Dalam hal budaya korupsi di negri yang mirip negeri seribu satu malam ini, mungkin kita sudah tak begitu merisaukan lagi karena kita telah membagi harapan pemberantasannya dengan KPK atau program satgas punglinya Presiden Jokowi. Tinggal menunggu leberhasilanya dengan harap-harap cemas. Yang mungkin menjadi kecemasan tak berdasar adalah maraknya ‘korupsi budaya’ dalam berbagai bidang kehidupan. Dari mulai laku sehari-hari, hingga hal-hal yang dianggap tinggi dan sublim. Masalahnya adalah, jika dalam hal maraknya budaya korups kita punya instrumen hukum dan organisasi untuk mencegah terjadinya, namun dalam hal korupsi budaya, tak ada sangsi apa-apa. Malahan sering dipuji sebagai penanda kreativitas atau progresivtas. Hanya di ranah ahli hisap alias budaya merokok ada sedikit kemajuan. Itu karena dibarengi dengan peningkatan kesadaran warga tentang bahaya nyata dari merokok. Tapi masih banyak teks-teks budaya yang menderita, tinggal hanya menjadi kata-kata yang tak bicara, seperti pada teks-teks ‘ Di larang kencing Sembarangan’, Bebek Juga Antri’, atau ‘ Jangan Buang Sampah Sembanrangan’ .
Salah satu bentuk korupsi budaya pada aras yang lebih tinggi adalah kontemporalisasi budaya wayang lewat parodisme ‘ Opera Van Java’. Atas nama kreaitivitas dan ekonomisme, para pelawak telah memperlakukan tokoh-tokoh simbolis dalam wayang secara berlebihan. Jika model kontenporalisasi itu dilakukan secara banal dan trus menerus, akan memberi implikasi budaya yang gawat. Penggemar wayang kulit atau wayang golek beneran dari kalangan remaja dan nak muda akan menurun drastis. Tinggal para sepuh yang rela nongkrongi wayang sampai pagi.
Barangkali asumsi saya berlebihan, dan perlu riset yang mendetail. Tapi dari segi logika identitas Aristotelian, hal tersebut mungkin adanya. Pada logika A = A, maka sebagian besar pemirsa televisi yang adalah anak muda, ketika menonton opera van Jawa secara konstan akan terinduksi mentalnya pada anggapan bahwa wayang itu identik dengan kekonyolan, gerr..bulying dan asal ceplos. Padahal dalam realitasnya, wayang adalah entitas budaya adiluhung yang sarat makna, moralitas, kesungguhan, dan kebijaksanaan. Setiap adegan dalam wayang punya pesan dan tujuan khusus. Dalam pementasan wayang di habitatnya yang asli juga ada moment kelucuan yang mengndang tawa, tapi Humor dan bentuk-bentuk lucu dalam wayang punya makna. Bentuk tubuh para punakawan yang tidak proporsional adalah suatu perlambang.
Budaya wayang yang telah menjadi identitas orang Jawa bersumber dari epos Mahabarata dan Ramayana. Pada mulanya wayang sangat terkait dan terikat secara simbolis dengan struktur dan organisasi masyarakat tradisional Jawa. Wayang adalah teater tradisi yang dimaksudkan sebagai ritual keagamaan dimana tokoh-tokoh di dalam wayang dihormati sebagai bentuk dan perwujudan roh supranatural yang didewakan dan sangat disakralkan. Wayang juga sejatinya merupakan pentas pagelaran pertentangan antara kekuatan baik vs yang buruk dalam diri manusia. wayang berisi dialog-dialog dan seloka-seloka yang menyaran pada hidup dan prilaku ideal. Ketika Islam masuk ke Jawa, wayang kemudian menjelma menjadi sarana dakwah. Itulah sebabnya kita akan merasa heran dan diam-diam tidak setuju dalam hati jika dalam satu episode OVJ sosok seperti Bima, Arjuna, atau Judistira menjadi objek bulying dan tertawaan belaka.
Bukan hanya hakekat wayang yang tergerus pada OVJ, tapi istilah ‘Opera’ juga mengalami reduksi makna. Opera adalah bentuk seni pertunjukan teater yang dialog-dialognya menggunakan nyanyian sebagai core utamanya. Jadi maksud untuk memperkaya budaya pada OVJ ,malahan telah memiskinkan semua unsur yang utama di sana. Yang tersisa hanya unsure hiburan dan lawakannya. Ketidak jelasan juga nyata pada acara ‘ Dangdut Academia’. Setahu saya dangdut adalah seni yang dekat dari orang-orang yang termarginalkan oleh system dan stuktur social yang dominatif, atau medium ekspresi orang-orang kecil yang nelongso di bawah langit yang buram. Ketika para penyanyi dangdut yang berkontestasi dan muncul di dangdut academia tampilannya begitu glamour dan snob, bahkan seronok, sejatinya mereka telah memutus komunikasi yang otentik dengan audience yang ingin diwakilinya. Syair ‘ Baju satu kering di badan’ dalam lagu Gubuk Derita’ misalnya, hanya akan menjadi basa-basi dan kehilangan makna. Maka akan sia-sia pula upaya Haji Rhoma Irama untuk berdakwa lewat lagu-lagunya, karena orang melihat ada hipokratisme di sana.
Kecendrungan mereduksi dan menginstrumentalisasi simbol-simbol dan makna-makna budaya lokal juga tampak nyata pada banyak iklan-iklan komersial di Televisi atau pada ajang kampanye kampanye politik pemilu maupun pilkada. Di wilayah Sulawesi Selatan Barat misalnya, ada berbagai ungkapan atau kearifan lokal telah dimamfaatkan untuk menjalin komunikasi dengan audience atau massa pemilih. Ungkapan-ungkapan itu seperti ‘ sipakainge, sipakatau, sipatuo-sipatokkong telah menjadi sarana manipulasi habitus dalam perspektif Pierre Buordieu, atau media untuk menciptakan docile body (tubuh yang patuh) dalam kerangka wacana Michel Foucault. Bagi Buordieu budaya dilihat sebagai medan pertarungan kuasa untuk merebut sumber-sumber. Sedang Foucault memandang ada ketersambungan antara wacana, pengetahuan dan kekuasaan. Silahkan pelajari sendiri teori mereka yang bertebaran di internet.
Menggunakan atau mengangkat aspek-aspek budaya lokal itu tidak mengapa andai aneka signifier itu betul merepresentasikan signifiednya, ada koherensi antara penanda dan petanda. Tapi yang sering terjadi adalah realitas ‘ Mendung tak berarti hujan, ada gap yang dalam antara Harapan dan kenyataan. Bahkan terjadi apa yang disebut Jean Baudrilard ‘ Simulasi’ di mana sebuah sign atau symbol tak merepresentasikan apa-apa. Ketika iklan yang dianggap ampuh karena dihubungkan dengan lokalitas ternyata malah menambah sakit konsumen. Atau tokoh politik yang rajin mereproduksi kearifan lokal dalam aksi kampanyanye ternyata hanya figura bagi yang bernama kebaikan dan keutamaan, maka tidak salah jika semua itu disebut sebagai tindakan mengkorupsi budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar