazisme dan Stalinisme. She provided such framework in her book on totalitarianism, and went on to develop a new set of philosophical categories that could illuminate the human condition and provide a fresh perspective on the nature of political life. Dia memberikan kerangka tersebut dalam bukunya pada totalitarianisme, dan terus mengembangkan satu set baru kategori filsafat yang dapat menerangi kondisi manusia dan memberikan perspektif yang segar tentang hakikat kehidupan politik.Although some of her works now belong to the classics of the Western tradition of political thought, she has always remained difficult to classify. Meskipun beberapa karyanya sekarang milik klasik dari tradisi pemikiran politik Barat, ia selalu tetap sulit untuk mengklasifikasikan. Her political philosophy cannot be characterized in terms of the traditional categories of conservatism, liberalism, and socialism. filsafat politik nya tidak bisa dicirikan dalam hal kategori tradisional konservatisme, liberalisme, dan sosialisme. Nor can her thinking be assimilated to the recent revival of communitarian political thought, to be found, for example, in the writings of A. MacIntyre, M. Sandel, C. Taylor and M. Walzer. Juga tidak bisa berpikir dia menjadi yang dipersamakan dengan kebangkitan baru-baru ini pemikiran politik komunitarian, dapat ditemukan, misalnya, dalam tulisan-tulisan A. MacIntyre, M. Sandel, C. Taylor dan M. Walzer. Her name has been invoked by a number of critics of the liberal tradition, on the grounds that she presented a vision of politics that stood in opposition some key liberal principles. Namanya telah dipanggil oleh sejumlah kritik dari tradisi liberal, dengan alasan bahwa ia mempresentasikan visi politik yang berdiri di oposisi liberal beberapa prinsip kunci. There are many strands of Arendt's thought that could justify such a claim, in particular, her critique of representative democracy, her stress on civic engagement and political deliberation, her separation of morality from politics, and her praise of the revolutionary tradition. Ada banyak untaian pemikiran Arendt yang dapat membenarkan klaim seperti itu, khususnya, kritik nya demokrasi perwakilan, stres di atas keterlibatan masyarakat dan musyawarah politik, cemar kainnya moralitas dari politik, dan memujinya tradisi revolusioner. However, it would be a mistake to view Arendt as an anti-liberal thinker. Namun, itu akan menjadi kesalahan untuk melihat Arendt sebagai seorang pemikir anti-liberal. Arendt was in fact a stern defender of constitutionalism and the rule of law, an advocate of fundamental human rights (among which she included not only the right to life, liberty, and freedom of expression, but also the right to action and to opinion), and a critic of all forms of political community based on traditional ties and customs, as well as those based on religious, ethnic, or racial identity. Arendt sebenarnya pembela buritan konstitusionalisme dan aturan hukum, pembela hak asasi manusia mendasar (di antara yang ia mencakup tidak hanya hak untuk hidup, kebebasan, dan kebebasan berekspresi, tetapi juga hak untuk tindakan dan pendapat) , dan seorang kritikus dari semua bentuk komunitas politik yang didasarkan pada ikatan tradisional dan kebiasaan, maupun yang berdasarkan identitas agama, etnis, atau ras.
Arendt's political thought cannot, in this sense, be identified either with the liberal tradition or with the claims advanced by a number of its critics. pemikiran politik Arendt tidak bisa, dalam pengertian ini, diidentifikasi baik dengan tradisi liberal atau dengan klaim maju oleh sejumlah kritik. Arendt did not conceive of politics as a means for the satisfaction of individual preferences, nor as a way to integrate individuals around a shared conception of the good. Arendt tidak memahami politik sebagai alat untuk kepuasan preferensi individu, atau sebagai cara untuk mengintegrasikan individu di seluruh konsepsi bersama tentang kebaikan. Her conception of politics is based instead on the idea of active citizenship, that is, on the value and importance of civic engagement and collective deliberation about all matters affecting the political community. nya konsepsi politik didasarkan bukan pada gagasan kewarganegaraan aktif, yaitu, pada nilai dan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dan musyawarah kolektif tentang semua hal yang mempengaruhi komunitas politik. If there is a tradition of thought with which Arendt can be identified, it is the classical tradition of civic republicanism originating in Aristotle and embodied in the writings of Machiavelli, Montesquieu, Jefferson, and Tocqueville. Jika ada tradisi pemikiran dengan yang Arendt dapat diidentifikasi, itu adalah tradisi klasik republikanisme sipil yang berasal dari Aristoteles dan yang terkandung dalam tulisan-tulisan Machiavelli, Montesquieu, Jefferson, dan Tocqueville. According to this tradition politics finds its authentic expression whenever citizens gather together in a public space to deliberate and decide about matters of collective concern. Menurut tradisi politik menemukan ekspresi otentik bilamana warga negara berkumpul bersama dalam ruang publik untuk membicarakan dan memutuskan tentang masalah yang menjadi perhatian bersama. Political activity is valued not because it may lead to agreement or to a shared conception of the good, but because it enables each citizen to exercise his or her powers of agency, to develop the capacities for judgment and to attain by concerted action some measure of political efficacy. Kegiatan politik dinilai tidak karena dapat menyebabkan kesepakatan atau konsepsi bersama tentang kebaikan, tetapi karena memungkinkan setiap warga negara untuk melaksanakan kekuasaan nya badan, untuk mengembangkan kapasitas untuk penghakiman dan untuk mencapai dengan tindakan bersama beberapa ukuran kemanjuran politik.
I shall reconstruct Arendt's political philosophy along four major themes: (1) her conception of modernity, (2) her theory of action, (3) her theory of judgment, and (4) her conception of citizenship. Aku akan kembali filsafat politik Arendt bersama empat tema utama: (1) konsepsi nya modernitas, (2) teorinya tindakan, (3) teorinya penghakiman, dan (4) konsepsi nya kewarganegaraan.
3. 3. Arendt's Conception of Modernity Konsepsi Arendt Modernisasi
In her major philosophical work, The Human Condition , and in some of the essays collected in Between Past and Future , Arendt articulated a fairly negative conception of modernity. Dalam pekerjaan utama filosofis, The Kondisi Manusia, dan dalam beberapa esai yang dikumpulkan di Antara Masa Lalu dan Masa Depan, Arendt diartikulasikan negatif cukup konsepsi modernitas. In these writings Arendt is primarily concerned with the losses incurred as a result of the eclipse of tradition, religion, and authority, but she offers a number of illuminating suggestions with respect to the resources that the modern age can still provide to address questions of meaning, identity, and value. Dalam tulisan Arendt terutama berkaitan dengan kerugian yang timbul sebagai akibat dari gerhana tradisi, agama, dan otoritas, tapi ia menawarkan sejumlah saran menerangi sehubungan dengan sumber daya yang zaman modern masih dapat memberikan menangani berbagai pertanyaan tentang makna , identitas, dan nilai.For Arendt modernity is characterized by the loss of the world , by which she means the restriction or elimination of the public sphere of action and speech in favor of the private world of introspection and the private pursuit of economic interests. Untuk Arendt modernitas dicirikan oleh hilangnya dunia, di mana dia berarti pembatasan atau penghapusan lingkup publik tindakan dan pidato dalam mendukung dunia pribadi introspeksi dan mengejar kepentingan ekonomi pribadi. Modernity is the age of mass society, of the rise of the social out of a previous distinction between the public and the private, and of the victory of animal laborans over homo faber and the classical conception of man as zoon politikon . Modernitas adalah usia masyarakat massa, kebangkitan keluar sosial perbedaan sebelumnya antara publik dan swasta, dan kemenangan laborans hewan atas homo faber dan konsepsi klasik manusia sebagai zoon politikon. Modernity is the age of bureaucratic administration and anonymous labor, rather than politics and action, of elite domination and the manipulation of public opinion. Modernitas adalah usia administrasi birokrasi dan tenaga kerja anonim, bukan politik dan tindakan, dari dominasi elit dan manipulasi opini publik. It is the age when totalitarian forms of government, such as Nazism and Stalinism, have emerged as a result of the institutionalization of terror and violence. Ini adalah usia ketika bentuk-bentuk pemerintahan totaliter, seperti Nazisme dan Stalinisme, telah muncul sebagai akibat dari pelembagaan teror dan kekerasan. It is the age where history as a “natural process” has replaced history as a fabric of actions and events, where homogeneity and conformity have replaced plurality and freedom, and where isolation and loneliness have eroded human solidarity and all spontaneous forms of living together. Ini adalah usia dimana sejarah sebagai sebuah "proses alami" telah menggantikan sejarah sebagai kain tindakan dan peristiwa, di mana keseragaman dan sesuai telah menggantikan pluralitas dan kebebasan, dan di mana isolasi dan kesepian telah mengikis solidaritas manusia dan segala bentuk spontan hidup bersama. Modernity is the age where the past no longer carries any certainty of evaluation, where individuals, having lost their traditional standards and values, must search for new grounds of human community as such. Modernitas adalah usia di mana masa lalu tidak lagi membawa kepastian apapun evaluasi, di mana individu-individu, karena kehilangan standar dan nilai-nilai tradisional mereka, harus mencari alasan baru komunitas manusia seperti itu.
This is Arendt's vision of modernity, a vision which, at first sight, appears quite stark and unredeeming. Ini adalah visi Arendt modernitas, sebuah visi yang, pada pandangan pertama, tampak sangat mencolok dan unredeeming. It is worth pointing out, however, that Arendt's negative appraisal of modernity was shaped by her experience of totalitarianism in the twentieth century, and that her work provides a number of important insights that may help us to address certain problematic features of the modern age. Perlu menunjukkan, bagaimanapun, bahwa penilaian negatif Arendt modernitas dibentuk oleh pengalaman totalitarianisme di abad kedua puluh, dan bahwa karyanya menyediakan sejumlah wawasan penting yang dapat membantu kita mengatasi fitur bermasalah tertentu dari zaman modern. In her political writings, and especially in The Origins of Totalitarianism , Arendt claimed that the phenomenon of totalitarianism has broken the continuity of Occidental history, and has rendered meaningless most of our moral and political categories. Dalam tulisan-tulisan politiknya, dan terutama dalam The Origins of Totalitarianisme, Arendt menyatakan bahwa fenomena totalitarianisme telah mematahkan kontinuitas sejarah Occidental, dan telah memberikan yang paling berarti moral dan politik kategori kami. The break in our tradition has become irrevocable after the tragic events of the twentieth century and the triumph of totalitarian movements East and West. Istirahat dalam tradisi kita telah menjadi tidak dapat dibatalkan setelah peristiwa tragis abad kedua puluh dan kemenangan gerakan totaliter Timur dan Barat. In the form of Stalinism and Nazism, totalitarianism has exploded the established categories of political thought and the accepted standards of moral judgment, and has thereby broken the continuity of our history. Dalam bentuk Stalinisme dan Nazisme, totalitarianisme telah meledak kategori mapan pemikiran politik dan standar yang diterima penghakiman moral, dan telah demikian rusak kelangsungan sejarah kita. Faced with the tragic events of the Holocaust and the Gulag, we can no longer go back to traditional concepts and values, so as to explain the unprecedented by means of precedents, or to understand the monstrous by means of the familiar. Dihadapkan dengan peristiwa tragis dari Holocaust dan Gulag, kita tidak bisa lagi kembali ke konsep tradisional dan nilai-nilai, sehingga dapat menjelaskan belum pernah terjadi sebelumnya dengan cara preseden, atau untuk memahami mengerikan dengan cara yang akrab. The burden of our time must be faced without the aid of tradition, or as Arendt once put it, “without a bannister ” (RPW, 336). Beban waktu kita harus dihadapi tanpa bantuan tradisi, atau sebagai Arendt pernah dikatakan, "tanpa Bannister a" (RPW, 336). Our inherited concepts and criteria for judgment have been dissolved under the impact of modern political events, and the task now is to re-establish the meaning of the past outside the framework of any tradition, since none have retained their original validity. konsep kami mewarisi dan kriteria penilaian telah bubar dampak peristiwa politik modern, dan tugas sekarang adalah untuk membangun kembali makna dari masa lalu di luar kerangka tradisi manapun, karena tak ada satupun yang mempertahankan validitas asli mereka. It is the past, then, and not tradition, that Arendt attempts to preserve from the rupture in modern time-consciousness. Ini adalah masa lalu, maka, dan bukan tradisi, bahwa Arendt mencoba untuk melestarikan dari pecahnya dalam kesadaran modern-waktu. Only by reappropriating the past by means of what Arendt called “the deadly impact of new thoughts” (MDT, 201) can we hope to restore meaning to the present and throw some light on the contemporary situation. Hanya dengan reappropriating masa lalu dengan cara apa Arendt disebut "dampak mematikan pemikiran baru" (MDT, 201) kita bisa berharap untuk mengembalikan makna pada masa sekarang dan melemparkan beberapa cahaya pada situasi kontemporer.
The hermeneutic strategy that Arendt employed to re-establish a link with the past is indebted to both Walter Benjamin and Martin Heidegger. Strategi hermeneutik yang Arendt digunakan untuk membangun kembali link dengan masa lalu adalah berhutang budi kepada kedua Walter Benjamin dan Martin Heidegger. From Benjamin she took the idea of a fragmentary historiography, one that seeks to identify the moments of rupture, displacement and dislocation in history. Dari Benjamin ia mengambil gagasan tentang historiografi fragmentaris, yang bertujuan untuk mengetahui saat-saat pecah, perpindahan dan dislokasi dalam sejarah. Such fragmentary historiography enables one to recover the lost potentials of the past in the hope that they may find actualization in the present. historiografi fragmentaris tersebut memungkinkan seseorang untuk memulihkan potensi kehilangan masa lalu dengan harapan bahwa mereka mungkin menemukan aktualisasi di masa sekarang. From Heidegger she took the idea of a deconstructive reading of the Western philosophical tradition, one that seeks to uncover the original meaning of our categories and to liberate them from the distorting incrustations of tradition. Dari Heidegger dia mengambil ide pembacaan dekonstruksi dari tradisi filsafat Barat, yang berusaha untuk menemukan arti asli dari kategori kita dan untuk membebaskan mereka dari incrustations menyimpang dari tradisi. Such deconstructive hermeneutics enables one to recover those primordial experiences ( Urphaenomene ) which have been occluded or forgotten by the philosophical tradition, and thereby to recover the lost origins of our philosophical concepts and categories. hermeneutika dekonstruktif tersebut memungkinkan seseorang untuk memulihkan pengalaman-pengalaman primordial (Urphaenomene) yang telah tersumbat atau dilupakan oleh tradisi filsafat, dan dengan demikian untuk memulihkan asal hilang konsep filosofis kita dan kategori.
By relying on these two hermeneutic strategies Arendt hopes to redeem from the past its lost or “forgotten treasure,” that is, those fragments from the past that might still be of significance to us. Dengan mengandalkan dua strategi hermeneutik Arendt berharap untuk menebus dari masa lalu "harta dilupakan," yang hilang atau yaitu orang fragmen dari masa lalu yang mungkin masih penting bagi kita. In her view it is no longer possible, after the collapse of tradition, to save the past as a whole; the task, rather, is to redeem from oblivion those elements of the past that are still able to illuminate our situation. Dalam pandangannya itu tidak mungkin lagi, setelah runtuhnya tradisi, untuk menyelamatkan masa lalu secara keseluruhan; tugas, sebaliknya, adalah untuk menebus dari unsur-unsur dilupakan dari masa lalu yang masih bisa menerangi situasi kita. To re-establish a linkage with the past is not an antiquarian exercise; on the contrary, without the critical reappropriation of the past our temporal horizon becomes disrupted, our experience precarious, and our identity more fragile. Untuk kembali membangun hubungan dengan masa lalu bukanlah latihan antik, sebaliknya, tanpa reappropriation kritis dari masa lalu cakrawala temporal kita menjadi terganggu, pengalaman genting kita, dan identitas kita lebih rentan. In Arendt's view, then, it is necessary to redeem from the past those moments worth preserving, to save those fragments from past treasures that are significant for us. Dalam pandangan Arendt, maka, perlu untuk menebus dari masa lalu saat-saat bernilai melestarikan, untuk menyelamatkan orang-fragmen dari harta karun masa lalu yang signifikan bagi kita. Only by means of this critical reappropriation can we discover the past anew, endow it with relevance and meaning for the present, and make it a source of inspiration for the future. Hanya dengan cara ini reappropriation kritis dapat kita menemukan masa lalu lagi, memberkati dengan relevansi dan makna untuk saat ini, dan membuatnya menjadi sumber inspirasi bagi masa depan.
This critical reappropriation is facilitated, in part, by the fact that after the rupture in modern time-consciousness the past may “open up to us with unexpected freshness and tell us things no one has yet had ears to hear ” (BPF, 94). Ini reappropriation kritis difasilitasi, sebagian, oleh kenyataan bahwa setelah pecah dalam kesadaran modern masa lalu bisa "membuka kepada kami dengan kesegaran yang tak terduga dan memberitahu kami hal-hal yang tidak ada belum punya telinga untuk mendengar" (BPF, 94) . The breakdown of tradition may in fact provide the great chance to look upon the past “with eyes undistorted by any tradition, with a directness which has disappeared from Occidental reading and hearing ever since Roman civilization submitted to the authority of Greek thought” (BPF, 28–9). Rincian tradisi mungkin sebenarnya memberikan peluang besar untuk memandang masa lalu "dengan mata yang tidak terdistorsi oleh tradisi apapun, dengan keterusterangan yang telah menghilang dari Occidental membaca dan mendengar sejak peradaban Romawi disampaikan kepada otoritas pemikiran Yunani" (BPF, 28-9).
Arendt's return to the original experience of the Greek polis represents, in this sense, an attempt to break the fetters of a worn-out tradition and to rediscover a past over which tradition has no longer a claim. kita kembali Arendt dengan pengalaman asli dari polis Yunani mewakili, dalam pengertian ini, upaya untuk mematahkan belenggu-out dari tradisi usang dan untuk menemukan kembali masa lalu di mana tradisi tidak lagi klaim. Against tradition Arendt sets the criterion of genuineness, against the authoritative that which is forgotten, concealed, or displaced at the margins of history. Terhadap tradisi Arendt menetapkan kriteria keaslian, terhadap otoritatif yang yang terlupakan, tersembunyi, atau pengungsi di pinggiran sejarah. Only by operating against the grain of traditionalism and the claims of conventional historiography can the past be made meaningful again, provide sources of illumination for the present, and yield its treasures to those who search for them with “new thoughts” and saving acts of remembrance. Hanya dengan operasi terhadap butir tradisionalisme dan klaim historiografi konvensional dapat masa lalu menjadi berarti lagi, menyediakan sumber penerangan untuk saat ini, dan hasil harta kepada orang-orang yang mencari mereka dengan "pikiran-pikiran baru" dan tindakan-tindakan penghematan zikir .
Arendt articulates her conception of modernity around a number of key features: these are world alienation , earth alienation , the rise of the social , and the victory of animal laborans . Arendt mengartikulasikan konsepsi nya modernitas sekitar sejumlah fitur kunci: ini adalah dunia keterasingan, keterasingan bumi, munculnya sosial, dan kemenangan laborans hewan. World alienation refers to the loss of an intersubjectively constituted world of experience and action by means of which we establish our self-identity and an adequate sense of reality. Dunia keterasingan mengacu pada hilangnya sebuah intersubjectively merupakan dunia pengalaman dan tindakan dengan cara yang kita membangun identitas diri kita dan rasa yang memadai realitas. Earth alienation refers to the attempt to escape from the confines of the earth; spurred by modern science and technology, we have searched for ways to overcome our earth-bound condition by setting out on the exploration of space, by attempting to recreate life under laboratory conditions, and by trying to extend our given life-span. keterasingan Bumi mengacu pada upaya untuk melarikan diri dari batas-batas bumi; didorong oleh ilmu pengetahuan modern dan teknologi, kami telah mencari cara untuk mengatasi kondisi kita bumi terikat dengan menetapkan keluar pada eksplorasi ruang, dengan mencoba menciptakan kehidupan di bawah laboratorium kondisi, dan dengan mencoba untuk memperpanjang hidup diberikan kita-span. The rise of the social refers to the expansion of the market economy from the early modern period and the ever increasing accumulation of capital and social wealth. Munculnya sosial mengacu pada perluasan ekonomi pasar dari periode modern awal dan akumulasi modal yang semakin meningkat dan kekayaan sosial. With the rise of the social everything has become an object of production and consumption, of acquisition and exchange; moreover, its constant expansion has resulted in the blurring of the distinction between the private and the public. Dengan munculnya segala sesuatu sosial telah menjadi objek produksi dan konsumsi, akuisisi dan pertukaran, apalagi, ekspansi yang terus menerus telah mengakibatkan kabur perbedaan antara swasta dan publik. The victory of animal laborans refers to the triumph of the values of labor over those of homo faber and of man as zoon politikon . Kemenangan laborans hewan mengacu pada kemenangan nilai-nilai tenaga kerja lebih dari orang-orang homo faber dan manusia sebagai zoon politikon. All the values characteristic of the world of fabrication — permanence, stability, durability — as well as those characteristic of the world of action and speech — freedom, plurality, solidarity — are sacrificed in favor of of the values of life, productivity and abundance. Semua nilai karakteristik dunia fabrikasi - permanen, stabilitas, ketahanan - maupun yang karakteristik dunia tindakan dan pidato - kebebasan, pluralitas, solidaritas - yang dikorbankan dalam mendukung nilai hidup, produktivitas dan kelimpahan.
Arendt identifies two main stages in the emergence of modernity: the first, from the sixteenth to the nineteenth century, corresponds to world alienation and the rise of the social, the second, from the beginning of the twentieth century, corresponds to earth alienation and the victory of animal laborans . Arendt mengidentifikasi dua tahap utama dalam munculnya modernitas: pertama, dari keenam belas hingga abad kesembilan belas, sesuai dengan keterasingan dunia dan munculnya sosial, yang kedua, dari awal abad kedua puluh, sesuai dengan keterasingan bumi dan kemenangan laborans hewan. She also identifies a number of causes: the discovery of America and the corresponding shrinking of the earth, the waves of expropriation started during the Reformation, the invention of the telescope challenging the adequacy of the senses, the rise of modern science and philosophy and subsequently of a conception of man as part of a process of Nature and History, and the expansion of the realm of the economy, of the production and accumulation of social wealth. Dia juga mengidentifikasi sejumlah penyebab: penemuan Amerika dan menyusutnya sesuai bumi, gelombang pengambilalihan dimulai selama Reformasi, penemuan teleskop menantang kecukupan indra, kebangkitan ilmu pengetahuan modern dan filsafat dan kemudian dari konsepsi manusia sebagai bagian dari proses Alam dan Sejarah, dan perluasan bidang perekonomian, produksi dan akumulasi kekayaan sosial.
Arendt's interpretation of modernity can be criticized on a number of grounds. interpretasi Arendt modernitas dapat dikritik pada sejumlah alasan. I will focus my attention on two categories employed by Arendt, those of nature , and the social . Saya akan memfokuskan perhatian saya pada dua kategori dipekerjakan oleh Arendt, orang-orang dari alam, dan sosial. With respect to the category of nature, Arendt oscillates between two contrasting accounts. Sehubungan dengan kategori alam, Arendt berosilasi antara dua rekening kontras. According to the first account, the modern age, by elevating labor, the most natural of human activities, to the highest position within the vita activa , has brought us too close to nature. Menurut account terlebih dahulu, zaman modern, dengan mengangkat tenaga kerja, yang paling alami aktivitas manusia, ke posisi tertinggi dalam vita activa, telah membawa kita terlalu dekat dengan alam. Instead of building and preserving the human artifice and creating public spaces for action and deliberation, we are reduced to engage in the activity of sheer survival and in the production of things that are by definition perishable. Alih-alih bangunan dan melestarikan kecerdasan manusia dan menciptakan ruang publik untuk bertindak dan musyawarah, kami dikurangi untuk terlibat dalam kegiatan bertahan hidup dan dalam produksi hal-hal yang menurut definisi fana. According to the second account, however, the modern age is characterized by a growing artificiality, by the rejection of anything that is not man-made. Menurut account kedua, namun umur modern ditandai dengan kepalsuan berkembang, dengan penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak buatan manusia. Arendt cites the fact that natural processes, including that of life itself, have been recreated artificially by means of scientific experiment, that our natural environment has been extensively transformed and in some instances entirely replaced by technology, and that we have searched for ways to overcome our natural condition as earth-bound creatures by setting out on the exploration of space and envisaging the possibility of inhabiting other planets. Arendt mengutip fakta bahwa proses alam, termasuk kehidupan itu sendiri, telah diciptakan secara artifisial melalui percobaan ilmiah, bahwa lingkungan alam kita telah banyak berubah dan dalam beberapa kasus seluruhnya digantikan oleh teknologi, dan bahwa kita telah mencari cara untuk mengatasi kami alami kondisi sebagai makhluk bumi terikat dengan menetapkan keluar pada eksplorasi ruang dan mempertimbangkan kemungkinan menghuni planet lain. All this leads to a situation where nothing around us will be a naturally given event, object, or process, but will instead be the product of our instruments and the will to refashion the world in our image. Semua ini mengarah ke situasi di mana apa pun di sekitar kita akan menjadi peristiwa alami diberikan, objek, atau proses, melainkan akan menjadi produk instrumen kita dan kemauan untuk refashion dunia dalam citra kami.
These two accounts are difficult to reconcile, since in the former we have nature intruding upon and even destroying the human artifice, while in the latter we have art ( techne ) expanding upon and replacing everything natural or merely given. Kedua account ini sulit untuk mendamaikan, karena di bekas kita memiliki sifat mengganggu atas dan bahkan menghancurkan kecerdasan manusia, sedangkan di kemudian kita memiliki seni (techne) memperluas atas dan menggantikan semua alam atau hanya diberikan. The result is to endow nature with an ambiguous status, since in the former case the victory of animal laborans indicates our subjection to natural processes, while in the latter case the expansion of scientific knowledge and of technological mastery indicates the overcoming of all natural limits. Hasilnya adalah untuk memberkati alam dengan status ambigu, karena dalam kasus mantan kemenangan laborans hewan menunjukkan tunduk kami untuk proses alam, sedangkan pada kasus yang terakhir perluasan pengetahuan ilmiah dan penguasaan teknologi menunjukkan mengatasi semua batas alami. The modern world would thus appear to be too natural and too artificial, too much under the dominance of labor and the life-process of the species, as well as too much under the dominance of techne . Dunia modern dengan demikian akan tampak terlalu alami dan terlalu artifisial, terlalu banyak di bawah dominasi tenaga kerja dan kehidupan-proses dari spesies, serta terlalu banyak di bawah dominasi techne.
With respect to the second category, that of the social, Arendt was unable to account for certain important features of the modern world. Sehubungan dengan kategori kedua, yaitu sosial, Arendt tidak dapat menjelaskan ciri-ciri penting tertentu dari dunia modern. Arendt identifies the social with all those activities formerly restricted to the private sphere of the household and having to do with the necessities of life. Arendt mengidentifikasi sosial dengan semua kegiatan sebelumnya terbatas pada lingkup pribadi rumah tangga dan yang berkaitan dengan kebutuhan hidup. Her claim is that, with the tremendous expansion of the economy from the end of the eighteenth century, all such activities have taken over the public realm and transformed it into a sphere for the satisfaction of our material needs. klaim nya adalah bahwa, dengan ekspansi perekonomian yang luar biasa dari akhir abad kedelapan belas, seluruh kegiatan tersebut telah mengambil alih wilayah publik dan mengubahnya menjadi sebuah bola untuk kepuasan kebutuhan bahan kami. Society has thus invaded and conquered the public realm, turning it into a function of what previously were private needs and concerns, and has thereby destroyed the boundary separating the public and the private. Masyarakat dengan demikian telah menyerang dan menaklukkan wilayah publik, mengubahnya menjadi fungsi dari apa yang sebelumnya adalah kebutuhan pribadi dan keprihatinan, dan dengan demikian menghancurkan batas memisahkan masyarakat dan swasta. Arendt also claims that with the expansion of the social realm the tripartite division of human activities has been undermined to the point of becoming meaningless. Arendt juga mengklaim bahwa dengan perluasan ranah sosial pembagian tripartit kegiatan manusia telah merusak ke titik menjadi berarti. In her view, once the social realm has established its monopoly, the distinction between labor, work and action is lost, since every effort is now expended on reproducing our material conditions of existence. Dalam pandangannya, sekali ranah sosial telah membentuk monopoli, perbedaan antara kerja, kerja dan tindakan hilang, karena setiap usaha sekarang pengeluaran mereproduksi materi kami kondisi keberadaan. Obsessed with life, productivity, and consumption, we have turned into a society of laborers and jobholders who no longer appreciate the values associated with work, nor those associated with action. Terobsesi dengan kehidupan, produktivitas, dan konsumsi, kami telah berubah menjadi sebuah masyarakat buruh dan jobholders yang tidak lagi menghargai nilai-nilai yang terkait dengan pekerjaan, atau yang berhubungan dengan tindakan.
From this brief account it is clear that Arendt's concept of the social plays a crucial role in her assessment of modernity. Dari account ini singkat, jelas bahwa konsep Arendt tentang sosial memainkan peran penting dalam penilaian nya modernitas. I would argue, however, that it blinds her to many important issues and leads her to a series of questionable judgments. Saya berpendapat, bagaimanapun, bahwa itu membutakan dia untuk isu-isu penting banyak dan mengarah ke serangkaian penilaian dipertanyakan. In the first place, Arendt's characterization of the social is overly restricted. Di tempat pertama, karakterisasi Arendt tentang sosial terlalu dibatasi. She claims that the social is the realm of labor, of biological and material necessity, of the reproduction of our condition of existence. Dia mengklaim bahwa sosial adalah dunia kerja, kebutuhan biologis dan materi, dari reproduksi kondisi kita keberadaan. She also claims that the rise of the social coincides with the expansion of the economy from the end of the eighteenth century. Dia juga mengklaim bahwa munculnya sosial bertepatan dengan ekspansi ekonomi dari akhir abad kedelapan belas. However, having identified the social with the growth of the economy in the past two centuries, Arendt cannot characterize it in terms of a subsistence model of simple reproduction. Namun, setelah mengidentifikasi sosial dengan pertumbuhan ekonomi dalam dua abad terakhir, Arendt tidak dapat menggambarkannya dalam hal model subsistensi reproduksi sederhana. Secondly, Arendt's identification of the social with the activities of the household is responsible for a major shortcoming in her analysis of the economy. Kedua, identifikasi Arendt tentang sosial dengan kegiatan rumah tangga bertanggung jawab atas kelemahan utama dalam analisis nya perekonomian. She is, in fact, unable to acknowledge that a modern capitalist economy constitutes a structure of power with a highly asymmetric distribution of costs and rewards. Dia adalah, pada kenyataannya, tidak dapat mengakui bahwa ekonomi kapitalis modern merupakan struktur kekuasaan dengan distribusi yang sangat asimetris biaya dan manfaat. By relying on the misleading analogy of the household, she maintains that all questions pertaining to the economy are pre-political, and thus ignores the crucial question of economic power and exploitation. Dengan mengandalkan analogi menyesatkan rumah tangga, dia bersikeras bahwa semua pertanyaan yang berkaitan dengan ekonomi pra-politik, dan dengan demikian mengabaikan pertanyaan penting dari kekuatan ekonomi dan eksploitasi. Finally, by insisting on a strict separation between the private and the public, and between the social and the political, she is unable to account for the essential connection between these spheres and the struggles to redraw their boundaries. Akhirnya, dengan memaksakan pemisahan yang ketat antara swasta dan masyarakat, dan antara sosial dan politik, ia tidak mampu untuk menjelaskan hubungan penting antara lingkungan dan perjuangan untuk redraw batas-batas mereka. Today many so-called private issues have become public concerns, and the struggle for justice and equal rights has extended into many spheres. Saat ini banyak masalah-masalah pribadi yang disebut telah menjadi keprihatinan masyarakat, dan perjuangan untuk keadilan dan persamaan hak telah diperluas ke banyak bidang. By insulating the political sphere from the concerns of the social, and by maintaining a strict distinction between the public and the private, Arendt is unable to account for some of the most important achievements of modernity — the extension of justice and equal rights, and the redrawing of the boundaries between the public and the private. Dengan isolasi lingkup politik dari keprihatinan sosial, dan dengan mempertahankan perbedaan yang ketat antara publik dan swasta, Arendt tidak dapat menjelaskan beberapa prestasi yang paling penting dari modernitas - perpanjangan keadilan dan hak yang sama, dan menggambar ulang batas-batas antara publik dan swasta.
4. 4. Arendt's Theory of Action Teori Arendt Aksi
Arendt's theory of action and her revival of the ancient notion of praxis represent one of the most original contributions to twentieth century political thought. Teman-teori Arendt tindakan dan kebangkitan-nya dari gagasan kuno praksis merupakan salah satu kontribusi paling asli pemikiran politik abad kedua puluh. By distinguishing action ( praxis ) from fabrication ( poiesis ), by linking it to freedom and plurality, and by showing its connection to speech and remembrance, Arendt is able to articulate a conception of politics in which questions of meaning and identity can be addressed in a fresh and original manner. Dengan membedakan tindakan (praksis) dari fabrikasi (poiesis), dengan menghubungkan ke kebebasan dan pluralitas, dan dengan menunjukkan hubungannya dengan pidato dan mengingat, Arendt mampu mengartikulasikan konsepsi politik di mana pertanyaan tentang makna dan identitas dapat diatasi dalam dengan cara yang segar dan asli. Moreover, by viewing action as a mode of human togetherness, Arendt is able to develop a conception of participatory democracy which stands in direct contrast to the bureaucratized and elitist forms of politics so characteristic of the modern epoch. Selain itu, dengan tindakan melihat sebagai mode kebersamaan manusia, Arendt mampu mengembangkan konsepsi demokrasi partisipatif yang bertentangan langsung dengan bentuk terbirokratisasi dan elitis politik sehingga karakteristik zaman modern.I shall focus on some of the key components of Arendt's theory of action, such as freedom, plurality and disclosure. Saya akan berfokus pada beberapa komponen kunci dari teori Arendt tindakan, seperti kebebasan, pluralitas dan keterbukaan. I will then examine the links between action and narrative, the importance of remembrance, and of what I call “communities of memory.” I will then show the connection between action, power and the space of appearance. Saya kemudian akan memeriksa hubungan antara tindakan dan narasi, pentingnya mengingat, dan dari apa yang saya sebut saya akan menunjukkan hubungan antara tindakan, kekuasaan dan ruang penampilan "masyarakat memori.". Lastly, I will look at the remedies for the unpredictability and irreversibility of action, namely, the power of promise and the power to forgive. Terakhir, saya akan melihat solusi untuk menghadapi ketidakpastian dan ireversibilitas tindakan, yaitu kekuatan janji dan kekuatan untuk memaafkan.
4.1 Action, Freedom, and Plurality 4.1 Aksi, Kebebasan, dan Pluralitas
Action, the only activity that goes on directly between men without the intermediary of things or matter, corresponds to the human condition of plurality … this plurality is specifically the condition — not only the conditio sine qua non , but the conditio per quam — of all political life ” (HC, 7). Aksi, satu-satunya aktivitas yang berlangsung secara langsung antara laki-laki tanpa perantara benda-benda atau materi, sesuai dengan kondisi manusia pluralitas ... pluralitas ini secara khusus kondisi - tidak hanya conditio sine qua non, tetapi conditio Quam per - dari semua politik kehidupan "(HC, 7).For Arendt, action is one of the fundamental categories of the human condition and constitutes the highest realization of the vita activa . Bagi Arendt, tindakan adalah salah satu kategori fundamental dari kondisi manusia dan merupakan realisasi tertinggi dari vita activa. Arendt analyzes the vita activa via three categories which correspond to the three fundamental activities of our being-in-the-world: labor, work, and action. Arendt menganalisis vita activa melalui tiga kategori yang sesuai dengan tiga aktivitas dasar-berada di-dalam-dunia kita: tenaga kerja, kerja, dan tindakan. Labor is the activity which is tied to the human condition of life, work the activity which is tied to the condition of worldliness, and action the activity tied to the condition of plurality. Ketenagakerjaan adalah kegiatan yang terikat dengan kondisi kehidupan manusia, pekerjaan kegiatan yang terkait dengan kondisi duniawi, dan aksi kegiatan terkait dengan kondisi pluralitas. For Arendt each activity is autonomous, in the sense of having its own distinctive principles and of being judged by different criteria. Untuk Arendt kegiatan masing-masing otonom, dalam arti memiliki prinsip sendiri khas dan dinilai oleh kriteria yang berbeda. Labor is judged by its ability to sustain human life, to cater to our biological needs of consumption and reproduction, work is judged by its ability to build and maintain a world fit for human use, and action is judged by its ability to disclose the identity of the agent, to affirm the reality of the world, and to actualize our capacity for freedom. Ketenagakerjaan dinilai dari kemampuannya untuk mempertahankan kehidupan manusia, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita konsumsi dan reproduksi, bekerja dinilai oleh kemampuan untuk membangun dan mempertahankan cocok dunia bagi manusia, dan tindakan yang dinilai oleh kemampuannya untuk mengungkapkan identitas agen, untuk menegaskan realitas dunia, dan untuk mengaktualisasikan kemampuan kita untuk kebebasan.
Although Arendt considers the three activities of labor, work and action equally necessary to a complete human life, in the sense that each contributes in its distinctive way to the realization of our human capacities, it is clear from her writings that she takes action to be the differentia specifica of human beings, that which distinguishes them from both the life of animals (who are similar to us insofar as they need to labor to sustain and reproduce themselves) and the life of the gods (with whom we share, intermittently, the activity of contemplation). Meskipun Arendt mempertimbangkan tiga aktivitas kerja, kerja sama dan tindakan yang diperlukan untuk kehidupan manusia yang lengkap, dalam arti bahwa masing-masing memberikan kontribusi dengan cara yang khas dengan realisasi kapasitas manusia, jelas dari tulisan-tulisan bahwa dia mengambil tindakan yang akan dengan spesifikasi differentia manusia, bahwa yang membedakan mereka dari kedua kehidupan binatang (yang mirip dengan kita sepanjang mereka perlu tenaga kerja untuk mempertahankan dan memperbanyak diri) dan kehidupan para dewa (dengan siapa kita berbagi, sebentar-sebentar, yang aktivitas kontemplasi). In this respect the categories of labor and work, while significant in themselves, must be seen as counterpoints to the category of action, helping to differentiate and highlight the place of action within the order of the vita activa . Dalam hal ini kategori tenaga kerja dan kerja, sedangkan signifikan dalam diri mereka, harus dilihat sebagai counterpoints ke kategori tindakan, membantu untuk membedakan dan menyorot tempat tindakan dalam urutan vita activa.
The two central features of action are freedom and plurality . Dua fitur utama dari tindakan adalah kebebasan dan pluralitas. By freedom Arendt does not mean the ability to choose among a set of possible alternatives (the freedom of choice so dear to the liberal tradition) or the faculty of liberum arbitrium which, according to Christian doctrine, was given to us by God. Dengan kebebasan Arendt bukan berarti kemampuan untuk memilih di antara satu set alternatif yang mungkin (kebebasan pilihan begitu sayang dengan tradisi liberal) atau fakultas arbitrium liberum yang menurut doktrin Kristen, diberikan kepada kita oleh Allah. Rather, by freedom Arendt means the capacity to begin, to start something new, to do the unexpected, with which all human beings are endowed by virtue of being born. Sebaliknya, dengan kebebasan Arendt berarti kapasitas untuk memulai, untuk memulai sesuatu yang baru, untuk melakukan yang tidak terduga, dengan mana semua manusia diberkahi berdasarkan dilahirkan. Action as the realization of freedom is therefore rooted in natality , in the fact that each birth represents a new beginning and the introduction of novelty in the world. Aksi sebagai perwujudan kebebasan Oleh karena itu berakar pada natalitas, dalam kenyataan bahwa setiap kelahiran merupakan permulaan baru dan pengenalan kebaruan di dunia.
To be sure, Arendt recognizes that all activities are in some way related to the phenomenon of natality, since both labor and work are necessary to create and preserve a world into which new human beings are constantly born. Yang pasti, Arendt mengakui bahwa seluruh kegiatan dalam beberapa cara terkait dengan fenomena natalitas, karena baik tenaga kerja dan pekerjaan yang diperlukan untuk menciptakan dan mempertahankan sebuah dunia di mana manusia baru terus lahir. However, of the three activities, action is the one most closely connected with natality, because by acting individuals re-enact the miracle of beginning inherent in their birth. Namun, dari tiga kegiatan, tindakan adalah yang paling erat hubungannya dengan natalitas, karena dengan bertindak individu memberlakukan kembali keajaiban awal melekat dalam kelahiran mereka. For Arendt, the beginning that each of us represents by virtue of being born is actualized every time we act, that is, every time we begin something new. Bagi Arendt, awal bahwa kita masing-masing mewakili berdasarkan dilahirkan diaktualisasikan setiap kali kita bertindak, yaitu, setiap kali kita mulai sesuatu yang baru. As she puts it: “the new beginning inherent in birth can make itself felt in the world only because the newcomer possesses the capacity of beginning something anew, that is, of acting ” (HC, 9). Ketika dia dikatakan: "permulaan baru yang melekat dalam kelahiran dapat membuat sendiri dirasakan di dunia hanya karena pendatang baru tersebut memiliki kapasitas awal sesuatu kehidupan baru, yaitu bertindak" (HC, 9).
Arendt also stresses the fact that since action as beginning is rooted in natality, since it is the actualization of freedom, it carries with it the capacity to perform miracles, that is, to introduce what is totally unexpected. Arendt juga menekankan fakta bahwa sejak aksi sebagai awal berakar di natalitas, karena ini merupakan aktualisasi dari kebebasan, itu disertai dengan kapasitas untuk melakukan mujizat, yaitu, untuk memperkenalkan apa yang benar-benar tidak terduga. “It is in the nature of beginning” — she claims — “that something new is started which cannot be expected from whatever may have happened before. "Ini adalah sifat awal" - ia mengklaim - "bahwa sesuatu yang baru dimulai yang tidak dapat diharapkan dari apa pun yang mungkin telah terjadi sebelumnya. This character of startling unexpectedness is inherent in all beginnings … The fact that man is capable of action means that the unexpected can be expected from him, that he is able to perform what is infinitely improbable. Ini karakter unexpectedness mengejutkan adalah melekat pada semua awal ... Fakta bahwa manusia mampu tindakan berarti bahwa yang tidak terduga dapat diharapkan dari dia, bahwa ia mampu melakukan apa yang tak terhingga mustahil. And this again is possible only because each man is unique, so that with each birth something uniquely new comes into the world ” (HC, 177–8). Dan ini sekali lagi hanya mungkin karena setiap orang adalah unik, sehingga dengan setiap sesuatu yang lahir unik baru datang ke dalam dunia "(HC, 177-8).
The birth of every individual is thus the promise of a new beginning: to act means to be able to disclose one's self and to do the unanticipated; and it is entirely in keeping with this conception that most of the concrete examples of action in the modern age that Arendt discusses are cases of revolutions and popular uprisings. Kelahiran setiap individu demikian janji dari awal yang baru: untuk bertindak berarti untuk dapat mengungkapkan diri sendiri dan melakukan yang tidak terduga, dan itu sepenuhnya sesuai dengan konsepsi ini bahwa sebagian besar contoh-contoh konkret tindakan dalam modern usia itu Arendt membahas kasus revolusi dan pemberontakan populer. Her claim is that “revolutions are the only political events which confront us directly and inevitably with the problem of beginning,” (OR, 21) since they represent the attempt to found a new political space, a space where freedom can appear as a worldly reality. klaim nya adalah bahwa "revolusi adalah satu-satunya peristiwa politik yang kita hadapi secara langsung dan pasti dengan masalah awal," (ATAU, 21) karena mereka merupakan upaya untuk menemukan ruang politik baru, ruang dimana kebebasan bisa muncul sebagai duniawi realitas. The favorite example for Arendt is the American Revolution, because there the act of foundation took the form of a constitution of liberty. Contoh favorit bagi Arendt adalah Revolusi Amerika, karena ada tindakan yayasan mengambil bentuk konstitusi kebebasan. Her other examples are the revolutionary clubs of the French Revolution, the Paris Commune of 1871, the creation of Soviets during the Russian Revolution, the French Resistance to Hitler in the Second World War, and the Hungarian revolt of 1956. contoh lain nya adalah klub revolusioner Revolusi Perancis, Komune Paris 1871, penciptaan Soviet selama Revolusi Rusia, Perlawanan Perancis dengan Hitler dalam Perang Dunia Kedua, dan pemberontakan Hungaria tahun 1956. In all these cases individual men and women had the courage to interrupt their routine activities, to step forward from their private lives in order to create a public space where freedom could appear, and to act in such a way that the memory of their deeds could become a source of inspiration for the future. Dalam semua kasus ini orang-orang individu dan wanita memiliki keberanian untuk mengganggu kegiatan rutin mereka, untuk langkah maju dari kehidupan pribadi mereka dalam rangka untuk menciptakan sebuah ruang publik di mana kebebasan dapat muncul, dan bertindak sedemikian rupa sehingga memori perbuatan mereka dapat menjadi sumber inspirasi bagi masa depan. In doing so, according to Arendt, they rediscovered the truth known to the ancient Greeks that action is the supreme blessing of human life, that which bestows significance to the lives of individuals. Dengan demikian, menurut Arendt, mereka menemukan kembali kebenaran diketahui oleh orang Yunani kuno bahwa tindakan adalah berkat tertinggi dari kehidupan manusia, yang menganugerahi signifikan terhadap kehidupan individu.
In the book On Revolution Arendt devotes much attention to the rediscovery of this truth by those who participated in the American Revolution. Dalam buku Pada Revolusi Arendt mencurahkan banyak perhatian pada penemuan kembali kebenaran ini oleh mereka yang berpartisipasi dalam Revolusi Amerika. In her view the Founding Fathers, although they might have pretended that they longed for private life and engaged in politics only out of a sense of duty, made clear in their letters and recollections that they had discovered unexpected delights in action and had acquired a taste for public freedom and for earning distinction among their peers. Dalam pandangannya Pendirian Bapa, meskipun mereka mungkin telah berpura-pura bahwa mereka mendambakan kehidupan pribadi dan terlibat dalam politik hanya karena rasa kewajiban, dibuat jelas dalam surat mereka dan kenangan bahwa mereka telah menemukan tak terduga senang aksi dan telah memperoleh rasa untuk kebebasan publik dan untuk mendapatkan perbedaan antara rekan-rekan mereka.
Plurality , to which we may now turn, is the other central feature of action. Pluralitas, yang sekarang kita bisa berubah, adalah fitur utama lainnya tindakan. For if to act means to take the initiative, to introduce the novum and the unexpected into the world, it also means that it is not something that can be done in isolation from others, that is, independently of the presence of a plurality of actors who from their different perspectives can judge the quality of what is being enacted. Karena jika bertindak berarti mengambil inisiatif, untuk memperkenalkan novum dan tak terduga ke dalam dunia, itu juga berarti bahwa itu bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan di isolasi dari orang lain, yaitu, terlepas dari kehadiran pluralitas aktor yang dari perspektif yang berbeda mereka bisa menilai kualitas dari apa yang sedang berlaku. In this respect action needs plurality in the same way that performance artists need an audience; without the presence and acknowledgment of others, action would cease to be a meaningful activity. Dalam hal ini tindakan kebutuhan pluralitas dengan cara yang sama yang seniman kinerja membutuhkan penonton, tanpa kehadiran dan pengakuan orang lain, tindakan akan berhenti menjadi aktivitas yang berarti. Action, to the extent that it requires appearing in public, making oneself known through words and deeds, and eliciting the consent of others, can only exist in a context defined by plurality. Tindakan, sejauh bahwa ia memerlukan muncul di depan umum, membuat diri dikenal melalui kata-kata dan perbuatan, dan eliciting persetujuan dari orang lain, hanya bisa eksis dalam konteks yang didefinisikan oleh pluralitas.
Arendt establishes the connection between action and plurality by means of an anthropological argument. Arendt menetapkan hubungan antara tindakan dan pluralitas dengan cara argumen antropologis. In her view just as life is the condition that corresponds to the activity of labor and worldliness the condition that corresponds to the activity of work, so plurality is the condition that corresponds to action. Dalam pandangannya sama seperti hidup adalah kondisi yang sesuai dengan kegiatan keduniawian tenaga kerja dan kondisi yang sesuai dengan aktivitas kerja, sehingga pluralitas adalah kondisi yang sesuai dengan tindakan. She defines plurality as “the fact that men, not Man, live on the earth and inhabit the world,” and says that it is the condition of human action “because we are all the same, that is, human, in such a way that nobody is ever the same as anyone else who ever lived, lives, or will live ” (HC, 7–8). Dia mendefinisikan pluralitas sebagai "kenyataan bahwa laki-laki, bukan Man, hidup di bumi dan menghuni dunia," dan mengatakan bahwa itu adalah kondisi tindakan manusia "karena kita semua sama, yaitu, manusia, sedemikian rupa ada yang pernah sama dengan siapa pun yang pernah hidup, kehidupan, atau akan hidup "(HC, 7-8). Plurality thus refers both to equality and distinction , to the fact that all human beings belong to the same species and are sufficiently alike to understand one another, but yet no two of them are ever interchangeable, since each of them is an individual endowed with a unique biography and perspective on the world. Pluralitas sehingga mengacu baik untuk kesetaraan dan perbedaan, dengan fakta bahwa semua manusia berasal dari spesies yang sama dan cukup sama untuk memahami satu sama lain, namun belum ada dua dari mereka yang pernah dipertukarkan, karena masing-masing dari mereka adalah perorangan diberkahi dengan biografi dan perspektif yang unik di dunia.
It is by virtue of plurality that each of us is capable of acting and relating to others in ways that are unique and distinctive, and in so doing of contributing to a network of actions and relationships that is infinitely complex and unpredictable. Hal ini berdasarkan pluralitas bahwa setiap dari kita mampu bertindak dan berhubungan dengan orang lain dengan cara yang unik dan khas, dan dengan demikian memberikan kontribusi bagi jaringan tindakan dan hubungan yang sangat kompleks dan tak terduga. This network of actions is what makes up the realm of human affairs, that space where individuals relate directly without the intermediary of things or matter — that is, through language. Jaringan tindakan adalah apa yang membentuk dunia urusan manusia, ruang dimana individu berhubungan langsung tanpa perantara benda-benda atau hal - yaitu, melalui bahasa. Let us examine briefly this connection between action and language. Mari kita periksa sebentar ini hubungan antara tindakan dan bahasa.
In The Human Condition Arendt stresses repeatedly that action is primarily symbolic in character and that the web of human relationships is sustained by communicative interaction (HC, 178–9, 184–6, 199–200). Dalam The Human Condition Arendt menekankan berulang kali bahwa tindakan terutama simbolis dalam karakter dan bahwa jaringan hubungan manusia ditopang oleh interaksi komunikatif (HC, 178-9, 184-6, 199-200). We may formulate it as follows. Action entails speech : by means of language we are able to articulate the meaning of our actions and to coordinate the actions of a plurality of agents. Kita mungkin merumuskan sebagai berikut:. Aksi memerlukan pidato dengan menggunakan bahasa kita mampu mengartikulasikan makna tindakan kita dan untuk mengkoordinasikan tindakan pluralitas agen. Conversely, speech entails action , not only in the sense that speech itself is a form of action, or that most acts are performed in the manner of speech, but in the sense that action is often the means whereby we check the sincerity of the speaker. Sebaliknya, ucapan memerlukan tindakan, tidak hanya dalam arti bahwa pidato itu sendiri adalah suatu bentuk tindakan, atau bahwa tindakan sebagian besar dilakukan dengan cara berbicara, tetapi dalam arti bahwa tindakan sering merupakan cara dimana kita mengecek ketulusan pembicara . Thus, just as action without speech runs the risk of being meaningless and would be impossible to coordinate with the actions of others, so speech without action would lack one of the means by which we may confirm the veracity of the speaker. Jadi, hanya sebagai tindakan tanpa pidato menjalankan risiko yang berarti dan tidak mungkin untuk berkoordinasi dengan tindakan orang lain, jadi berbicara tanpa tindakan akan kekurangan salah satu cara dengan mana kita bisa mengkonfirmasi kebenaran pembicara. As we shall see, this link between action and speech is central to Arendt's characterization of power, that potential which springs up between people when they act “in concert,” and which is actualized “only where word and deed have not parted company, where words are not empty and deeds not brutal, where words are not used to veil intentions but to disclose realities, and deeds are not used to violate and destroy but to establish relations and create new realities ” (HC, 200). Seperti yang akan kita lihat, ini hubungan antara tindakan dan pidato merupakan pusat karakterisasi Arendt kekuasaan, bahwa potensi yang mata air di antara orang-orang ketika mereka bertindak "dalam konser," dan yang diaktualisasikan "hanya di mana kata dan perbuatan tidak berpisah, dimana kata-kata tidak kosong dan perbuatan tidak brutal, dimana kata-kata tidak digunakan untuk menutupi niat tapi untuk mengungkapkan realitas, dan perbuatan tidak digunakan untuk melanggar dan menghancurkan melainkan untuk membangun hubungan dan menciptakan realitas baru "(HC, 200).
4.2 Action and Speech as Disclosure 4.2 Tindakan dan Ucapan sebagai Pengungkapan
Let us now turn to an examination of the disclosing power of action and speech. Mari kita sekarang beralih ke pemeriksaan kekuatan mengungkapkan tindakan dan pidato. In the opening section of the chapter on action in The Human Condition Arendt discusses one of its central functions, namely, the disclosure of the identity of the agent. Dalam bagian pembukaan bab tentang tindakan dalam The Human Condition Arendt membahas salah satu fungsi utama, yaitu, pengungkapan identitas agen. In action and speech, she maintains, individuals reveal themselves as the unique individuals they are, disclose to the world their distinct personalities. Dalam tindakan dan pidato, dia bersikeras, individu mengungkapkan diri mereka sebagai individu yang unik mereka, mengungkapkan kepada dunia kepribadian mereka yang berbeda. In terms of Arendt's distinction, they reveal “who” they are as distinct to “what” they are — the latter referring to individual abilities and talents, as well as deficiencies and shortcomings, which are traits all human beings share. Dalam hal perbedaan Arendt, mereka mengungkapkan "siapa" mereka sebagai yang berbeda untuk "apa" mereka - yang terakhir mengacu pada kemampuan individu dan bakat, serta kekurangan dan kekurangan, yang berbagi ciri-ciri semua manusia. Neither labor nor work enable individuals to disclose their identities, to reveal “who” they are as distinct from “what” they are. Baik buruh maupun bekerja memungkinkan individu untuk mengungkapkan identitas mereka, untuk mengungkapkan "siapa" mereka sebagai berbeda dari "apa" mereka. In labor the individuality of each person is submerged by being bound to a chain of natural necessities, to the constraints imposed by biological survival. Dalam kerja individualitas setiap orang terendam dengan menjadi terikat rantai kebutuhan alami, dengan kendala yang dipaksakan oleh bertahan hidup biologis. When we engage in labor we can only show our sameness, the fact that we all belong to the human species and must attend to the needs of our bodies. Ketika kita terlibat dalam tenaga kerja kita hanya dapat menunjukkan kesamaan kita, fakta bahwa kita semua berasal dari spesies manusia dan harus memperhatikan kebutuhan tubuh kita. In this sphere we do indeed “behave,” “perform roles,” and “fulfill functions,” since we all obey the same imperatives. Dalam bidang ini kita memang "berperilaku," "menjalankan peran," dan "memenuhi fungsi," karena kita semua mematuhi imperatif yang sama. In work there is more scope for individuality, in that each work of art or production bears the mark of its maker; but the maker is still subordinate to the end product, both in the sense of being guided by a model, and in the sense that the product will generally outlast the maker. Dalam pekerjaan ada lingkup yang lebih bagi individualitas, dalam setiap karya seni atau produksi dikenakan tanda pembuatnya, tetapi pembuatnya masih bawahan produk akhir, baik dalam arti yang dipandu oleh model, dan dalam arti bahwa produk tersebut umumnya akan hidup lebih lama dr pembuatnya. Moreover, the end product reveals little about the maker except the fact that he or she was able to make it. Selain itu, produk akhir mengungkapkan sedikit tentang pembuat kecuali fakta bahwa ia bisa membuatnya. It does not tell us who the creator was, only that he or she had certain abilities and talents. Ini tidak memberitahu kami siapa pencipta itu, hanya bahwa ia memiliki kemampuan tertentu dan bakat. It is thus only in action and speech, in interacting with others through words and deeds, that individuals reveal who they personally are and can affirm their unique identities. Dengan demikian hanya dalam tindakan dan pidato, dalam berinteraksi dengan orang lain melalui kata-kata dan perbuatan, bahwa individu-individu mengungkapkan siapa mereka secara pribadi yang dan dapat menegaskan identitas mereka yang unik. Action and speech are in this sense very closely related because both contain the answer to the question asked of every newcomer: “Who are you?” This disclosure of the “who” is made possible by both deeds and words, but of the two it is speech that has the closest affinity to revelation. Tindakan dan pidato dalam pengertian ini sangat erat kaitannya karena keduanya mengandung jawaban atas pertanyaan yang diajukan dari setiap pendatang baru: "? Siapa kau" Ini pengungkapan dari "yang" ini dimungkinkan oleh perbuatan dan kata-kata, tetapi dari dua itu adalah pidato yang memiliki afinitas yang paling dekat dengan wahyu. Without the accompaniment of speech, action would lose its revelatory quality and could no longer be identified with an agent. Tanpa iringan ucapan, tindakan akan kehilangan kualitas pewahyuan dan tidak bisa lagi diidentifikasi dengan agen. It would lack, as it were, the conditions of ascription of agency. Ini akan kekurangan, seolah-olah, kondisi anggapan badan.4.3 Action, Narrative, and Remembrance 4.3 Aksi, Narasi, dan Peringatan
We have seen, then, how through action and speech individuals are able to disclose their identities, to reveal their specific uniqueness — their who — as distinct from their personal abilities and talents — their what . Kita telah melihat, maka, bagaimana melalui tindakan dan ucapan orang mampu mengungkapkan identitas mereka, untuk mengungkapkan keunikan khusus mereka - mereka yang - sebagai berbeda dari kemampuan dan bakat pribadi mereka - mereka apa. However, while engaging in speech and action individuals can never be sure what kind of self they will reveal. Namun, saat terlibat dalam ucapan dan tindakan individu tidak pernah bisa yakin apa yang akan mengungkapkan diri mereka. Only retrospectively, that is, only through the stories that will arise from their deeds and performances, will their identity become fully manifest. Hanya retrospektif, yaitu, hanya melalui cerita-cerita yang akan timbul dari perbuatan mereka dan pertunjukan, akan identitas mereka menjadi nyata sepenuhnya. The function of the storyteller is thus crucial not only for the preservation of the doings and sayings of actors, but also for the full disclosure of the identity of the actor. Fungsi pendongeng demikian penting tidak hanya untuk pelestarian perbuatan dan perkataan pelaku, tetapi juga untuk pengungkapan penuh dari identitas aktor. The narratives of a storyteller, Arendt claims, “tell us more about their subjects, the 'hero' in the center of each story, than any product of human hands ever tells us about the master who produced it” (HC, 184). Kisah-kisah dari pendongeng, Arendt klaim, "ceritakan lebih lanjut tentang subyek mereka, 'pahlawan' di pusat setiap cerita, dibandingkan produk dari tangan manusia pernah memberitahu kita tentang master yang menghasilkan itu" (HC, 184). Without a Plato to tell us who Socrates was, what his conversations with fellow Athenian citizens were like, without a Thucydides to set down Pericles' Funeral Speech and refashion it in his powerful and dramatic style, we would not have known what made Socrates and Pericles such outstanding personalities, nor would the reason for their uniqueness have been made fully manifest. Tanpa Plato untuk memberitahu kami siapa Socrates, apa percakapan dengan warga Athena sesama seperti, tanpa Thucydides untuk mengatur bawah Pericles 'Pemakaman Pidato dan refashion itu dalam gaya kuat dan dramatis, kita tidak akan tahu apa yang dilakukan Socrates dan Pericles kepribadian yang beredar tersebut, juga tidak akan alasan keunikan mereka telah dibuat sepenuhnya nyata. Indeed, it is one of Arendt's most important claims that the meaning of action itself is dependent upon the articulation retrospectively given to it by historians and narrators. Memang, ini adalah salah satu klaim Arendt yang paling penting bahwa makna tindakan itu sendiri adalah tergantung pada artikulasi retrospektif yang diberikan kepadanya oleh sejarawan dan narrator.Storytelling, or the weaving of a narrative out of the actions and pronouncements of individuals, is partly constitutive of their meaning, because it enables the retrospective articulation of their significance and import, both for the actors themselves and for the spectators. Mendongeng, atau menenun narasi dari tindakan dan pernyataan individu, sebagian konstitutif makna mereka, karena memungkinkan artikulasi retrospektif signifikansi mereka dan impor, baik bagi pelaku dirinya dan bagi para penonton. Being absorbed by their immediate aims and concerns, not aware of the full implications of their actions, actors are often not in a position to assess the true significance of their doings, or to be fully aware of their own motives and intentions. Menjadi diserap oleh tujuan langsung dan keprihatinan mereka, tidak menyadari implikasi penuh dari tindakan mereka, aktor yang sering tidak dalam posisi untuk menilai arti sebenarnya dari perbuatan mereka, atau menyadari sepenuhnya motif mereka sendiri dan niat. Only when action has run a certain course, and its relationship to other actions has unfolded, can its significance be made fully manifest and be embodied in a narrative, whether of poets or historians. Hanya jika tindakan telah menjalankan program tertentu, dan hubungannya dengan tindakan lain telah dilipat, dapat signifikansinya dibuat sepenuhnya nyata dan diwujudkan dalam narasi, apakah penyair atau sejarawan. The fact that this narrative is temporally deferred, that it is at some distance from the events it describes, is one of the reasons why it can provide further insight into the motives and aims of the actors. Fakta bahwa cerita ini adalah temporal ditangguhkan, yang berada pada jarak tertentu dari peristiwa itu menggambarkan, merupakan salah satu alasan mengapa hal itu dapat memberikan wawasan lebih jauh ke dalam motif dan tujuan pelaku.
Narratives can thus provide a measure of truthfulness and a greater degree of significance to the actions of individuals. Narasi sehingga dapat memberikan ukuran kebenaran dan tingkat yang lebih besar penting untuk tindakan individu. But they also preserve the memory of deeds through time, and in so doing, they enable these deeds to become sources of inspiration for the future, that is, models to be imitated, and, if possible, surpassed. Tetapi mereka juga melestarikan memori perbuatan melalui waktu, dan dengan demikian, mereka memungkinkan perbuatan ini menjadi sumber inspirasi bagi masa depan, yaitu, model yang akan ditiru, dan, jika mungkin, melampaui. One of the principal drawbacks of action, Arendt maintains, is to be extremely fragile, to be subject to the erosion of time and to forgetfulness; unlike the products of the activity of work, which acquire a measure of permanence by virtue of their sheer facticity, deeds and words do not survive their enactment unless they are remembered. Salah satu kelemahan utama tindakan, Arendt memelihara, adalah sangat rapuh, untuk tunduk pada erosi waktu dan kelupaan, tidak seperti produk-produk aktivitas kerja, yang memperoleh ukuran keabadian berdasarkan faktisitas mereka semata-mata , perbuatan dan kata-kata tidak bertahan ditetapkannya mereka kecuali mereka ingat. Remembrance alone, the retelling of deeds as stories, can save the lives and deeds of actors from oblivion and futility. Ingatan saja, menceritakan kembali perbuatan seperti cerita, dapat menyelamatkan nyawa dan perbuatan pelaku dari pelupaan dan kesia-siaan. And it is precisely for this reason, Arendt points out, that the Greeks valued poetry and history so highly, because they rescued the glorious (as well as the less glorious) deeds of the past for the benefit of future generations (HC, 192 ff; BPF, 63–75). Dan justru karena alasan ini, Arendt menunjukkan, bahwa Yunani dihargai puisi dan sejarah begitu tinggi, karena mereka menyelamatkan (serta kurang mulia) perbuatan mulia dari masa lalu untuk kepentingan generasi mendatang (HC, 192 ff ; BPF, 63-75). It was the poet's and the historian's political function to preserve the memory of past actions and to make them a source of instruction for the future. Itu adalah penyair dan fungsi politik sejarawan untuk melestarikan memori tindakan masa lalu dan membuat mereka sumber instruksi untuk masa depan. Homer was known as the “educator of Hellas,” since he immortalized for all those who came after him the events of the Trojan War; Thucydides, in his History of the Peloponnesian War , told a story of human ambition and folly, of courage and unchecked greed, of ruthless struggle and inevitable defeat. Homer dikenal sebagai "pendidik Hellas," karena ia diabadikan bagi semua orang yang datang setelah dia peristiwa Perang Troya, Thucydides, dalam Sejarah tentang Perang Peloponnesia, menceritakan sebuah kisah dari ambisi manusia dan kebodohan, keberanian dan dicentang keserakahan, perjuangan kejam dan kekalahan tak terelakkan. In their work the past became a repository of instruction, of actions to be emulated as well as deeds to be shunned. Dalam pekerjaan mereka masa lalu menjadi repositori instruksi, tindakan yang harus ditiru serta perbuatan untuk dijauhi. Through their narratives the fragility and perishability of human action was overcome and made to outlast the lives of their doers and the limited life-span of their contemporaries. Melalui narasi mereka kerapuhan dan perishability tindakan manusia diatasi dan dibuat untuk hidup lebih lama dr pelaku kehidupan mereka dan kehidupan span-terbatas sezaman mereka.
However, to be preserved, such narratives needed in turn an audience, that is, a community of hearers who became the transmitters of the deeds that had been immortalized. Namun, harus dipertahankan, narasi tersebut diperlukan pada gilirannya penonton, yaitu, sebuah komunitas pendengar yang menjadi pemancar dari perbuatan yang telah diabadikan. As Sheldon Wolin has aptly put it, “audience is a metaphor for the political community whose nature is to be a community of remembrance” (Wolin 1977, 97). Sebagai Sheldon Wolin telah tepat mengatakan, "adalah penonton metafora bagi masyarakat politik yang bersifat untuk menjadi komunitas peringatan" (Wolin 1977, 97). In other words, behind the actor stands the storyteller, but behind the storyteller stands a community of memory . Dengan kata lain, di belakang aktor berdiri pendongeng, tapi di belakang pendongeng berdiri sebuah komunitas memori.
It was one of the primary functions of the polis to be precisely such a community, to preserve the words and deeds of its citizens from oblivion and the ravages of time, and thereby to leave a testament for future generations. Itu adalah salah satu fungsi utama dari polis yang akan tepat seperti komunitas, untuk melestarikan kata-kata dan perbuatan warga negaranya dari terlupakan dan kerusakan akibat waktu, dan dengan demikian untuk meninggalkan wasiat untuk generasi mendatang. The Greek polis , beyond making possible the sharing of words and deeds and multiplying the occasions to win immortal fame, was meant to remedy the frailty of human affairs. Polis Yunani, di luar yang memungkinkan berbagi kata dan perbuatan dan mengalikan kesempatan untuk menang ketenaran abadi, dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan urusan manusia. It did this by establishing a framework where action and speech could be recorded and transformed into stories, where every citizen could be a witness and thereby a potential narrator. Ia melakukan hal ini dengan membentuk sebuah kerangka di mana tindakan dan pidato bisa dicatat dan ditransformasikan ke dalam cerita, di mana setiap warga negara bisa menjadi saksi dan dengan demikian menjadi narator potensial. What the polis established, then, was a space where organized remembrance could take place, and where, as a result, the mortality of actors and the fragility of human deeds could be partially overcome. Apa polis didirikan, kemudian, adalah sebuah ruang tempat diselenggarakan peringatan bisa berlangsung, dan di mana, sebagai akibatnya, kematian aktor dan kerapuhan dari perbuatan manusia dapat sebagian diatasi.
4.4 Action, Power, and the Space of Appearance 4.4 Aksi, Power, dan Ruang Penampilan
The metaphor of the polis recurs constantly in the writings of Arendt, and I say metaphor because in employing this term Arendt is not simply referring to the political institutions of the Greek city-states, bounded as they were to their time and circumstance, but to all those instances in history where a public realm of action and speech was set up among a community of free and equal citizens. Metafora dari polis yang berulang terus-menerus dalam tulisan-tulisan Arendt, dan saya katakan metafora karena dalam mempekerjakan ini istilah Arendt tidak hanya mengacu pada lembaga-lembaga politik negara-kota Yunani, dibatasi karena mereka adalah untuk waktu dan keadaan, tetapi semua contoh-contoh dalam sejarah dimana wilayah publik tindakan dan pidato didirikan di antara komunitas warga bebas dan setara. “The polis , properly speaking, is not the city-state in its physical location; it is the organization of the people as it arises out of acting and speaking together, and its true space lies between people living together for this purpose, no matter where they happen to be” (HC, 198). "The polis, baik berbicara, bukan kota-negara di lokasi fisiknya, itu adalah organisasi orang-orang seperti itu muncul dari bertindak dan berbicara bersama-sama, dan ruang yang sebenarnya berada di antara orang-orang yang hidup bersama untuk tujuan ini, tidak peduli di mana mereka berada "(HC, 198). Thus the famous motto: “Wherever you go, you will be a polis ” expressed the conviction among the Greek colonists that the kind of political association they had set up originally could be reproduced in their new settlements, that the space created by the “sharing of words and deeds” could find its proper location almost anywhere. Dengan demikian motto yang terkenal: "Di mana pun Anda pergi, Anda akan menjadi polis" mengungkapkan keyakinan di antara kolonis Yunani bahwa jenis hubungan politik yang mereka telah mendirikan awalnya bisa direproduksi di pemukiman baru mereka, ruang yang diciptakan oleh "berbagi kata-kata dan perbuatan "bisa menemukan lokasi yang tepat hampir di mana saja.For Arendt, therefore, the polis stands for the space of appearance , for that space “where I appear to others as others appear to me, where men exist not merely like other living or inanimate things, but to make their appearance explicitly.” Such public space of appearance can be always recreated anew wherever individuals gather together politically, that is, “wherever men are together in the manner of speech and action” (HC, 198–9). Bagi Arendt, oleh karena itu, polis berdiri untuk ruang tampilan, untuk itu ruang "di mana saya muncul kepada orang lain yang lain muncul kepada saya, dimana laki-laki eksis tidak hanya seperti hidup lainnya atau benda mati, tetapi untuk membuat tampilan mereka secara eksplisit." Tersebut ruang publik penampilan dapat selalu diciptakan dimanapun individu baru berkumpul politis, yaitu, "di mana pun laki-laki bersama-sama dengan cara berbicara dan tindakan" (HC, 198-9). However, since it is a creation of action, this space of appearance is highly fragile and exists only when actualized through the performance of deeds or the utterance of words. Namun, karena merupakan tindakan penciptaan, ruang penampilan sangat rapuh dan hanya ada ketika diwujudkan melalui kinerja perbuatan atau ucapan kata-kata. Its peculiarity, as Arendt says, is that “unlike the spaces which are the work of our hands, it does not survive the actuality of the movement which brought it into being, but disappears not only with the dispersal of men — as in the case of great catastrophes when the body politic of a people is destroyed — but with the disappearance or arrest of the activities themselves. keganjilan Its, sebagai Arendt mengatakan, adalah bahwa "tidak seperti ruang yang merupakan karya tangan kita, itu tidak bertahan aktualitas gerakan yang membawanya menjadi ada, namun hilang tidak hanya dengan penyebaran laki-laki - seperti dalam kasus dari bencana besar ketika tubuh politik suatu bangsa hancur - tetapi dengan hilangnya atau penangkapan kegiatan sendiri. Wherever people gather together, it is potentially there, but only potentially, not necessarily and not forever” (HC, 199). Dimanapun orang berkumpul bersama-sama, itu berpotensi ada, tapi hanya berpotensi, belum tentu dan tidak selamanya "(HC, 199).
The space of appearance must be continually recreated by action; its existence is secured whenever actors gather together for the purpose of discussing and deliberating about matters of public concern, and it disappears the moment these activities cease. Ruang penampilan harus terus menerus diciptakan oleh tindakan; keberadaannya dijamin apabila aktor berkumpul bersama untuk tujuan membahas dan berunding tentang masalah yang menjadi perhatian publik, dan menghilang saat kegiatan tersebut berhenti. It is always a potential space that finds its actualization in the actions and speeches of individuals who have come together to undertake some common project. Ini selalu merupakan ruang potensial yang menemukan aktualisasi dalam tindakan dan pidato individu yang datang bersama untuk melakukan beberapa proyek umum. It may arise suddenly, as in the case of revolutions, or it may develop slowly out of the efforts to change some specific piece of legislation or policy. Ini mungkin timbul tiba-tiba, seperti dalam kasus revolusi, atau mungkin berkembang perlahan-lahan keluar dari upaya untuk mengubah beberapa bagian tertentu dari undang-undang atau kebijakan. Historically, it has been recreated whenever public spaces of action and deliberation have been set up, from town hall meetings to workers' councils, from demonstrations and sit-ins to struggles for justice and equal rights. Secara historis, telah diciptakan ruang publik setiap kali tindakan dan musyawarah telah diatur, dari pertemuan balai kota kepada dewan-dewan pekerja, dari demonstrasi dan duduk-in untuk perjuangan untuk keadilan dan hak yang sama.
This capacity to act in concert for a public-political purpose is what Arendt calls power . Kapasitas ini untuk bertindak dalam konser-politik untuk kepentingan umum adalah apa Arendt panggilan kekuasaan. Power needs to be distinguished from strength, force, and violence (CR, 143–55). Power harus dibedakan dari kekuatan, gaya, dan kekerasan (CR, 143-55). Unlike strength, it is not the property of an individual, but of a plurality of actors joining together for some common political purpose. Tidak seperti kekuatan, itu bukan milik individu, melainkan pluralitas aktor bergabung bersama untuk suatu tujuan politik bersama. Unlike force, it is not a natural phenomenon but a human creation, the outcome of collective engagement. Tidak seperti gaya, ini bukan fenomena alam tapi ciptaan manusia, hasil dari keterlibatan kolektif. And unlike violence, it is based not on coercion but on consent and rational persuasion. Dan tidak seperti kekerasan, itu didasarkan bukan pada pemaksaan tetapi pada persetujuan dan persuasi rasional.
For Arendt, power is a sui generis phenomenon, since it is a product of action and rests entirely on persuasion. Untuk Arendt, kekuasaan adalah fenomena sui generis, karena merupakan produk dari aksi dan bertumpu sepenuhnya pada persuasi. It is a product of action because it arises out of the concerted activities of a plurality of agents, and it rests on persuasion because it consists in the ability to secure the consent of others through unconstrained discussion and debate. Ini adalah produk dari aksi karena muncul dari kegiatan bersama dari pluralitas agen, dan ia bersandar pada persuasi karena terdiri dalam kemampuan untuk mengamankan persetujuan orang lain melalui diskusi dan perdebatan tak terbatas. Its only limitation is the existence of other people, but this limitation, she notes, “is not accidental, because human power corresponds to the condition of plurality to begin with” (HC, 201). satunya batasan adalah keberadaan orang lain, tapi keterbatasan ini, ia mencatat, "tidak disengaja, karena kekuatan manusia sesuai dengan kondisi pluralitas untuk memulai dengan" (HC, 201). It is actualized in all those cases where action is undertaken for communicative (rather than strategic or instrumental) purposes, and where speech is employed to disclose our intentions and to articulate our motives to others. Hal ini diwujudkan dalam semua kasus dimana tindakan dilakukan untuk komunikatif (bukan strategis atau instrumental) tujuan, dan di mana pidato digunakan untuk mengungkapkan maksud kita dan untuk mengartikulasikan motif kita kepada orang lain.
Arendt maintains that the legitimacy of power is derived from the initial getting together of people, that is, from the original pact of association that establishes a political community, and is reaffirmed whenever individuals act in concert through the medium of speech and persuasion. Arendt berpendapat bahwa legitimasi kekuasaan berasal dari awal berkumpul orang, yaitu, dari perjanjian asli dari asosiasi yang membentuk komunitas politik, dan ditegaskan kembali ketika individu bertindak bersama melalui media berbicara dan persuasi. For her “power needs no justification, being inherent in the very existence of political communities; what it does need is legitimacy ... Untuk "kekuatannya tidak perlu pembenaran, yang melekat pada keberadaan masyarakat politik; apa yang dilakukan butuhkan adalah legitimasi ... Power springs up whenever people get together and act in concert, but it derives its legitimacy from the initial getting together rather than from any action that then may follow” (CR, 151). Power terlepas setiap kali orang berkumpul dan bertindak bersama, tetapi berasal legitimasi dari awal berkumpul bukan dari tindakan yang kemudian dapat mengikuti "(CR, 151).
Beyond appealing to the past, power also relies for its continued legitimacy on the rationally binding commitments that arise out of a process of free and undistorted communication. Beyond menarik ke masa lalu, kekuasaan juga mengandalkan untuk legitimasi lanjutan terhadap rasional komitmen mengikat yang timbul dari suatu proses komunikasi bebas dan tanpa distorsi. Because of this, power is highly independent of material factors: it is sustained not by economic, bureaucratic or military means, but by the power of common convictions that result from a process of fair and unconstrained deliberation. Karena itu, kekuatan sangat independen dari faktor bahan: itu tidak ditopang dengan cara ekonomi, birokrasi atau militer, tetapi dengan kekuatan keyakinan umum bahwa hasil dari proses pertimbangan yang adil dan tak terbatas.
Power is also not something that can be relied upon at all times or accumulated and stored for future use. Power juga bukan sesuatu yang bisa diandalkan setiap saat atau akumulasi dan disimpan untuk digunakan di masa depan. Rather, it exists only as a potential which is actualized when actors gather together for political action and public deliberation. Sebaliknya, hanya ada sebagai potensi yang diaktualisasikan ketika aktor berkumpul bersama untuk aksi politik dan musyawarah publik. It is thus closely connected to the space of appearance, that public space which arises out of the actions and speeches of individuals. Hal ini demikian erat dihubungkan dengan ruang penampilan, bahwa ruang publik yang muncul dari tindakan dan pidato individu. Indeed, for Arendt, “power is what keeps the public realm, the potential space of appearance between acting and speaking men, in existence.” Like the space of appearance, power is always “a power potential and not an unchangeable, measurable and reliable entity like force or strength … [it] springs up between men when they act together and vanishes the moment they disperse” (HC, 200). Memang, bagi Arendt, "kekuatan adalah apa yang membuat wilayah publik, ruang potensi penampakan antara bertindak dan berbicara laki-laki, ada." Seperti ruang penampilan, kekuasaan selalu "kekuatan potensi dan bukan tak berubah, terukur dan dapat diandalkan badan seperti gaya atau kekuatan ... [itu] mata air di antara laki-laki ketika mereka bertindak bersama dan lenyap saat mereka bubar "(HC, 200).
Power, then, lies at the basis of every political community and is the expression of a potential that is always available to actors. Power, kemudian, terletak pada dasar dari setiap masyarakat politik dan merupakan ekspresi dari potensi yang selalu tersedia untuk aktor. It is also the source of legitimacy of political and governmental institutions, the means whereby they are transformed and adapted to new circumstances and made to respond to the opinions and needs of the citizens. Itu juga merupakan sumber legitimasi lembaga-lembaga politik dan pemerintahan, sarana dimana mereka berubah dan disesuaikan dengan keadaan baru dan dibuat untuk menanggapi pendapat dan kebutuhan warga. “It is the people's support that lends power to the institutions of a country, and this support is but the continuation of the consent that brought the laws into existence to begin with … All political institutions are manifestations and materializations of power; they petrify and decay as soon as the living power of the people ceases to uphold them” (CR, 140). "Ini adalah dukungan rakyat yang meminjamkan kekuatan untuk lembaga-lembaga negara, dan dukungan ini tetapi kelanjutan dari persetujuan yang membawa hukum menjadi ada untuk mulai dengan ... Semua lembaga politik adalah manifestasi dan materializations kekuasaan, mereka batu dan pembusukan secepat daya hidup masyarakat berhenti untuk menegakkan mereka "(CR, 140).
The legitimacy of political institutions is dependent on the power, that is, the active consent of the people; and insofar as governments may be viewed as attempts to preserve power for future generations by institutionalizing it, they require for their vitality the continuing support and active involvement of all citizens. Legitimasi institusi politik tergantung pada daya, yaitu persetujuan aktif masyarakat, dan sejauh pemerintah dapat dilihat sebagai upaya untuk menjaga listrik untuk generasi mendatang dengan pelembagaan itu, mereka memerlukan untuk vitalitas mereka atas dukungan dan aktif keterlibatan semua warga negara.
4.5 Action, Unpredictability, and Irreversibility 4,5 Action, ketidakpastian, dan ireversibilitas
My discussion so far of Arendt's theory of action has stressed a number of features, chief among which is action's capacity to disclose the identity of the agent, to enable freedom to appear and be actualized as a worldly reality, to create and sustain a public space of appearance, and to make possible the generation of power. Diskusi saya sejauh teori Arendt tindakan telah menekankan sejumlah fitur, kepala di antara yang kapasitas tindakan untuk mengungkapkan identitas dari agen, untuk memungkinkan kebebasan untuk muncul dan diwujudkan sebagai suatu realitas duniawi, untuk menciptakan dan mempertahankan ruang publik penampilan, dan untuk memungkinkan generasi kekuasaan. I have also emphasized the importance of narrative and remembrance, of the retrospective articulation of the meaning of action by means of storytelling and its preservation through a community of memory. Saya juga menekankan pentingnya naratif dan mengingat, artikulasi retrospektif tentang makna tindakan dengan cara mendongeng dan pelestarian melalui komunitas memori. In conclusion, I would like to examine two other features of action, namely, unpredictability and irreversibility , and their respective remedies, the power of promise and the power to forgive. Sebagai kesimpulan, saya ingin memeriksa dua fitur lain tindakan,, yaitu ketidakpastian dan ireversibilitas, dan pengobatan masing-masing, kekuatan janji dan kekuatan untuk memaafkan.Action is unpredictable because it is a manifestation of freedom, of the capacity to innovate and to alter situations by engaging in them; but also, and primarily, because it takes place within the web of human relationships, within a context defined by plurality, so that no actor can control its final outcome. Aksi ini tidak terduga karena merupakan manifestasi dari kebebasan, kapasitas untuk berinovasi dan untuk mengubah situasi dengan melibatkan di dalamnya, tetapi juga, dan terutama, karena itu terjadi dalam jaringan hubungan manusia, dalam konteks yang didefinisikan oleh pluralitas, sehingga bahwa aktor tidak dapat mengontrol hasil akhir. Each actor sets off processes and enters into the inextricable web of actions and events to which all other actors also contribute, with the result that the outcome can never be predicted from the intentions of any particular actor. Setiap aktor set off proses dan masuk ke dalam web inextricable tindakan dan peristiwa yang semua aktor lain juga berkontribusi, dengan hasil bahwa hasilnya tidak dapat diprediksi dari niat dari setiap aktor tertentu. The open and unpredictable nature of action is a consequence of human freedom and plurality: by acting we are free to start processes and bring about new events, but no actor has the power to control the consequences of his or her deeds. Sifat terbuka dan tidak terduga tindakan merupakan konsekuensi dari kebebasan manusia dan pluralitas: dengan bertindak kita bebas untuk memulai proses dan membawa peristiwa tentang baru, tapi aktor tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan konsekuensi dari perbuatan nya.
Another and related reason for the unpredictability of action is that its consequences are boundless: every act sets in motion an unlimited number of actions and reactions which have literally no end. Lain dan terkait alasan untuk menghadapi ketidakpastian tindakan adalah bahwa konsekuensinya adalah tak terbatas: setiap tindakan digerakkan jumlah yang tidak terbatas aksi dan reaksi yang harfiah akhir. As Arendt puts it: “The reason why we are never able to foretell with certainty the outcome and end of any action is simply that action has no end” (HC, 233). Sebagai Arendt dikatakan: "Alasan mengapa kita tidak pernah bisa meramalkan dengan pasti hasil dan akhir setiap tindakan hanya tindakan yang tidak memiliki akhir" (HC, 233). This is because action “though it may proceed from nowhere, so to speak, acts into a medium where every action becomes a chain reaction and where every process is the cause of new processes … the smallest act in the most limited circumstances bears the seed of the same boundlessness, because one deed, and sometimes one word, suffices to change every constellation” (HC, 190). Hal ini karena tindakan "meskipun mungkin dilanjutkan entah dari mana, sehingga untuk berbicara, bertindak menjadi media dimana setiap tindakan menjadi reaksi berantai dan di mana setiap proses adalah penyebab dari proses-proses baru ... tindakan terkecil dalam kondisi yang paling terbatas menanggung benih yang boundlessness yang sama, karena satu perbuatan, dan kadang-kadang satu kata, cukup untuk mengubah konstelasi setiap "(HC, 190).
Closely connected to the boundlessness and unpredictability of action is its irreversibility. Erat hubungannya dengan boundlessness dan ketidakpastian tindakan adalah ireversibilitas nya. Every action sets off processes which cannot be undone or retrieved in the way, say, we are able to undo a faulty product of our hands. Setiap tindakan set off proses yang tidak dapat dibatalkan atau diambil di jalan, katakanlah, kami dapat membatalkan produk cacat dari tangan kami. If one builds an artifact and is not satisfied with it, it can always be destroyed and recreated again. Jika seseorang membangun artefak dan tidak puas dengan hal itu, selalu dapat dimusnahkan dan diciptakan kembali lagi. This is impossible where action is concerned, because action always takes place within an already existing web of human relationships, where every action becomes a reaction, every deed a source of future deeds, and none of these can be stopped or subsequently undone. Ini tidak mungkin di mana tindakan yang bersangkutan, karena tindakan selalu terjadi dalam suatu web yang sudah ada hubungan manusia, di mana setiap tindakan menjadi reaksi, setiap perbuatan sumber perbuatan masa depan, dan tidak ada ini bisa dihentikan atau yang kemudian dibatalkan. The consequences of each act are thus not only unpredictable but also irreversible; the processes started by action can neither be controlled nor be reversed. Konsekuensi dari tindakan masing-masing sehingga tidak hanya tak terduga, tetapi juga tidak dapat diubah, proses dimulai oleh tindakan tidak dapat dikendalikan atau dibalik.
The remedy which the tradition of Western thought has proposed for the unpredictability and irreversibility of action has consisted in abstaining from action altogether, in the withdrawal from the sphere of interaction with others, in the hope that one's freedom and integrity could thereby be preserved. Obat yang tradisi pemikiran Barat telah mengusulkan untuk menghadapi ketidakpastian dan tidak berbaliknya aksi ini terdiri dalam berpantang dari tindakan sama sekali, dalam penarikan dari lingkup interaksi dengan orang lain, dengan harapan bahwa kebebasan seseorang dan integritas sehingga bisa dipertahankan. Platonism, Stoicism and Christianity elevated the sphere of contemplation above the sphere of action, precisely because in the former one could be free from the entanglements and frustrations of action. Platonisme, Stoicisme dan Kristen mengangkat lingkup kontemplasi di atas wilayah tindakan, justru karena dalam satu bekas bisa bebas dari ikatan dan frustrasi tindakan. Arendt's proposal, by contrast, is not to turn one's back on the realm of human affairs, but to rely on two faculties inherent in action itself, the faculty of forgiving and the faculty of promising . Arendt's proposal, sebaliknya, tidak untuk mengubah seseorang kembali pada alam urusan manusia, tetapi untuk mengandalkan dua fakultas yang melekat dalam tindakan itu sendiri, fakultas pemaaf dan fakultas menjanjikan. These two faculties are closely connected, the former mitigating the irreversibility of action by absolving the actor from the unintended consequences of his or her deeds, the latter moderating the uncertainty of its outcome by binding actors to certain courses of action and thereby setting some limit to the unpredictability of the future. Kedua fakultas ini berhubungan erat, yang pertama mengurangi ireversibilitas tindakan oleh absolving aktor dari konsekuensi yang tidak diinginkan dari perbuatan nya, yang terakhir moderating ketidakpastian hasil yang dicapai oleh para pelaku mengikat program tertentu tindakan dan dengan demikian penetapan limit beberapa menghadapi ketidakpastian masa depan. Both faculties are, in this respect, connected to temporality : from the standpoint of the present forgiving looks backward to what has happened and absolves the actor from what was unintentionally done, while promising looks forward as it seeks to establish islands of security in an otherwise uncertain and unpredictable future. Kedua fakultas tersebut, dalam hal ini, tersambung ke temporalitas: dari sudut pandang terlihat pemaaf ini mundur dengan apa yang terjadi dan membebaskan pelaku dari apa yang tidak sengaja dilakukan, sementara menjanjikan tampak depan seperti berusaha untuk membangun pulau-pulau keamanan dalam dinyatakan pasti dan tak terduga di masa depan.
Forgiving enables us to come to terms with the past and liberates us to some extent from the burden of irreversibility; promising allows us to face the future and to set some bounds to its unpredictability. Mengampuni memungkinkan kita untuk berdamai dengan masa lalu dan membebaskan kita sampai batas tertentu dari beban ireversibilitas; menjanjikan memungkinkan kita untuk menghadapi masa depan dan untuk mengatur beberapa batas ketidakstabilan tersebut. As Arendt puts it: “Without being forgiven, released from the consequences of what we have done, our capacity to act would, as it were, be confined to one single deed from which we could never recover; we would remain the victims of its consequences forever.” On the other hand, “without being bound to the fulfillment of promises, we would never be able to keep our identities; we would be condemned to wander helplessly and without direction in the darkness of each man's lonely heart” (HC, 237). Sebagai Arendt dikatakan: "Tanpa diampuni, dibebaskan dari konsekuensi dari apa yang kita lakukan, kemampuan kita untuk bertindak akan, seolah-olah, terbatas pada satu perbuatan pun dari yang kita tidak pernah bisa pulih, kita akan tetap menjadi korban nya . konsekuensi selamanya "Di sisi lain," tanpa terikat pada pemenuhan janji, kita tidak akan pernah mampu menjaga identitas kita, kita akan dikutuk untuk mengembara tak berdaya dan tanpa arah dalam kegelapan hati kesepian setiap manusia "(HC , 237). Both faculties, in this sense, depend on plurality , on the presence and acting of others, for no one can forgive himself and no one can feel bound by a promise made only to one's self. Kedua fakultas, dalam pengertian ini, tergantung pada pluralitas, pada kehadiran dan bertindak orang lain, karena tidak ada yang bisa memaafkan dirinya sendiri dan tidak ada yang bisa merasa terikat dengan janji yang dibuat hanya untuk diri sendiri. At the same time, both faculties are an expression of human freedom , since without the faculty to undo what we have done in the past, and without the ability to control at least partially the processes we have started, we would be the victims “of an automatic necessity bearing all the marks of inexorable laws” (HC, 246). Pada saat yang sama, baik fakultas merupakan ekspresi kebebasan manusia, karena tanpa fakultas untuk membatalkan apa yang telah kita lakukan di masa lalu, dan tanpa kemampuan untuk mengendalikan setidaknya sebagian proses kita sudah mulai, kita akan menjadi korban "dari suatu kebutuhan otomatis bantalan semua tanda hukum tak terhindarkan "(HC, 246).
5. 5. Arendt's Theory of Judgment Teori Arendt Penghakiman
One of the most enduring contributions of Arendt's political thought is to be found in her reflections on judgment which were to occupy the last years of her life. Salah satu kontribusi paling abadi pemikiran politik Arendt dapat ditemukan dalam refleksi di atas penilaian yang menempati tahun-tahun terakhir hidupnya. Together with the theory of action, her unfinished theory of judgment represents her central legacy to twentieth century political thought. Bersama dengan teori tindakan, teori nya belum selesai penilaian merupakan warisan pusat ke pemikiran politik abad kedua puluh. I shall explore some of the key aspects of her theory of judgment, and will examine its place in the architectonic of Arendt's theory of politics. Aku akan menggali beberapa aspek kunci dari teori nya penilaian, dan akan memeriksa tempatnya di arsitektonis teori Arendt politik.5.1 Judgment: Two Models 5.1 Penghakiman: Dua Model
Arendt's theory of judgment was never developed as systematically or extensively as her theory of action. teori Arendt penghakiman tidak pernah dikembangkan sebagai sistematis atau luas sebagai teorinya tindakan. She intended to complete her study of the life of the mind by devoting the third volume to the faculty of judgment, but was not able to do so because of her untimely death in 1975. Dia dimaksudkan untuk menyelesaikan studi nya kehidupan pikiran dengan mengabdikan volume ketiga untuk fakultas penghakiman, tetapi tidak dapat melakukannya karena kematiannya di tahun 1975. What she left was a number of reflections scattered in the first two volumes on Thinking and Willing (LM, vol. I; vol. II), a series of lectures on Kant's political philosophy delivered at the New School for Social Research in the Fall of 1970 (LKPP), an essay entitled “Thinking and Moral Considerations” written at the time she was composing The Life of the Mind (TMC, 417–46), and two articles included in Between Past and Future where judgment and opinion are treated in relation to culture and taste (“The Crisis in Culture” – BPF, 197–226) and with respect to the question of truth (“Truth and Politics” – BPF, 227–64). Apa dia pergi adalah sejumlah refleksi tersebar di volume pertama dua di Berpikir dan Bersedia (, jilid LM,. Saya. Vol II), serangkaian kuliah tentang politik filsafat Kant disampaikan di Sekolah Baru untuk Penelitian Sosial di Kejatuhan 1970 (LKPP), sebuah esai berjudul "Berpikir dan Moral Pertimbangan" yang ditulis pada saat ia menyusun Hidup Pikiran (TMC, 417-46), dan dua artikel termasuk dalam Antara Masa Lalu dan Masa Depan di mana penilaian dan pendapat yang dirawat di kaitannya dengan budaya dan rasa ("Krisis Budaya" - BPF, 197-226) dan sehubungan dengan pertanyaan tentang kebenaran ("Kebenaran dan Politik" - BPF, 227-64). However, these writings do not present a unified theory of judgment but, rather, two distinct models, one based on the standpoint of the actor, the other on the standpoint of the spectator, which are somewhat at odds with each other. Namun, tulisan-tulisan ini tidak menyajikan suatu teori terpadu penghakiman, melainkan, dua model yang berbeda, yang didasarkan pada sudut pandang aktor, yang lain di sudut pandang penonton, yang agak bertentangan dengan satu sama lain. Arendt's writings on the theme of judgment can be seen to fall into two more or less distinct phases, an early one in which judgment is the faculty of political actors acting in the public realm, and a later one in which it is the privilege of non-participating spectators, primarily poets and historians, who seek to understand the meaning of the past and to reconcile us to what has happened. tulisan Arendt pada tema penghakiman dapat dilihat untuk jatuh ke dalam dua tahap yang berbeda lebih atau kurang, salah satu yang awal di mana penilaian adalah fakultas aktor politik bertindak di wilayah publik, dan yang kemudian di mana itu adalah hak istimewa non -berpartisipasi penonton, terutama penyair dan sejarawan, yang berusaha memahami makna masa lalu dan untuk mendamaikan kita dengan apa yang terjadi. In this later formulation Arendt is no longer concerned with judging as a feature of political life as such, as the faculty which is exercised by actors in order to decide how to act in the public realm, but with judgment as a component in the life of the mind, the faculty through which the privileged spectators can recover meaning from the past and thereby reconcile themselves to time and, retrospectively, to tragedy. Dalam formulasi ini kemudian Arendt tidak lagi peduli dengan menilai sebagai ciri dari kehidupan politik seperti itu, sebagai fakultas yang dilakukan oleh pelaku dalam rangka untuk memutuskan bagaimana bertindak dalam wilayah publik, tetapi dengan pertimbangan sebagai komponen dalam kehidupan pikiran, fakultas melalui mana penonton istimewa dapat memulihkan arti dari masa lalu dan dengan demikian mendamaikan diri untuk waktu dan, secara retrospektif, untuk tragedi.In addition to presenting us with two models of judgment which stand in tension with each other, Arendt did not clarify the status of judgment with respect to two of its philosophical sources, Aristotle and Kant. Selain menyajikan kita dengan dua model penilaian yang berdiri dalam ketegangan satu sama lain, Arendt tidak menjelaskan status penghakiman sehubungan dengan dua sumber filosofis, Aristoteles dan Kant. The two conceptions seem to pull in opposite directions, the Aristotelian toward a concern with the particular, the Kantian toward a concern with universality and impartiality. Kedua konsepsi tampaknya menarik arah yang berlawanan, yang Aristotelian menuju keprihatinan dengan yang khusus, yang Kantian menuju keprihatinan dengan universalitas dan tidak memihak.
It would appear, therefore, that Arendt's theory of judgment not only incorporates two models, the actor's — judging in order to act — and the spectator's — judging in order to cull meaning from the past — but that the philosophical sources it draws upon are somewhat at odds with each other. Ini akan muncul, oleh karena itu, bahwa teori Arendt penghakiman tidak hanya menggabungkan dua model, aktor - menghakimi dalam rangka untuk bertindak - dan penonton - menghakimi untuk menyisihkan makna dari masa lalu - tetapi bahwa sumber-sumber filosofis itu mengacu pada agak bertentangan satu sama lain.
5.2 Judgment and the Vita Contemplativa 5.2 Penghakiman dan Vita Contemplativa
Arendt's concern with judgment as the faculty of retrospective assessment that allows meaning to be redeemed from the past originated in her attempt to come to terms with the twin political tragedies of the twentieth century, Nazism and Stalinism. Arendt perhatian dengan penilaian sebagai fakultas penilaian retrospektif yang memungkinkan makna untuk diselamatkan dari masa lalu berasal dalam usahanya untuk berdamai dengan tragedi politik kembar abad kedua puluh, Nazisme dan Stalinisme. Faced with the horrors of the extermination camps and what is now termed the Gulag, Arendt strove to understand these phenomena in their own terms, neither deducing them from precedents nor placing them in some overarching scheme of historical necessity. Dihadapkan dengan kengerian kamp-kamp pemusnahan dan apa yang sekarang disebut sebagai Gulag, Arendt berusaha untuk memahami fenomena dalam istilah mereka sendiri, tidak menyusun kesimpulan mereka dari preseden atau menempatkan mereka dalam beberapa skema menyeluruh keharusan sejarah. This need to come to terms with the traumatic events of the twentieth century, and to understand them in a manner that does not explain them away but faces them in all their starkness and unprecedentedness, is something to which Arendt returns again and again. Kebutuhan ini untuk berdamai dengan peristiwa traumatis abad kedua puluh, dan memahami mereka dengan cara yang tidak menjelaskan mereka pergi tetapi menghadapi mereka dalam semua starkness dan unprecedentedness, adalah sesuatu yang Arendt kembali lagi dan lagi. Our inherited framework for judgment fails us “as soon as we try to apply it honestly to the central political experiences of our own time” (UP, 379). Kerangka kami diwarisi untuk penghakiman gagal kami "begitu kita mencoba menerapkan itu dengan jujur dengan pengalaman politik pusat waktu kita sendiri" (UP, 379). Even our ordinary common-sense judgment is rendered ineffective, since “we are living in a topsy-turvy world, a world where we cannot find our way by abiding by the rules of what once was common sense” (UP, 383). Bahkan biasa kita masuk akal penghakiman diberikan tidak efektif, karena "kita hidup di dunia yang kacau-balau, dunia di mana kita tidak bisa menemukan jalan kita dengan mematuhi aturan dari apa dulu akal sehat" (UP, 383).The crisis in understanding is therefore coeval with a crisis in judgment, insofar as understanding for Arendt is “so closely related to and interrelated with judging that one must describe both as the subsumption of something particular under a universal rule” (UP, 383). Krisis dalam memahami Oleh karena itu sebaya dengan krisis dalam penilaian, sejauh pemahaman bagi Arendt adalah "sangat erat kaitannya dengan dan saling berhubungan dengan menilai bahwa seseorang harus menggambarkan baik sebagai subsumption dari sesuatu tertentu di bawah aturan universal" (UP, 383). Once these rules have lost their validity we are no longer able to understand and to judge the particulars, that is, we are no longer able to subsume them under our accepted categories of moral and political thought. Setelah aturan ini telah kehilangan validitas mereka, kita tidak lagi mampu memahami dan hakim khusus, yaitu, kita tidak lagi dapat menggolongkan mereka di bawah kategori kami menerima pemikiran moral dan politik. Arendt, however, does not believe that the loss of these categories has brought to an end our capacity to judge; on the contrary, since human beings are distinguished by their capacity to begin anew, they are able to fashion new categories and to formulate new standards of judgment for the events that have come to pass and for those that may emerge in the future. Arendt, bagaimanapun, tidak percaya bahwa hilangnya kategori ini telah diakhiri kemampuan kita untuk menghakimi, sebaliknya, karena manusia dibedakan oleh kapasitas mereka untuk memulai kehidupan baru, mereka mampu mode kategori baru dan merumuskan baru standar penghakiman atas peristiwa yang telah terjadi dan bagi mereka yang mungkin muncul di masa depan.
For Arendt, therefore, the enormity and unprecedentedness of totalitarianism have not destroyed, strictly speaking, our ability to judge; rather, they have destroyed our accepted standards of judgment and our conventional categories of interpretation and assessment, be they moral or political. Bagi Arendt, oleh karena itu, besarnya dan unprecedentedness totalitarianisme tidak hancur, tegasnya, kemampuan kita untuk menghakimi, melainkan, mereka telah menghancurkan standar yang diterima kami penghakiman dan kategori konvensional kami penafsiran dan penilaian, baik itu moral atau politik. And in this situation the only recourse is to appeal to the imagination , which allows us to view things in their proper perspective and to judge them without the benefit of a pre-given rule or universal. Dan dalam situasi ini hanya jalan untuk menarik imajinasi, yang memungkinkan kita untuk melihat hal-hal dalam perspektif yang benar dan menghakimi mereka tanpa keuntungan dari aturan yang diberikan pra atau universal. For Arendt, the imagination enables us to create the distance which is necessary for an impartial judgment, while at the same time allowing for the closeness that makes understanding possible. Bagi Arendt, imajinasi memungkinkan kita untuk membuat jarak yang diperlukan untuk penilaian tidak memihak, sementara pada saat yang sama memungkinkan untuk kedekatan yang membuat pemahaman mungkin. In this way it makes possible our reconciliation with reality, even with the tragic reality of the twentieth century. Dengan cara ini memungkinkan rekonsiliasi kita dengan realitas, bahkan dengan realitas tragis abad kedua puluh.
Arendt's participation at the trial of Eichmann in the early sixties made her once more aware of the need to come to terms with a reality that initially defied human comprehension. partisipasi Arendt di pengadilan Eichmann di awal tahun enam puluhan membuatnya sekali lagi menyadari kebutuhan untuk berdamai dengan kenyataan yang awalnya menantang pemahaman manusia. How could such an ordinary, law-abiding, and all-too-human individual have committed such atrocities? Bagaimana mungkin seperti biasa, taat hukum, individu dan semua-terlalu-manusia yang telah melakukan kekejaman seperti itu? The impact of the trial also forced her to raise another problem concerning judgment, namely, whether we are entitled to presuppose “an independent human faculty, unsupported by law and public opinion, that judges anew in full spontaneity every deed and intent whenever the occasion arises” (PRD, 187). Dampak dari pengadilan juga memaksanya untuk meningkatkan permasalahan mengenai penilaian lain, yaitu, apakah kita berhak untuk mensyaratkan "sebuah fakultas manusia independen, tidak didukung oleh hukum dan opini publik, bahwa hakim baru dalam spontanitas penuh setiap perbuatan dan niat ketika kesempatan muncul "(PRD, 187).
5.3 Judgment and the Wind of Thought 5.3 Penghakiman dan angin Pemikiran
Arendt returned to this issue in The Life of the Mind , a work which was meant to encompass the three faculties of thinking, willing, and judging. Arendt kembali ke masalah ini dalam The Life of the Mind, sebuah karya yang dimaksudkan untuk mencakup tiga fakultas berpikir, bersedia, dan menilai. In the introduction to the first volume she declared that the immediate impulse to write it came from attending the Eichmann trial in Jerusalem, while the second, equally important motive, was to provide an account of our mental activities that was missing from her previous work on the vita activa . Dalam pendahuluan jilid pertama ia menyatakan bahwa dorongan langsung untuk menulis itu datang dari menghadiri pengadilan Eichmann di Yerusalem, sementara motif, kedua sama pentingnya, adalah untuk memberikan account aktivitas mental kita yang hilang dari pekerjaan sebelumnya di atas vita activa. It was Eichmann's absence of thinking, his “thoughtlessness,” that struck her most, because it was responsible in her view for his inability to judge in those circumstances where judgment was most needed. Itu tidak Eichmann berpikir, "kesembronoan,"-nya yang melanda sebagian besar wanita, karena bertanggung jawab dalam tampilan dia untuk ketidakmampuannya untuk menilai dalam situasi di mana penilaian yang paling dibutuhkan. “It was this absence of thinking,” she wrote, “that awakened my interest. "Itu tidak adanya pemikiran," tulisnya, "yang membangkitkan minat saya. Is evil-doing … possible in default of not just 'base motives' ... Apakah kejahatan-lakukan ... mungkin dalam default 'motif dasar' bukan hanya ... but of any motives whatever … Might the problem of good and evil, our faculty for telling right from wrong, be connected with our faculty of thought?” (LM, vol. I, 4–5). tetapi dari setiap motif apapun ... Mungkinkah masalah baik dan jahat, fakultas kami untuk mengatakan benar dan salah, dihubungkan dengan fakultas kita berpikir "? (LM, vol. I, 4-5).Arendt attempted a reply by connecting the activity of thinking to that of judging in a twofold manner. Arendt berusaha balasan dengan menghubungkan kegiatan berpikir bahwa menilai secara ganda. First, thinking — the silent dialogue of me and myself — dissolves our fixed habits of thought and the accepted rules of conduct, and thus prepares the way for the activity of judging particulars without the aid of pre-established universals. Pertama, berpikir - dialog diam dari saya dan saya sendiri - larut kebiasaan tetap kita berpikir dan aturan-aturan perilaku yang diterima, dan dengan demikian mempersiapkan jalan untuk kegiatan menilai keterangan tanpa bantuan universal pra-ditetapkan. It is not that thinking provides judgment with new rules for subsuming the particular under the universal. Ini tidak berarti bahwa berpikir memberikan penilaian dengan aturan baru untuk subsuming yang khusus di bawah universal. Rather, it loosens the grip of the universal over the particular, thereby releasing judgment from ossified categories of thought and conventional standards of assessment. Sebaliknya, itu mengendur cengkeraman yang universal atas penghakiman khusus, sehingga melepaskan dari kategori ossified pemikiran dan standar penilaian konvensional. It is in times of historical crisis that thinking ceases to be a marginal affair, because by undermining all established criteria and values, it prepares the individual to judge for him or herself instead of being carried away by the actions and opinions of the majority. Hal ini di saat krisis historis yang berpikir tidak lagi menjadi urusan marjinal, karena dengan meruntuhkan semua kriteria yang ditetapkan dan nilai-nilai, mempersiapkan individu untuk menilai dirinya sendiri bukannya terbawa oleh tindakan dan pendapat mayoritas.
The second way in which Arendt connected the activity of thinking with that of judging is by showing that thinking, by actualizing the dialogue of me and myself which is given in consciousness, produces conscience as a by-product. Cara kedua yang Arendt menghubungkan kegiatan berpikir dengan yang menilai adalah dengan menunjukkan berpikir bahwa, oleh aktualisasi dialog saya dan saya sendiri yang diberikan dalam kesadaran, menghasilkan hati nurani sebagai produk sampingan. This conscience, unlike the voice of God or what later thinkers called lumen naturale , gives no positive prescriptions; it only tells us what not to do, what to avoid in our actions and dealings with others, as well as what to repent of. hati nurani ini, tidak seperti suara Tuhan atau apa yang kemudian disebut naturale lumen pemikir, tidak memberikan resep yang positif, hanya memberitahu kita apa yang tidak melakukan, apa yang harus dihindari dalam tindakan kita dan berurusan dengan orang lain, serta apa yang harus bertobat dari. Arendt notes in this context that Socrates' dictum “It is better to suffer wrong than to do wrong,” and his proposition that “It would be better for me that my lyre or a chorus I directed should be out of tune and loud with discord, and that multitudes of men should disagree with me, rather than that I, being one , should be out of harmony with myself and contradict me,” derive their validity from the idea that there is a silent partner within ourselves to whom we render account of our actions (TMC, 29–30; 35). Arendt catatan dalam konteks ini bahwa diktum Socrates '"Lebih baik menderita salah daripada berbuat salah," dan proposisi bahwa "Akan lebih baik bagi saya yang saya kecapi atau paduan suara saya diarahkan harus keluar dari tune dan keras dengan perselisihan , dan bahwa banyak sekali laki-laki harus tidak setuju dengan saya, daripada yang saya, sebagai salah satu, harus keluar dari harmoni dengan diri sendiri dan menentang saya, "validitas berasal dari ide bahwa ada suatu mitra diam dalam diri kita sendiri kepada siapa kita membuat account tindakan kita (TMC, 29-30, 35). What we fear most is the anticipation of the presence of this partner (ie, our conscience) who awaits us at the end of the day. Apa yang kita paling ditakuti adalah antisipasi dari kehadiran pasangan ini (yaitu, hati nurani kita) yang menanti kita pada akhir hari.
Arendt also remarks that thinking, as the actualization of the difference given in consciousness, “is not a prerogative of the few but an ever-present faculty in everybody; by the same token, inability to think is not a failing of the many who lack brain power, but an ever-present possibility for everybody” (LM, vol. I, 191). Arendt juga menyatakan bahwa berpikir, sebagai aktualisasi dari perbedaan yang diberikan dalam kesadaran, "bukan merupakan hak prerogatif dari sedikit tetapi fakultas yang selalu ada di semua orang, dengan cara yang sama, ketidakmampuan untuk berpikir bukanlah gagal dari banyak yang kurang daya otak, tetapi kemungkinan selalu ada untuk semua orang "(LM, jilid I,. 191). For those who do engage in thinking, however, conscience emerges as an inevitable by-product. Bagi mereka yang terlibat dalam berpikir, bagaimanapun, hati nurani muncul sebagai produk oleh-tak terelakkan. As the side-effect of thinking, conscience has its counterpart in judgment as the by-product of the liberating activity of thought. Sebagai efek samping dari berpikir, hati nurani memiliki pasangan dalam penilaian sebagai produk sampingan dari kegiatan membebaskan pikiran. If conscience represents the inner check by which we evaluate our actions, judgment represents the outer manifestation of our capacity to think critically. Jika hati nurani merupakan cek batin yang kita mengevaluasi tindakan kita, penilaian merupakan manifestasi luar kemampuan kita untuk berpikir kritis. Both faculties relate to the question of right and wrong, but while conscience directs attention to the self, judgment directs attention to the world. Kedua fakultas berhubungan dengan pertanyaan tentang benar dan salah, tetapi ketika hati nurani mengarahkan perhatian pada penilaian, diri mengarahkan perhatian dunia. In this respect, judgment makes possible what Arendt calls “the manifestation of the wind of thought” in the sphere of appearance. Dalam hal ini, penilaian membuat mungkin apa Arendt menyebut "manifestasi dari angin pemikiran" di bidang penampilan.
5.4 Judgment and Kant's Aesthetics 5.4 Penghakiman dan's Estetika Kant
The foregoing account has explored the way in which Arendt attempted to connect the activity of thinking to our capacity to judge. Rekening atas telah menyelidiki cara di mana Arendt mencoba untuk menghubungkan kegiatan berpikir untuk kapasitas kita untuk menghakimi. To be sure, this connection of thinking and judging seems to operate only in emergencies, in those exceptional moments where individuals, faced with the collapse of traditional standards, must come up with new ones and judge according to their own autonomous values. Yang pasti, hubungan ini berpikir dan menilai tampaknya beroperasi hanya dalam keadaan darurat, pada saat-saat yang luar biasa di mana individu, dihadapkan dengan runtuhnya standar tradisional, harus datang dengan yang baru dan menghakimi sesuai dengan nilai-nilai mereka sendiri otonom. There is, however, a second, more elaborated view of judgment which does not restrict it to moments of crisis, but which identifies it with the capacity to think representatively, that is, from the standpoint of everyone else. Ada, bagaimanapun, pandangan, kedua lebih diuraikan penghakiman yang tidak membatasi untuk saat-saat krisis, tapi yang mengidentifikasi dengan kemampuan untuk berpikir representatif, yaitu dari sudut pandang orang lain. Arendt called this capacity to think representatively an “enlarged mentality,” adopting the same terms that Kant employed in his Third Critique to characterize aesthetic judgment. Arendt disebut kapasitas ini untuk berpikir representatif suatu "mentalitas diperbesar," mengadopsi istilah-istilah yang sama yang digunakan Kant dalam bukunya Critique Ketiga untuk menggambarkan penilaian estetika. It is to this work that we must now turn our attention, since Arendt based her theory of political judgment on Kant's aesthetics rather than on his moral philosophy. Hal ini untuk pekerjaan yang kita sekarang harus mengalihkan perhatian kita, karena Arendt berdasarkan teorinya penghakiman politik estetika Kant bukan pada filsafat moral nya.At first sight this might seem a puzzling choice, since Kant himself based his moral and political philosophy on practical reason and not on our aesthetic faculties. Pada pandangan pertama ini mungkin tampak pilihan yang membingungkan, karena Kant sendiri berdasarkan filsafat moral dan politik alasan praktis dan bukan pada fakultas estetika kita. Arendt, however, claimed that the Critique of Judgment contained Kant's unwritten political philosophy, and that the first part of it, the “Critique of Aesthetic Judgment,” was the most fruitful basis on which to build a theory of political judgment, since it dealt with the world of appearances from the point of view of the judging spectator and took as its starting point the faculty of taste, understood as a faculty of concrete and embodied subjects (BPF, 219–20). Arendt, bagaimanapun, menyatakan bahwa Kritik kiamat berisi politik filsafat tertulis Kant, dan bahwa bagian pertama dari itu, "Critique of Estetika kiamat," adalah berbuah dasar yang paling untuk membangun sebuah teori keputusan politik, karena ditangani dengan dunia penampilan dari sudut pandang penonton menilai dan mengambil sebagai titik awal fakultas rasa, dipahami sebagai fakultas beton dan mata pelajaran terkandung (BPF, 219-20).
For Arendt the capacity to judge is a specifically political ability insofar as it enables individuals to orient themselves in the public realm and to judge the phenomena that are disclosed within it from a standpoint that is relatively detached and impartial. Untuk Arendt kapasitas untuk menilai adalah kemampuan khusus politik sejauh yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri di wilayah publik dan untuk hakim fenomena yang diungkapkan di dalamnya dari sudut pandang yang relatif terpisah dan tidak memihak. She credits Kant with having dislodged the prejudice that judgments of taste lie altogether outside the political realm, since they supposedly concern only aesthetic matters. Dia kredit Kant dengan memiliki copot prasangka bahwa penilaian rasa sama sekali terletak di luar bidang politik, karena mereka seharusnya kekhawatiran hanya masalah estetika. She believes, in fact, that by linking taste to that wider manner of thinking which Kant called an “enlarged mentality” the way was opened to a revaluation of judgment as a specific political ability, namely, as the ability to think in the place of everybody else. Dia percaya, pada kenyataannya, bahwa dengan menghubungkan rasa dengan cara berfikir yang lebih luas Kant disebut "mentalitas diperbesar" jalan dibuka untuk revaluasi penghakiman sebagai kemampuan politik tertentu, yaitu sebagai kemampuan untuk berpikir dalam tempat orang lain. It is only in Kant's Critique of Judgment that we find a conception of judgment as the ability to deal with particulars in their particularity, that is, without subsuming them under a pre-given universal, but actively searching the universal out of the particular. Hanya di Kant Kritik kiamat yang kita temukan konsep penghakiman sebagai kemampuan untuk menangani khusus dalam kekhususan mereka, yaitu, tanpa subsuming di bawah pra-diberikan universal, tetapi secara aktif mencari keluar universal yang khusus. Kant formulated this distinction as that between determinant and reflective judgments. Kant dirumuskan ini membedakan bahwa antara dan penilaian reflektif penentu. For him judgment in general is the faculty of thinking the particular as contained under the universal. Baginya penilaian secara umum adalah fakultas dari pemikiran yang khusus sebagaimana tercantum di bawah universal. If the universal, (the rule, principle, or law) is given, then the judgment which subsumes the particular under it is determinant. Jika universal, (aturan, prinsip, atau hukum) diberikan, maka penghakiman yang subsumes yang khusus di bawah itu determinan. If, however, only the particular is given and the universal has to be found for it, then the judgment is reflective. Namun, jika hanya khusus diberikan dan universal harus ditemukan untuk itu, maka penghakiman adalah reflektif. For Kant determinant judgments were cognitive, while reflective judgments were non-cognitive. Untuk penilaian penentu Kant adalah kognitif, sedangkan penilaian reflektif non-kognitif. Reflective judgment is seen as the capacity to ascend from the particular to the universal without the mediation of determinate concepts given in advance; it is reasoning about particulars in their relation to the universal rather than reasoning about universals in their relation to the particular. penilaian reflektif dipandang sebagai kapasitas untuk naik dari yang khusus ke universal tanpa mediasi konsep determinasi diberikan di muka, melainkan penalaran tentang khusus dalam hubungannya dengan universal daripada penalaran tentang universal dalam hubungannya dengan yang khusus. In the case of aesthetic judgment this means that I can understand and apply the universal predicate of beauty only through experiencing a particular object that exemplifies it. Dalam hal penilaian estetika ini berarti bahwa saya dapat memahami dan menerapkan predikat universal kecantikan hanya melalui mengalami objek tertentu yang mencontohkan itu. Thus, upon encountering a flower, a unique landscape, or a particular painting, I am able to say that it is an example of beauty, that it possesses “exemplary validity.” Dengan demikian, setelah bertemu bunga, pemandangan yang unik, atau sebuah lukisan tertentu, saya bisa mengatakan bahwa itu adalah contoh keindahan, bahwa ia memiliki "validitas teladan."
For Arendt this notion of exemplary validity is not restricted to aesthetic objects or to individuals who exemplified certain virtues. Untuk Arendt ini pengertian validitas teladan tidak terbatas pada benda estetika atau individu yang dicontohkan kebajikan tertentu. Rather, she wants to extend this notion to events in the past that carry a meaning beyond their sheer enactment, that is, to events that could be seen as exemplary for those who came after. Sebaliknya, dia ingin memperluas gagasan ini untuk peristiwa di masa lalu yang membawa arti luar diundangkan semata-mata mereka, yaitu, untuk peristiwa yang bisa dilihat sebagai contoh bagi orang yang datang sesudah. It is here that aesthetic judgment joins with the retrospective judgment of the historian. Di sinilah penilaian estetika bergabung dengan penilaian retrospektif sejarawan. The American and French Revolutions, the Paris Commune, the Russian soviets, the German revolutionary councils of 1918–19, the Hungarian uprising of 1956, all these events possess the kind of exemplary validity that makes them of universal significance, while still retaining their own specificity and uniqueness. Amerika dan Revolusi Perancis, Komune Paris, soviet Rusia, dewan revolusioner Jerman 1918-19, pemberontakan Hungaria tahun 1956, semua peristiwa ini memiliki jenis validitas teladan yang membuat mereka signifikansi universal, sementara masih mempertahankan mereka sendiri kekhususan dan keunikan. Thus, by attending to these events in their particularity the historian or judging spectator is able to illuminate their universal import and thereby preserve them as “examples” for posterity. Jadi, dengan menghadiri acara ini dalam kekhususan mereka sejarawan atau menghakimi penonton dapat menerangi impor universal mereka dan dengan demikian mempertahankan mereka sebagai "contoh" untuk anak cucu.
For Arendt it is the spectators who have the privilege of judging impartially and disinterestedly, and in doing so they exercise two crucial faculties, imagination and common sense . Untuk Arendt itu adalah penonton yang memiliki hak istimewa menilai tidak memihak dan disinterestedly, dan dengan berbuat demikian mereka latihan dua fakultas penting, imajinasi dan akal sehat. Imagination is the faculty of representing in one's mind that which has already appeared to one's senses. Imajinasi adalah fakultas yang mewakili dalam pikiran seseorang yang telah muncul untuk indera seseorang. Through the imagination one can represent objects that are no longer present and thus establish the distance necessary for an impartial judgment. Melalui imajinasi yang dapat mewakili objek yang tidak lagi hadir dan dengan demikian membentuk jarak yang diperlukan untuk penilaian tidak memihak. Once this distancing has occurred, one is in a position to reflect upon these representations from a number of different perspectives, and thereby to reach a judgment about the proper value of an object. Setelah jarak ini telah terjadi, satu di posisi untuk merenungkan ini representasi dari sejumlah perspektif yang berbeda, dan dengan demikian untuk mencapai penilaian tentang nilai yang tepat dari objek.
The other faculty that spectators have to appeal to is common sense or sensus communis , since without it they could not share their judgments or overcome their individual idiosyncrasies. Fakultas lain yang penonton harus menarik adalah akal sehat atau communis sensus, karena tanpa itu mereka tidak bisa berbagi penilaian mereka atau mengatasi keanehan masing-masing. Kant believed that for our judgments to be valid we must transcend our private or subjective conditions in favor of public and intersubjective ones, and we are able to do this by appealing to our community sense, our sensus communis . Kant percaya bahwa untuk penilaian kami akan berlaku kita harus melampaui pribadi atau subjektif kondisi kita mendukung dan intersubjektif yang umum, dan kita dapat melakukan hal ini dengan menarik rasa komunitas kami, communis sensus kami.
The criterion for judgment, then, is communicability , and the standard for deciding whether our judgments are indeed communicable is to see whether they could fit with the sensus communis of others. kriteria tersebut untuk penilaian, kemudian, adalah penularan, dan standar untuk memutuskan apakah penilaian kita memang menular adalah untuk melihat apakah mereka bisa sesuai dengan communis sensus orang lain. Arendt points out that the emphasis on the communicability of judgments of taste, and the correlative notion of an enlarged mentality, link up effortlessly with Kant's idea of a united mankind living in eternal peace. Arendt menunjukkan bahwa penekanan pada penularan dari penilaian rasa, dan gagasan korelatif dari mentalitas diperbesar, berhubungan mudah dengan ide Kant tentang hidup umat manusia bersatu dalam damai yang kekal. She argues that “It is by virtue of this idea of mankind, present in every single man, that men are human, and they can be called civilized or humane to the extent that this idea becomes the principle not only of their judgments but of their actions. Dia berpendapat bahwa "Hal ini berdasarkan ide manusia, hadir dalam setiap orang tunggal, bahwa laki-laki adalah manusia, dan mereka bisa disebut beradab atau manusiawi apabila ide ini menjadi prinsip tidak hanya penilaian mereka, melainkan mereka tindakan. It is at this point that actor and spectator become united; the maxim of the actor and the maxim, the 'standard,' according to which the spectator judges the spectacle of the world, become one” (LKPP, 75). Hal ini pada saat ini bahwa aktor dan penonton menjadi bersatu, pepatah dari aktor dan pepatah, yang 'standar,' menurut yang hakim penonton tontonan dunia, menjadi satu "(LKPP, 75).
In her reflections on Kant's Third Critique Arendt acknowledges the links between the standpoint of the actor and that of the spectator. Dalam refleksi di atas Kant Ketiga Kritik Arendt mengakui hubungan antara sudut pandang aktor dan bahwa dari penonton. Let us now examine the way in which judgment operates from the standpoint of the actor. Mari kita memeriksa cara di mana penilaian beroperasi dari sudut pandang aktor.
5.5 Judgment and the Vita Activa 5.5 Penghakiman dan Vita Activa
Arendt presented a model of judgment in the essays “The Crisis in Culture” and “Truth and Politics” which could be characterized as far more 'political' than the one presented so far. Arendt disajikan model penilaian dalam esai-esai "Krisis Kebudayaan" dan "Kebenaran dan Politik" yang dapat ditandai sebagai jauh lebih 'politik' dari satu yang disajikan sejauh ini. In these essays, in fact, she treated judgment as a faculty that enables political actors to decide what courses of action to undertake in the public realm, what kind of objectives are most appropriate or worth pursuing, as well as who to praise or blame for past actions or for the consequences of past decisions. Dalam esai, pada kenyataannya, dia diperlakukan penilaian sebagai fakultas yang memungkinkan aktor politik untuk memutuskan apa program tindakan untuk mengambil tindakan dalam wilayah publik, apa tujuan yang paling mengejar sesuai atau layak, serta yang untuk memuji atau menyalahkan untuk lalu tindakan atau atas konsekuensi dari keputusan masa lalu. In this model judgment is viewed as a specifically political ability, namely, as “the ability to see things not only from one's own point of view but from the perspective of all those who happen to be present,” and as being “one of the fundamental abilities of man as a political being insofar as it enables him to orient himself in the public realm, in the common world” (BPF, 221). Dalam penilaian model ini dipandang sebagai politik kemampuan khusus, yaitu, sebagai "kemampuan untuk melihat sesuatu tidak hanya dari sendiri sudut salah satu pandang, tetapi dari sudut pandang semua orang yang kebetulan hadir," dan sebagai "salah satu kemampuan dasar manusia sebagai partai politik yang sejauh yang memungkinkan dia untuk mengarahkan dirinya dalam wilayah publik, di dunia umum "(BPF, 221). Arendt claims that “the Greeks called this ability [to judge] phronesis , or insight, and they considered it the principal virtue or excellence of the statesman in distinction from the wisdom of the philosopher. Arendt mengklaim bahwa "orang-orang Yunani disebut kemampuan ini [menilai] phronesis, atau wawasan, dan mereka menganggapnya keutamaan pokok atau keunggulan dari negarawan di perbedaan dari kebijaksanaan filsuf. The difference between this judging insight and speculative thought lies in that the former has its roots in what we usually call common sense, which the latter constantly transcends. Perbedaan antara wawasan menilai dan berpikir spekulatif terletak pada bahwa yang pertama berakar pada apa yang biasanya kita sebut akal sehat, yang kemudian terus-menerus melampaui. Common sense … discloses to us the nature of the world insofar as it is a common world; we owe to it the fact that our strictly private and 'subjective' five senses and their sensory data can adjust themselves to a non-subjective and 'objective' world which we have in common and share with others. Akal sehat ... mengungkapkan kepada kita sifat dari dunia sejauh itu dunia umum; kita berhutang untuk itu fakta bahwa sangat pribadi dan 'subyektif' kami panca indera dan data sensorik mereka dapat menyesuaikan diri untuk non-subyektif dan "obyektif 'dunia yang kita miliki bersama dan berbagi dengan orang lain. Judging is one, if not the most, important activity in which this sharing-the-world-with-others comes to pass” (BPF, 221). Menilai adalah salah satu, jika bukan yang paling, kegiatan yang penting dalam yang berperan ini-dunia-dengan-orang lain datang untuk lulus "(BPF, 221).Moreover, in discussing the non-coercive character of judgment, the fact that it can only appeal to but never force the agreement of others, she claims that “this 'wooing' or persuading corresponds closely to what the Greeks called peithein , the convincing and persuading speech which they regarded as the typically political form of people talking with one another” (BPF, 222). Selain itu, dalam membahas karakter non-koersif penghakiman, fakta bahwa ia hanya dapat menarik bagi tetapi tidak pernah memaksa persetujuan orang lain, ia mengklaim bahwa "ini 'merayu' atau membujuk berkaitan erat dengan apa yang disebut orang Yunani peithein, dan meyakinkan membujuk pidato yang mereka dianggap sebagai bentuk biasanya politik orang-orang berbicara dengan satu sama lain "(BPF, 222). Some commentators have claimed that there is a contradiction in Arendt's employment of the Aristotelian notion of phronesis alongside Kant's idea of an “enlarged mentality,” since they supposedly pull in opposite directions, the former toward a concern with the particular, the latter toward universality and impartiality. Beberapa komentator menyatakan bahwa ada kontradiksi dalam ketenagakerjaan Arendt dari gagasan Aristotelian dari phronesis bersama ide Kant dari "mentalitas diperbesar," karena mereka seharusnya menarik ke arah yang berlawanan, yang pertama menuju keprihatinan dengan yang khusus, yang kedua terhadap universalitas dan ketidakberpihakan. However, this contradiction is more apparent than real, since Kant's theory of aesthetic judgment is a theory of reflective judgment, that is, of those judgments where the universal is not given but must be searched out of the particular. Namun, kontradiksi ini lebih jelas daripada nyata, karena itu teori Kant tentang penilaian estetika adalah teori penilaian reflektif, yaitu, dari penilaian mana universal tidak diberikan tapi harus dicari dari tertentu. In this respect the theory of aesthetic judgment to which Arendt appeals does have close affinities with Aristotle's notion of phronesis : both are concerned with the judgment of particulars qua particulars, not with their subsumption under universal rules. Dalam hal ini teori penilaian estetika yang menarik Arendt memang memiliki kedekatan erat dengan gagasan Aristoteles's dari phronesis: keduanya peduli dengan penilaian khusus qua khusus, tidak dengan subsumption mereka di bawah aturan universal. If a distinction is to be made, it has more to do with the mode of asserting validity : In Aristotle phronesis is the privilege of a few experienced individuals (the phronimoi ) who, over time, have shown themselves to be wise in practical matters; the only criterion of validity is their experience and their past record of judiciuos actions. Jika perbedaan harus dibuat, lebih berkaitan dengan cara menyatakan validitas: Dalam phronesis Aristoteles adalah hak istimewa dari beberapa individu yang berpengalaman (yang phronimoi) yang, dari waktu ke waktu, telah menunjukkan diri mereka bijaksana dalam hal praktis; satu-satunya kriteria validitas adalah pengalaman mereka dan merekam masa lalu mereka tindakan judiciuos. In the case of judgments of taste, on the other hand, individuals have to appeal to the judgments and opinions of others, and thus the validity of their judgments rests on the consent they can elicit from a community of differently situated subjects. Dalam hal penilaian rasa, di sisi lain, individu harus banding ke penilaian dan pendapat orang lain, dan dengan demikian validitas penilaian mereka bersandar pada persetujuan mereka dapat menimbulkan dari sebuah komunitas mata pelajaran berbeda berada.
For Arendt the validity of political judgment depends on our ability to think “representatively,” that is, from the standpoint of everyone else, so that we are able to look at the world from a number of different perspectives. Untuk Arendt validitas penghakiman politik tergantung pada kemampuan kita untuk berpikir "representatif," yang, dari sudut pandang orang lain, sehingga kita dapat melihat dunia dari sejumlah perspektif yang berbeda. And this ability, in turn, can only be acquired and tested in a public forum where individuals have the opportunity to exchange their opinions on particular matters and see whether they accord with the opinions of others. Dan kemampuan ini, pada gilirannya, hanya dapat diperoleh dan diuji dalam forum publik di mana individu memiliki kesempatan untuk bertukar pendapat mereka tentang hal-hal tertentu dan melihat apakah mereka sesuai dengan pendapat orang lain. In this respect the process of opinion formation is never a solitary activity; rather, it requires a genuine encounter with different opinions so that a particular issue may be examined from every possible standpoint until, as she puts it, “it is flooded and made transparent by the full light of human comprehension” (BPF, 242). Dalam hal ini proses pembentukan pendapat tidak pernah merupakan kegiatan soliter, melainkan memerlukan pertemuan asli dengan pendapat yang berbeda sehingga isu tertentu mungkin diteliti dari setiap sudut pandang mungkin sampai, saat dia katakan, "itu adalah banjir dan dibuat transparan oleh cahaya penuh pemahaman manusia "(BPF, 242). Debate and discussion, and the capacity to enlarge one's perspective, are indeed crucial to the formation of opinions that can claim more than subjective validity; individuals may hold personal opinions on many subject matters, but they can form representative opinions only by enlarging their standpoint to incorporate those of others. Debat dan diskusi, dan kapasitas untuk memperbesar sudut pandang satu, memang penting untuk pembentukan opini yang dapat mengklaim lebih dari validitas subjektif; individu mungkin memiliki pendapat pribadi pada materi banyak, tetapi mereka dapat membentuk opini satunya wakil dengan memperbesar sudut pandang mereka untuk menggabungkan orang lain. As Arendt says: “Political thought is representative. Sebagai Arendt mengatakan: "Politik pikir merupakan perwakilan. I form an opinion by considering a given issue from different viewpoints, by making present to my mind the standpoints of those who are absent; that is, I represent them … The more people's standpoints I have present in my mind while I am pondering a given issue, and the better I can imagine how I would feel and think if I were in their place, the stronger will be my capacity for representative thinking and the more valid my final conclusions, my opinion” (BPF, 241). Aku membentuk opini dengan mempertimbangkan masalah tertentu dari sudut pandang yang berbeda, dengan membuat hadir untuk pikiran saya sudut pandang mereka yang hadir, yaitu, saya mewakili mereka ... sudut pandang Semakin banyak orang, aku telah ada di pikiran saya ketika saya memikirkan diberikan masalah, dan lebih baik saya bisa membayangkan bagaimana aku akan merasa dan berpikir jika saya berada di tempat mereka, semakin kuat akan kemampuan saya untuk berpikir perwakilan dan kesimpulan saya lebih valid akhir, pendapat saya "(BPF, 241). Opinions, in fact, are never self-evident. Opini, pada kenyataannya, tidak pernah jelas. In matters of opinion, but not in matters of truth, “our thinking is truly discursive, running, as it were, from place to place, from one part of the world to another, through all kinds of conflicting views, until it finally ascends from these particularities to some impartial generality” (BPF, 242). Dalam hal pendapat, tetapi tidak dalam hal kebenaran, "pemikiran kita benar-benar diskursif, berjalan, seakan-akan, dari tempat ke tempat, dari satu bagian dunia yang lain, melalui segala macam pandangan yang bertentangan, sampai akhirnya naik dari kekhasan untuk beberapa generalisasi yang tidak memihak "(BPF, 242). In this respect one is never alone while forming an opinion; as Arendt notes, “even if I shun all company or am completely isolated while forming an opinion, I am not simply together only with myself in the solitude of philosophical thought; I remain in this world of universal interdependence, where I can make myself the representative of everybody else” (BPF, 242). Dalam hal yang satu ini tidak pernah sendirian sementara membentuk opini, seperti Arendt catatan, "bahkan jika aku menghindari semua perusahaan atau apakah benar-benar terisolasi sementara membentuk pendapat, saya tidak hanya bersama-sama hanya dengan diriku dalam kesendirian pemikiran filosofis, aku tetap dunia ini saling ketergantungan universal, di mana aku bisa membuat diriku wakil dari semua orang lain "(BPF, 242).
5.6 Judgment and Validity 5.6 Penghakiman dan Validitas
The representative character of judgment and opinion has important implications for the question of validity. Karakter perwakilan dari penilaian dan pendapat memiliki implikasi penting bagi pertanyaan tentang validitas. Arendt always stressed that the formation of valid opinions requires a public space where individuals can test and purify their views through a process of mutual debate and enlightenment. Arendt selalu menekankan bahwa pembentukan pendapat berlaku memerlukan ruang publik di mana individu dapat menguji dan memurnikan pandangan mereka melalui proses saling debat dan pencerahan. She was, however, quite opposed to the idea that opinions should be measured by the standard of truth, or that debate should be conducted according to strict scientific standards of validity. Dia, bagaimanapun, cukup menentang gagasan bahwa pendapat harus diukur dengan standar kebenaran, atau debat yang harus dilakukan sesuai dengan standar ilmiah yang ketat berlaku. In her view, truth belongs to the realm of cognition, the realm of logic, mathematics and the strict sciences, and carries always an element of coercion, since it precludes debate and must be accepted by every individual in possession of her rational faculties. Dalam pandangannya, kebenaran milik alam kognisi, bidang logika, matematika dan ilmu-ilmu yang ketat, dan selalu membawa unsur pemaksaan, karena menghalangi perdebatan dan harus diterima oleh setiap individu dalam memiliki fakultas rasional nya. Set against the plurality of opinions, truth has a despotic character: it compels universal assent, leaves the mind little freedom of movement, eliminates the diversity of views and reduces the richness of human discourse. Set terhadap pluralitas pendapat, kebenaran memiliki karakter yang despotik: itu memaksa persetujuan universal, daun kebebasan pikiran sedikit gerakan, menghilangkan keragaman pandangan dan mengurangi kekayaan wacana manusia. In this respect, truth is anti-political, since by eliminating debate and diversity it eliminates the very principles of political life. Dalam hal ini, kebenaran adalah anti-politik, karena dengan menghilangkan perdebatan dan keragaman menghilangkan prinsip dari kehidupan politik. As Arendt writes, “The trouble is that factual truth, like all other truth, peremptorily claims to be acknowledged and precludes debate, and debate constitutes the very essence of political life. Sebagai Arendt menulis, "Masalahnya adalah bahwa kebenaran faktual, seperti semua kebenaran lain, dgn bersikap memerintah klaim untuk diakui dan menghalangi perdebatan, dan perdebatan merupakan inti dari kehidupan politik. The modes of thought and communication that deal with truth, if seen from the political perspective, are necessarily domineering; they don't take into account other people's opinions, and taking these into account is the hallmark of all strictly political thinking” (BPF, 241). Mode pemikiran dan komunikasi yang berhubungan dengan kebenaran, jika dilihat dari perspektif politik, yang harus dominan, mereka tidak memperhitungkan pendapat rekening orang lain, dan mengambil ini diperhatikan adalah ciri khas dari semua pemikiran ketat politik "(BPF, 241).Arendt's defense of opinion is motivated not just by her belief that truth leaves no room for debate or dissent, or for the acknowledgment of difference, but also by her conviction that our reasoning faculties can only flourish in a dialogic context. pertahanan Arendt pendapatnya termotivasi bukan hanya oleh keyakinan bahwa kebenaran tidak menyisakan ruang untuk perdebatan atau perbedaan pendapat, atau untuk pengakuan perbedaan, tetapi juga oleh keyakinannya bahwa fakultas penalaran kita hanya bisa berkembang dalam konteks dialogis. She cites Kant's remark that “the external power that deprives man of the freedom to communicate his thoughts publicly deprives him at the same time of his freedom to think,” and underlines the fact that for Kant the only guarantee of the correctness of our thinking is that “we think, as it were, in community with others to whom we communicate our thoughts as they communicate theirs to us” (BPF, 234–5). Dia mengutip pernyataan Kant bahwa "kekuatan eksternal yang menghalangi manusia kebebasan untuk mengkomunikasikan pikiran publik menghilangkan dia pada saat yang sama kebebasan untuk berpikir," dan menggarisbawahi kenyataan bahwa bagi Kant satu-satunya jaminan atas kebenaran pemikiran kita bahwa "kita berpikir, seakan-akan, dalam komunitas dengan orang lain kepada siapa kita berkomunikasi pikiran kita saat mereka berkomunikasi mereka kepada kami" (BPF, 234-5). She also quotes Madison's statement that “the reason of man, like man himself, is timid and cautious when left alone, and acquires firmness and confidence in proportion to the number with which it is associated” (BPF, 234). Dia juga mengutip pernyataan Madison bahwa "alasan manusia, seperti manusia itu sendiri, adalah takut dan berhati-hati ketika dibiarkan sendiri, dan memperoleh keteguhan dan kepercayaan dalam proporsi dengan jumlah dengan yang terkait" (BPF, 234).
The appeal to Kant and Madison is meant to vindicate the power and dignity of opinion against those thinkers, from Plato to Hobbes, who saw it as mere illusion, as a confused or inadequate grasp of the truth. Banding kepada Kant dan Madison dimaksudkan untuk mempertahankan kekuatan dan martabat pendapat terhadap para pemikir, dari Plato ke Hobbes, yang melihat sebagai ilusi belaka, sebagai pemahaman yang bingung atau tidak memadai dari kebenaran. For Arendt opinion is not a defective form of knowledge that should be transcended or left behind as soon as one is in possession of the truth. Untuk menyatakan pendapat Arendt bukan bentuk cacat pengetahuan yang harus melampaui atau kiri belakang sesegera satu di memiliki kebenaran. Rather, it is a distinct form of knowledge which arises out of the collective deliberation of citizens, and which requires the use of the imagination and the capacity to think “representatively.” By deliberating in common and engaging in “representative thinking” citizens are in fact able to form opinions that can claim intersubjective validity. Sebaliknya, ini adalah bentuk yang berbeda dari pengetahuan yang muncul dari musyawarah kolektif warga, dan yang membutuhkan penggunaan imajinasi dan kemampuan berpikir Dengan berunding yang sama dan terlibat dalam "perwakilan pemikiran" warga dalam "representatif." mampu membentuk opini yang dapat mengklaim validitas fakta intersubjektif. It is important to stress that Arendt does not want to dismiss the philosophers' attempt to find universal or absolute standards of knowledge and cognition, but to check their desire to impose those standards upon the sphere of human affairs, since they would eliminate its plurality and essential relativity. Penting untuk menekankan bahwa Arendt tidak ingin mengabaikan upaya para filsuf 'untuk menemukan standar universal atau mutlak dari pengetahuan dan kognisi, tetapi untuk memeriksa keinginan mereka untuk memaksakan standar-standar pada lingkup urusan manusia, karena mereka akan menghilangkan pluralitas dan penting relativitas. The imposition of a single or absolute standard into the domain of praxis would do away with the need to persuade others of the relative merits of an opinion, to elicit their consent to a specific proposal, or to obtain their agreement with respect to a particular policy. Pengenaan atau absolut standar tunggal ke dalam ranah praksis akan melakukan jauh dengan kebutuhan untuk membujuk orang lain dari manfaat relatif dari pendapat, untuk mendapatkan persetujuan mereka untuk proposal tertentu, atau untuk mendapatkan persetujuan mereka sehubungan dengan kebijakan tertentu . Indeed, for Arendt the imposition of such a standard would mean that individuals would no longer be required to exercise their judgment, develop their imagination, or cultivate an “enlarged mentality,” since they would no longer need to deliberate in common. Memang, untuk Arendt pembebanan standar tersebut akan berarti bahwa individu tidak lagi diperlukan untuk melakukan penilaian mereka, mengembangkan imajinasi mereka, atau menumbuhkan "mentalitas diperbesar," karena mereka tidak perlu lagi sengaja yang sama. Strict demonstration, rather than persuasive argumentation, would then become the only legitimate form of discourse. demonstrasi Strict, daripada argumentasi persuasif, maka akan menjadi satu-satunya bentuk sah dari wacana.
Now, we must be careful not to impute to Arendt the view that truth has no legitimate role to play in politics or in the sphere of human affairs. Sekarang, kita harus berhati-hati untuk tidak menyalahkan untuk Arendt pandangan bahwa kebenaran tidak memiliki peran yang sah untuk bermain dalam politik atau dalam lingkup urusan manusia. She does indeed assert that “All truths — not only the various kinds of rational truth but also factual truth — are opposed to opinion in their mode of asserting validity” (BPF, 239), since they all carry an element of compulsion. Dia memang menegaskan bahwa "Semua kebenaran - tidak hanya berbagai macam kebenaran rasional, tetapi juga kebenaran faktual - menentang pendapat dalam modus mereka menyatakan validitas" (BPF, 239), karena mereka semua membawa unsur paksaan. However, she is only preoccupied with the negative consequences of rational truth when applied to the sphere of politics and collective deliberation, while she defends the importance of factual truth for the preservation of an accurate account of the past and for the very existence of political communities. Namun, dia hanya sibuk dengan konsekuensi negatif dari kebenaran rasional ketika diterapkan pada bidang politik dan musyawarah kolektif, sementara ia membela pentingnya kebenaran faktual untuk pelestarian account yang akurat dari masa lalu dan untuk keberadaan masyarakat politik . Factual truth, she writes, “is always related to other people: it concerns events and circumstances in which many are involved; it is established by witnesses and depends upon testimony … It is political by nature.” It follows, therefore, that “facts and opinions, though they must be kept apart, are not antagonistic to each other; they belong to the same realm. kebenaran faktual, dia menulis, "selalu berhubungan dengan orang lain:. itu menyangkut peristiwa dan keadaan di mana banyak terlibat; itu didirikan oleh saksi dan tergantung pada kesaksian ... Ini adalah politik dengan alam" Maka, oleh karena itu, bahwa "fakta-fakta dan pendapat, meskipun mereka harus tetap terpisah, tidak bertentangan satu sama lain, mereka termasuk dalam ranah yang sama. Facts inform opinions, and opinions, inspired by different interests and passions, can differ widely and still be legitimate as long as they respect factual truth. Fakta menginformasikan pendapat, dan pendapat, terinspirasi oleh kepentingan yang berbeda dan nafsu, bisa sangat berbeda dan masih sah selama mereka menghormati kebenaran faktual. Freedom of opinion is a farce unless factual information is guaranteed and the facts themselves are not in dispute. Kebebasan berpendapat adalah lelucon, kecuali informasi faktual dijamin dan fakta sendiri tidak dalam sengketa. In other words, factual truth informs political thought just as rational truth informs philosophical speculation” (BPF, 238). Dengan kata lain, kebenaran faktual menginformasikan politik pikir hanya sebagai kebenaran rasional menginformasikan spekulasi filosofis "(BPF, 238).
The relationship between facts and opinions is thus one of mutual entailment: if opinions were not based on correct information and the free access to all relevant facts they could scarcely claim any validity. Hubungan antara fakta dan opini dengan demikian salah satu entailment bersama: jika pendapat tidak didasarkan pada informasi yang benar dan akses gratis ke semua fakta yang relevan mereka hampir dapat mengklaim validitas apapun. And if they were to be based on fantasy, self-deception, or deliberate falsehood, then no possibility of genuine debate and argumentation could be sustained. Dan jika mereka itu harus didasarkan pada fantasi, penipuan diri, atau kepalsuan yang disengaja, maka tidak ada kemungkinan perdebatan asli dan argumentasi dapat dipertahankan. Both factual truth and the general habit of truth-telling are therefore basic to the formation of sound opinions and to the flourishing of political debate. Baik kebenaran faktual dan kebiasaan umum kebenaran-menceritakan Oleh karena itu, dasar pembentukan pendapat yang sehat dan maraknya perdebatan politik. Moreover, if the record of the past were to be destroyed by organized lying, or be distorted by an attempt to rewrite history, political life would be deprived of one of its essential and stabilizing elements. Apalagi jika catatan dari masa lalu itu harus dihancurkan dengan berbaring terorganisir, atau terdistorsi oleh upaya untuk menulis ulang sejarah, kehidupan politik akan kehilangan salah satu unsur yang esensial dan stabil. In sum, both factual truth and the practice of truth-telling are essential to political life. Singkatnya, baik kebenaran faktual dan praktek kebenaran-mengatakan sangat penting untuk kehidupan politik. The antagonism for Arendt is between rational truth and well-grounded opinion, since the former does not allow for debate and dissent, while the latter thrives on it. Pertentangan untuk Arendt adalah antara kebenaran dan rasional cukup beralasan pendapat, karena yang pertama tidak memungkinkan untuk debat dan perbedaan pendapat, sedangkan yang terakhir tumbuh subur di atasnya. Arendt's defense of opinion must therefore be understood as a defense of political deliberation, and of the role that persuasion and dissuasion play in all matters affecting the political community. pertahanan Arendt pendapat karena itu harus dipahami sebagai bentuk pembelaan terhadap pertimbangan politik, dan peran yang persuasi dan penasihatan jangan bermain dalam segala hal yang mempengaruhi komunitas politik. Against Plato and Hobbes, who denigrated the role of opinion in political matters, Arendt reasserts the value and importance of political discourse, of deliberation and persuasion, and thus of a politics that acknowledges difference and the plurality of opinions. Melawan Plato dan Hobbes, yang direndahkan peran pendapat dalam masalah politik, Arendt reasserts nilai dan pentingnya wacana politik, musyawarah dan persuasi, dan dengan demikian dari politik yang mengakui perbedaan dan pluralitas pendapat.
6. 6. Arendt's Conception of Citizenship Konsepsi Arendt Kewarganegaraan
In this last section I would like to reconstruct Arendt's conception of citizenship around two themes: (1) the public sphere, and (2) political agency and collective identity, and to highlight the contribution of Arendt's conception to a theory of democratic citizenship. Pada bagian terakhir ini saya ingin untuk merekonstruksi konsepsi Arendt kewarganegaraan sekitar dua tema: (1) ranah publik, dan (2) lembaga politik dan kolektif identitas, dan untuk menyoroti kontribusi konsepsi Arendt untuk sebuah teori kewarganegaraan demokratis.6.1 Citizenship and the Public Sphere 6.1 Kewarganegaraan dan Ruang Publik
For Arendt the public sphere comprises two distinct but interrelated dimensions. Untuk Arendt lingkup publik terdiri dari dua dimensi yang berbeda tetapi saling terkait. The first is the space of appearance , a space of political freedom and equality which comes into being whenever citizens act in concert through the medium of speech and persuasion. Yang pertama adalah ruang penampilan, ruang kebebasan politik dan kesetaraan yang datang menjadi ada ketika warga bertindak bersama melalui media berbicara dan persuasi. The second is the common world , a shared and public world of human artifacts, institutions and settings which separates us from nature and which provides a relatively permanent and durable context for our activities. Yang kedua adalah dunia yang umum, dan masyarakat dunia bersama manusia lembaga artefak, dan pengaturan yang memisahkan kita dari alam dan yang menyediakan konteks permanen dan tahan lama relatif untuk kegiatan kami. Both dimensions are essential to the practice of citizenship, the former providing the spaces where it can flourish, the latter providing the stable background from which public spaces of action and deliberation can arise. Kedua dimensi sangat penting untuk praktek kewarganegaraan, mantan menyediakan ruang tempat yang dapat berkembang, yang terakhir menyediakan latar belakang yang stabil dari mana ruang publik tindakan dan musyawarah bisa timbul. For Arendt the reactivation of citizenship in the modern world depends upon both the recovery of a common, shared world and the creation of numerous spaces of appearance in which individuals can disclose their identities and establish relations of reciprocity and solidarity. Untuk Arendt reaktivasi kewarganegaraan dalam dunia modern tergantung pada kedua pemulihan dunia, umum bersama dan penciptaan ruang berbagai tampilan di mana individu dapat mengungkapkan identitas mereka dan membangun hubungan timbal balik dan solidaritas.There are three features of the public sphere and of the sphere of politics in general that are central to Arendt's conception of citizenship. Ada tiga fitur lingkup publik dan bidang politik pada umumnya yang penting bagi konsepsi Arendt kewarganegaraan. These are, first, its artificial or constructed quality; second, its spatial quality; and, third, the distinction between public and private interests. Ini adalah, pertama, buatan atau dibangun kualitas, kedua, kualitas spasial dan, ketiga, perbedaan antara kepentingan umum dan swasta.
As regards the first feature, Arendt always stressed the artificiality of public life and of political activities in general, the fact that they are man-made and constructed rather than natural or given. Mengenai fitur pertama, Arendt selalu menekankan kepalsuan kehidupan publik dan kegiatan politik secara umum, kenyataan bahwa mereka adalah buatan manusia dan dibangun daripada alam atau diberikan. She regarded this artificiality as something to be celebrated rather than deplored. Dia menganggap hal ini kepalsuan sebagai sesuatu yang harus dirayakan bukan menyesalkan. Politics for her was not the result of some natural predisposition, or the realization of the inherent traits of human nature. Politik baginya bukanlah hasil dari beberapa kecenderungan alam, atau realisasi dari sifat yang melekat pada sifat manusia. Rather, it was a cultural achievement of the first order, enabling individuals to transcend the necessities of life and to fashion a world within which free political action and discourse could flourish. Sebaliknya, hal ini merupakan prestasi budaya urutan pertama, memungkinkan individu untuk mengatasi kebutuhan hidup dan untuk fashion dunia di mana tindakan politik bebas dan wacana dapat berkembang.
The stress on the artificiality of politics has a number of important consequences. Tegangan pada kepalsuan politik memiliki sejumlah konsekuensi penting. For example, Arendt emphasized that the principle of political equality does not rest on a theory of natural rights or on some natural condition that precedes the constitution of the political realm. Misalnya, Arendt menekankan bahwa prinsip kesetaraan politik tidak tergantung pada teori hak alami atau pada beberapa kondisi alam yang mendahului konstitusi dunia politik. Rather, it is an attribute of citizenship which individuals acquire upon entering the public realm and which can secured only by democratic political institutions. Sebaliknya, itu adalah atribut dari individu memperoleh kewarganegaraan yang begitu memasuki wilayah publik dan yang dapat dijamin hanya oleh lembaga politik yang demokratis.
Another consequence of Arendt's stress on the artificiality of political life is evident in her rejection of all neo-romantic appeals to the volk and to ethnic identity as the basis for political community. Konsekuensi lain dari yang stres Arendt pada kepalsuan kehidupan politik yang jelas dalam penolakan nya semua-romantis banding neo untuk volk dan untuk identitas etnis sebagai dasar bagi komunitas politik. She maintained that one's ethnic, religious, or racial identity was irrelevant to one's identity as a citizen, and that it should never be made the basis of membership in a political community. Dia menyatakan bahwa identitas seseorang etnis, agama, atau ras tidak relevan untuk identitas seseorang sebagai warga negara, dan bahwa tidak boleh dijadikan dasar keanggotaan dalam komunitas politik.
Arendt's emphasis on the formal qualities of citizenship made her position rather distant from those advocates of participation in the 1960's who saw it in terms of recapturing a sense of intimacy, of warmth and authenticity. Arendt penekanan pada kualitas formal kewarganegaraan membuat posisinya agak jauh dari orang-orang pendukung partisipasi dalam tahun 1960-an yang melihat itu dalam hal merebut kembali rasa keintiman, kehangatan dan keaslian. For Arendt political participation was important because it permitted the establishment of relations of civility and solidarity among citizens. Untuk Arendt partisipasi politik itu penting karena diizinkan pembentukan hubungan kesopanan dan solidaritas antara warga negara. She claimed that the ties of intimacy and warmth can never become political since they represent psychological substitutes for the loss of the common world. Dia menyatakan bahwa ikatan keintiman dan kehangatan tidak pernah bisa menjadi politik karena mereka merupakan pengganti psikologis bagi hilangnya dunia umum. The only truly political ties are those of civic friendship and solidarity, since they make political demands and preserve reference to the world. Hubungan hanya benar-benar politik adalah orang-orang sipil persahabatan dan solidaritas, karena mereka membuat tuntutan politik dan melestarikan referensi ke dunia. For Arendt, therefore, the danger of trying to recapture the sense of intimacy and warmth, of authenticity and communal feelings is that one loses the public values of impartiality, civic friendship, and solidarity. Bagi Arendt, oleh karena itu, bahaya mencoba untuk menangkap kembali rasa keakraban dan kehangatan, keaslian dan perasaan komunal adalah bahwa seseorang kehilangan nilai-nilai umum tidak memihak, persahabatan sipil, dan solidaritas.
The second feature stressed by Arendt has to do with the spatial quality of public life, with the fact that political activities are located in a public space where citizens are able to meet one another, exchange their opinions and debate their differences, and search for some collective solution to their problems. Fitur yang kedua ditekankan oleh Arendt ada hubungannya dengan kualitas ruang kehidupan publik, dengan fakta bahwa kegiatan politik berada di ruang publik di mana warga negara dapat bertemu satu sama lain, pertukaran pendapat dan perdebatan perbedaan mereka, dan mencari beberapa kolektif solusi untuk masalah mereka. Politics, for Arendt, is a matter of people sharing a common world and a common space of appearance so that public concerns can emerge and be articulated from different perspectives. Politik, bagi Arendt, adalah masalah orang yang berbagi dunia yang umum dan ruang umum penampilan sehingga kekhawatiran publik dapat muncul dan diartikulasikan dari perspektif yang berbeda. In her view, it is not enough to have a collection of private individuals voting separately and anonymously according to their private opinions. Dalam pandangannya, tidak cukup untuk memiliki koleksi pribadi suara individu secara terpisah dan anonim menurut pendapat pribadi mereka. Rather, these individuals must be able to see and talk to one another in public, to meet in a public-political space, so that their differences as well as their commonalities can emerge and become the subject of democratic debate. Sebaliknya, individu-individu ini harus mampu melihat dan berbicara satu sama lain di depan umum, untuk bertemu di ruang publik-politik, sehingga perbedaan-perbedaan mereka serta kesamaan mereka dapat muncul dan menjadi subyek perdebatan demokratis.
This notion of a common public space helps us to understand how political opinions can be formed which are neither reducible to private, idiosyncratic preferences, on the one hand, nor to a unanimous collective opinion, on the other. Ini gagasan tentang ruang publik yang umum membantu kita untuk memahami bagaimana pendapat politik dapat dibentuk yang tidak direduksi untuk pribadi, preferensi aneh, di satu sisi, atau atas pendapat kolektif bulat, di sisi lain. Arendt herself distrusted the term “public opinion,” since it suggested the mindless unanimity of mass society. Arendt sendiri tidak mempercayai "opini publik," istilah karena menyarankan kebulatan suara mindless masyarakat massa. In her view representative opinions could arise only when citizens actually confronted one another in a public space, so that they could examine an issue from a number of different perspectives, modify their views, and enlarge their standpoint to incorporate that of others. Dalam pandangannya pendapat wakil bisa muncul hanya ketika warga benar-benar berhadapan satu sama lain dalam ruang publik, sehingga mereka bisa memeriksa suatu masalah dari sejumlah perspektif yang berbeda, memodifikasi pandangan mereka, dan memperbesar sudut pandang mereka untuk memasukkan orang lain. Political opinions, she claimed, can never be formed in private; rather, they are formed, tested, and enlarged only within a public context of argumentation and debate. pendapat politik, dia mengaku, tidak pernah dapat terbentuk secara pribadi, melainkan terbentuk, diuji, dan membesar hanya dalam konteks umum argumentasi dan debat.
Another implication of Arendt's stress on the spatial quality of politics has to do with the question of how a collection of distinct individuals can be united to form a political community. Implikasi lain stres Arendt pada kualitas ruang politik berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana kumpulan individu yang berbeda dapat bersatu untuk membentuk sebuah komunitas politik. For Arendt the unity that may be achieved in a political community is neither the result of religious or ethnic affinity, not the expression of some common value system. Untuk Arendt kesatuan yang mungkin dicapai dalam sebuah komunitas politik bukan hasil dari afinitas agama atau etnis, bukan ekspresi dari beberapa sistem nilai umum. Rather, the unity in question can be attained by sharing a public space and a set of political institutions, and engaging in the practices and activities which are characteristic of that space and those institutions. Sebaliknya, kesatuan tersebut dapat dicapai dengan berbagi ruang publik dan satu set lembaga-lembaga politik, dan terlibat dalam praktek-praktek dan kegiatan yang merupakan karakteristik dari ruang dan lembaga-lembaga.
A further implication of Arendt's conception of the spatial quality of politics is that since politics is a public activity, one cannot be part of it without in some sense being present in a public space. Implikasi lebih lanjut dari konsepsi Arendt tentang kualitas ruang politik adalah bahwa karena politik merupakan kegiatan umum, orang tidak dapat menjadi bagian dari itu tanpa dalam arti tertentu jika hadir di ruang publik. To be engaged in politics means actively participating in the various public forums where the decisions affecting one's community are taken. Untuk terlibat dalam politik berarti aktif berpartisipasi dalam berbagai forum publik di mana keputusan yang mempengaruhi masyarakat seseorang diambil. Arendt's insistence on the importance of direct participation in politics is thus based on the idea that, since politics is something that needs a worldly location and can only happen in a public space, then if one is not present in such a space one is simply not engaged in politics. desakan Arendt tentang pentingnya partisipasi langsung dalam politik dengan demikian didasarkan pada gagasan bahwa karena politik adalah sesuatu yang membutuhkan lokasi duniawi dan hanya bisa terjadi di ruang publik, maka jika ada yang tidak hadir dalam seperti satu ruang sama sekali tidak terlibat dalam politik.
This public or world-centered conception of politics lies also at the basis of the third feature stressed by Arendt, the distinction between public and private interests. Ini atau dunia publik-konsepsi berpusat politik juga terletak pada dasar fitur ketiga ditekankan oleh Arendt, perbedaan antara kepentingan umum dan swasta. According to Arendt, political activity is not a means to an end, but an end in itself; one does not engage in political action to promote one's welfare, but to realize the principles intrinsic to political life, such as freedom, equality, justice, and solidarity. Menurut Arendt, kegiatan politik bukan merupakan alat untuk mencapai tujuan, tetapi tujuan itu sendiri, salah tidak terlibat dalam aksi politik untuk meningkatkan kesejahteraan seseorang, tetapi untuk mewujudkan prinsip-prinsip intrinsik untuk kehidupan politik, seperti kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas. In a late essay entitled “Public Rights and Private Interests” (PRPI) Arendt discusses the difference between one's life as an individual and one's life as a citizen, between the life spent on one's own and the life spent in common with others. Dalam esai akhir berjudul "Publik Hak dan Swasta Kepentingan" (PRPI) Arendt membahas perbedaan antara kehidupan seseorang sebagai individu dan hidup seseorang sebagai warga negara, antara kehidupan yang dihabiskan sendiri dan kehidupan seseorang yang dihabiskan bersama dengan orang lain. She argues that our public interest as citizens is quite distinct from our private interest as individuals. Dia berpendapat bahwa kepentingan umum kita sebagai warga negara yang sangat berbeda dari kepentingan pribadi kita sebagai individu. The public interest is not the sum of private interests, nor their highest common denominator, nor even the total of enlightened self-interests. Kepentingan umum bukanlah jumlah kepentingan pribadi, atau tertinggi denominator bersama mereka, atau bahkan total tercerahkan kepentingan diri. In fact, it has little to do with our private interests, since it concerns the world that lies beyond the self, that was there before our birth and that will be there after our death, a world that finds embodiment in activities and institutions with their own intrinsic purposes which might often be at odds with our short-term and private interests. Bahkan, tak ada hubungannya dengan kepentingan pribadi kita, karena menyangkut dunia yang terletak di luar diri, yang ada sebelum kelahiran kita dan yang akan ada setelah kematian kita, sebuah dunia yang menemukan perwujudan dalam kegiatan dan institusi dengan mereka tujuan intrinsik sendiri yang mungkin sering bertentangan dengan kepentingan kita jangka pendek dan swasta. The public interest refers, therefore, to the interests of a public world which we share as citizens and which we can pursue and enjoy only by going beyond our private self-interest. Kepentingan umum mengacu, karena itu, untuk kepentingan dunia publik yang kita miliki sebagai warga negara dan mana kita dapat mengejar dan menikmati hanya oleh swasta melampaui kepentingan pribadi.
6.2 Citizenship, Agency, and Collective Identity 6.2 Kewarganegaraan, Badan, dan Identitas Kolektif
Arendt's participatory conception of citizenship provides the best starting point for addressing both the question of the constitution of collective identity and that concerning the conditions for the exercise of effective political agency . partisipatif konsepsi's Arendt kewarganegaraan menyediakan titik awal yang terbaik untuk mengatasi kedua masalah konstitusi identitas kolektif dan bahwa mengenai persyaratan untuk pelaksanaan lembaga politik yang efektif.With respect to the first claim, it is important to note that one of the crucial questions at stake in political discourse is the creation of a collective identity, a “we” to which we can appeal when faced with the problem of deciding among alternative courses of action. Sehubungan dengan klaim pertama, penting untuk dicatat bahwa salah satu pertanyaan penting yang dipertaruhkan dalam wacana politik adalah penciptaan identitas kolektif, sebuah "kami" yang kita dapat naik banding ketika dihadapkan dengan masalah memutuskan antara program alternatif tindakan. Since in political discourse there is always disagreement about the possible courses of action, the identity of the “we” that is going to be created through a specific form of action becomes a central question. Karena dalam wacana politik selalu ada ketidaksetujuan tentang kemungkinan program aksi, identitas "kita" yang akan dibuat melalui suatu bentuk spesifik dari tindakan menjadi pertanyaan pusat. By engaging in this or that course of action we are, in fact, entering a claim on behalf of a “we,” that is, we are creating a specific form of collective identity. Dengan melakukan ini atau itu tindakan kita, pada kenyataannya, memasuki klaim atas nama "kami", yaitu, kita menciptakan suatu bentuk spesifik dari identitas kolektif. Political action and discourse are, in this respect, essential to the constitution of collective identities. tindakan politik dan wacana adalah, dalam hal ini, penting untuk konstitusi identitas kolektif.
This process of identity-construction, however, is never given once and for all and is never unproblematic. Proses identitas-konstruksi, bagaimanapun, tidak pernah diberikan sekali dan untuk semua dan tidak pernah bermasalah. Rather, it is a process of constant renegotiation and struggle, a process in which actors articulate and defend competing conceptions of cultural and political identity. Sebaliknya, itu adalah proses renegosiasi terus-menerus dan perjuangan, sebuah proses di mana aktor mengartikulasikan dan mempertahankan konsepsi bersaing identitas budaya dan politik. Arendt's participatory conception of citizenship is particularly relevant in this context since it articulates the conditions for the establishment of collective identities. partisipatif konsepsi Arendt kewarganegaraan sangat relevan dalam konteks ini karena mengartikulasikan kondisi untuk pembentukan identitas kolektif. Once citizenship is viewed as the process of active deliberation about competing identities, its value resides in the possibility of establishing forms of collective identity that can be acknowledged, tested, and transformed in a discursive and democratic fashion. Setelah kewarganegaraan dipandang sebagai proses musyawarah aktif tentang identitas bersaing, nilai berada dalam kemungkinan membangun bentuk identitas kolektif yang dapat diakui, diuji, dan berubah secara diskursif dan demokratis.
With respect to the second claim, concerning the question of political agency, it is important to stress the connection that Arendt establishes between political action, understood as the active engagement of citizens in the public realm, and the exercise of effective political agency. Sehubungan dengan klaim kedua, mengenai masalah lembaga politik, penting untuk menekankan koneksi yang Arendt menetapkan antara tindakan politik, dipahami sebagai keterlibatan aktif warga di wilayah publik, dan pelaksanaan lembaga politik yang efektif. This connection between action and agency is one of the central contributions of Arendt's participatory conception of citizenship. Ini hubungan antara tindakan dan lembaga adalah salah satu kontribusi utama dari konsepsi partisipatif Arendt kewarganegaraan. According to Arendt, the active engagement of citizens in the determination of the affairs of their community provides them not only with the experience of public freedom and public happiness, but also with a sense of political agency and efficacy, the sense, in Thomas Jefferson's words, of being “participators in government.” In her view only the sharing of power that comes from civic engagement and common deliberation can provide each citizen with a sense of effective political agency. Menurut Arendt, keterlibatan aktif warga dalam penentuan urusan komunitas mereka memberikan mereka bukan hanya dengan pengalaman kebebasan publik dan kebahagiaan masyarakat, tetapi juga dengan rasa lembaga politik dan kemanjuran, arti, dalam kata-kata Thomas Jefferson , menjadi "participators dalam pemerintahan." Dalam pandangannya hanya pembagian kekuasaan yang berasal dari keterlibatan masyarakat dan musyawarah umum dapat memberikan setiap warga negara dengan rasa lembaga politik yang efektif. Arendt's strictures against political representation must be understood in this light. kritik Arendt terhadap perwakilan politik harus dipahami dalam cahaya ini. She saw representation as a substitute for the direct involvement of the citizens, and as a means whereby the distinction between rulers and ruled could reassert itself. Dia melihat representasi sebagai pengganti untuk keterlibatan langsung dari masyarakat, serta sebagai sarana dimana perbedaan antara penguasa dan yang dikuasai bisa menegaskan itu sendiri. As an alternative to a system of representation based on bureaucratic parties and state structures, Arendt proposed a federated system of councils through which citizens could effectively determine their own political affairs. Sebagai alternatif untuk sistem perwakilan berdasarkan pihak birokrasi dan struktur negara, Arendt mengusulkan sistem federasi dewan di mana warga dapat secara efektif menentukan urusan politik mereka sendiri. For Arendt, it is only by means of direct political participation, that is, by engaging in common action and collective deliberation, that citizenship can be reaffirmed and political agency effectively exercised. Bagi Arendt, hanya dengan cara partisipasi politik langsung, yaitu dengan terlibat dalam aksi bersama dan musyawarah kolektif, bahwa kewarganegaraan dapat ditegaskan kembali dan badan politik efektif dilaksanakan.
Bibliography Bibliografi
Works by Arendt Karya-karya Arendt
[LA] [LA] | Der Liebesbegriff bei Augustin . Der Liebesbegriff bei Augustin. Berlin: Julius Springer Verlag, 1929. Berlin: Springer Verlag Julius, 1929. Translation as Love and Saint Augustine , with an interpretive essay by Joanna V. Scott and Judith C. Stark. Penjabaran Cinta dan Santo Agustinus, dengan esai interpretif oleh Joanna V. Scott dan Judith C. Stark. Chicago: University of Chicago Press, 1996. Chicago: University of Chicago Press, 1996. |
[RV] [RV] | Rahel Varnhagen: The Life of a Jewish Woman . Rahel Varnhagen: Kehidupan seorang Perempuan Yahudi. Revised edition translated into English by Richard and Clara Winston. Edisi Revisi diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Richard dan Clara Winston. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1974. New York: Harcourt Brace Menerjemahkan, 1974. Critical edition edited by Liliane Weissberg. disunting oleh Liliane Weissberg Kritis edisi. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997. |
[OT] [OT] | The Origins of Totalitarianism . Asal Usul Totalitarianisme. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1951. New York: Harcourt Brace Menerjemahkan, 1951. Third edition with new prefaces, 1973. Ketiga edisi dengan pengantar baru, 1973. |
[HC] [HC] | The Human Condition . Kondisi Manusia. Chicago: University of Chicago Press, 1958. Chicago: University of Chicago Press, 1958. |
[EJ] [EJ] | Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil . Eichmann di Yerusalem: Sebuah laporan tentang banalitas of Evil. New York: Viking Press, 1963. New York: Viking Press, 1963. Revised and enlarged edition, 1965. Revisi dan edisi diperbesar, 1965. |
[OR] [OR] | On Revolution . Pada Revolusi. New York: Viking Press, 1963. New York: Viking Press, 1963. Revised second edition, 1965. Revisi edisi kedua, 1965. |
[BPF] [BPF] | Between Past and Future . Antara Masa Lalu dan Masa Depan. New York: Viking Press, 1961. New York: Viking Press, 1961. Revised edition, 1968. Edisi revisi, 1968. |
[MDT] [MDT] | Men in Dark Times . Men in Dark Times. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1968. New York: Harcourt Brace Menerjemahkan, 1968. |
[CR] [CR] | Crises of the Republic . Krisis Republik. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1972. New York: Harcourt Brace Menerjemahkan, 1972. |
[JP] [JP] | The Jew as Pariah . Yahudi sebagai paria. Edited and with an introduction by Ron H. Feldman. Diedit dan dengan pengantar oleh Ron H. Feldman. New York: Grove Press, 1978. New York: Grove Press, 1978. |
[LM] [LM] | The Life of the Mind . Hidup Pikiran. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1978. New York: Harcourt Brace Menerjemahkan, 1978. |
[LKPP] [LKPP] | Lectures on Kant's Political Philosophy . Kuliah tentang Filsafat Politik's Kant. Edited and with an interpretive essay by Ronald Beiner. Diedit dan dengan esai interpretif oleh Ronald Beiner. Chicago: University of Chicago Press, 1982. Chicago: University of Chicago Press, 1982. |
[EU] [UE] | Essays in Understanding: 1930–1954 . Esai dalam Memahami: 1930-1954. Edited and with an introduction by Jerome Kohn. Diedit dan dengan pengantar oleh Jerome Kohn. New York: Harcourt Brace & Company, 1994. New York: Harcourt Brace & Company, 1994. |
[RJ] [RJ] | Responsibility and Judgment . Tanggung Jawab dan Penghakiman. Edited and with an introduction by Jerome Kohn. Diedit dan dengan pengantar oleh Jerome Kohn. New York: Schocken Books, 2003. New York: Buku Schocken, 2003. |
[RPW] |
0 komentar:
Poskan Komentar
Link ke posting ini