Kamis, 27 Oktober 2016

JESSICA, SANGKURIANG DAN MALIN KUNDANG


Situasi hukum positive di Indonesia dewasa ini benar-benar telah mengkorfirmasi pernyataan Jhon Dewey bahwa hukum itu tak bisa didefinisikan, bahkan katanya lagi ‘ hukum adalah idealisme yang tidak rasional’. Bagaimana mau dibilang rasional jika hukum pun menghukum wong cilik yang hanya pencuri kelas teri dengan vonis berat. Sementara di tempat lain pencuri kakap alias koruptor dihukum ringan, atau memberinya fasilitas ueenak di dalam penjara. Kalau mau dijejer daftar irasionalnya hukum akan menghabiskan berlemba-lembar kertas. Dan kini kita mendapatkan realitas tentang hukum yang ditegakkan dengan tanpa bukti-bukti primer yang cukup kuat dan meyakinkan. Kemarin tgl 27 Oktober, di Pengadilan negeri Jakarta Pusat, Jessica telah divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim atas dakwaan membunuh temannya Mirna S.

Jika masalah penghukuman yang tidak proporsional adalah terkait tema ketidak hadiran kepastian hukum dan kesebandingan hukum, maka kasus Jessica saya sebut sebagai “ Hukum Mitologi’ atau ‘ Hukum Dongeng”. Bukankah dalam mitologi atau dongeng semua kebenaran hanya didasarkan pada keyakinan, persangkaan dan kira-kira belaka. Dan semua itu diambil dari keberadasan ‘Tanda-tanda’ yang ada pada alam, dan diri manusai sendiri ; sikap, ucapan, bahasa tubuh atau tanda-tanda khusus pada tubuh.

Orang Mandar meyakini bahwa orang yang punya tahi lalat di atas bibir adalah orang yang cerewet dan tak bisa dipercaya. Perempuan Yang punya tahi lalat dekat alat vital akan mengalami kematian suami alias bernasib sial. Orang Jawa meyakini bahwa orang yang lahir pada Selasa Kliwon akan bernasib jelek. Banyak lagi contoh-contoh dalam masyarak kesukuan kita yang berciri interpretasi metafisika atas hukum kodrat. Berita jelek atas masalah tersebut adalah banyak hukuman atau kutukan yang menimpa manusia dongeng bahkan manusia historis hanya karna adanya tanda-tanda yang ada pada dirinya.

Sangkuriang diputus cintanya oleh Dayang Sumbi lalu ngamuk dan menendang perahu yang kemudian menjadi gunung Tangkuban Perahu karena Dayang Sumbi melihat luka di keningnya, sebagai tanda bahwa Sangkuriang adalah anak Dayang Sumbi. Dalam dongeng atau legenda Sangkuriang itu, tidak diceritakan bagaimana Dayang Sumbi merespon kenyataan itu secara rasional, tapi yang bisa dibaca adalah bahwa ia secara emosional tanpa berpikir panjang langsung menyimpulkan bahwa Sangkuriang adalah anaknya. Lalu menghukumnya dengan pura=pura minta dibuatkan bendungan dan perahu untuk tempat bersenang-senang dan beperahu ria.

Dalam realitas kehidupan orang yang memiliki tanda luka dikepala bisa sangat banyak, dan luka di kepala sangkuriang mungkin saja telah sembuh dan meninggalkan bekas lagi, bukankah dalam ceritanya, Sangkuriang adalah orang sakti mandraguna yang sanggup menyulap apa saja, dus menyembuhkan luka-lukanya sendiri secara tumtas dan tak menyisakan bekas. Demikan pula yang terjadi pada si Malin Kundang. Hanya karena luka di lengannya yang didapat karena kenakalannya di masa kecil, ibunya kok bisa begitu yakin bahwa Malin Kundang adalah anaknya. Akibatnya Malin Kundang yang bisa saja dalam perantaunnya mengalami sakit ingatan lantas mengingkari ibunya yang justru dianggap pengemis tua, dikutuk dan menjadi batu.

Barangkali apa yang telah terjadi pada pengadilan Jessica tidak persis sama dengan dunia dongeng tersebut di atas, tapi paling tidak mendekatilah dalam cara kasa atau hakim membangun keyakinannya. Semua bukti-bukti hanya berdasar pada asprk psikologi dan semiotika belaka. Hanya menebak-nebak gesture dan bahasa tubuh. Atau mengkaitkan prilaku negative Jessica di masa lalu dengan apa yang telah diperbuatnya. Apalagi CCTV pun tak melihat langsung Jessica menaruh sianida ke dalam gelas bermasalah. Artinya tidak ada dua bukti yang kuat serta meyakinkan dalam pengambilan keputusan penting itu.

Dalah hal ini saya pribadi tak memihak pada Jessica, malahan berharap jika Jessica memang bersalah ia mesti diberi hukuman yang setimpal atas kematian Mirna dan rasa kehilangan yang besar dari keluarganya. Saya hanya kecewa bahwa hukum tidak berjalan sesuai dengan hukum acara yang mendasarinya terutama yang tertera dalam psal 184 KUHAP. . dalam urusan pembunuhan hakim sejogyanya tak hanya menarik kesimpulannya dari sekedar keterangan para ahli atau hanya dari petunjuk-petunjuk yang ternyata satu sama lain juga telah saling berkontradiksi. Kontradikasi-kontradikasi itu harus djembatani dulu atau paling tidak dicari kebenarannya atau mana darinya yang paling masuk akal atau rasional. Petunjuk-petunnjuk pun harus betul –betul menunjuk pada realitas pembunuhan. Jika semua itu belum selesai, maka kita bisa mengatak,bahwa “ Hukum memang telah ditegakkan, tapi keadilan entah ada dimana”. Wallahu a’lam bissawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar