Jumat, 21 Oktober 2016

DIMAS KANJENG DAN POST-MODERNISME

Fenomena kemunculan Dimas Kanjeng alias Taat Pribadi dengan segala keanehan dan keunikannya ; sikap-prilaku, sejarah dan pengaruhnya adalah sebuah gejala pernyataan post-modernisme yang nyata. Ia melampaui tafsiran atau jangkaun mental kemoderenan yang bertumpu pada rasionalisme atau unuversalisme yang objektif-ilmiah. Terlepas dari aneka tindak kriminal yang disangkakan padanya , penganutan dan pembelaan terhadap Dimas Kanjeng yang datang dari kalangan melek seperti dari kalangan intelektual, para Sultan, atau pejabat negara sipil maupun militer telah menghentak kesadaran orang modern yang begitu percaya pada prisnsip fondasionalisme serta epistemologi cogito sebagai paradigma unggulan dan tak tergotahkan.

Banyak yang heran dan tak mengerti mengapa tokoh intelektual seperti Marwah Daud Ibrahim bisa terlibat dengan urusan padepokan Dimas Kanjeng. Padahal itu bukan lagi yan perlu dianggap aneh, karena sudah biasa terjadi dimana-mana, di luar atau di dalam negeri. Terhadap fenomena keyakinan supranatural hubungannya dengan cara pandang barat, seorang intelektual besar barat yang juga dianggap sebagai tokoh posmo, Arnold Toynbee sangat menyakininya dan pernah mengatakan bahwa materialisme dan spiritualisme tidak akan memberi penjelasan yang memuaskan tentang realitas jika keduanya dianggap sebagai penjelasan yang terpisah. Benda tidak dapat difahami dipandang dari segi kebatinan melulu, sebaliknya, batin tidak dapat difahami dari sudut kebendaan belaka. Masing-masing hanya bisa difahami dari suatu segi pandangan terpadu yang merangkum keduannya.

Marwah Daud Ibrahim selama ini dikenal sebagai seorang tokoh Intelektual yang lama berkecimpung di partai dan berbagai organisasi keagamaan seperti ICMI, MUI. Beliau mengambil gelar Doktornya di Amrik, yang adalah pusat pengembangan rasionalisme atau pragmatisme par excelent. Tentu beliau faham betul apa itu makhluk materialisme dan spritualisme. Kita tak bisa menilai bawah beliau telah terjebak masuk dalam pusaran arus peradaban yang mengandaikan kemampuan adaptasi dan plastisitas yang tinggi di tengah derasnya perkembangan teknologi imformasi. Dari ceritanya, kita tahu bahwa ia sadar betul akan keampuhan gawean Dimas Kanjeng.

Memang terhadap proses amalgamanisasi budaya dewasa ini, telah dan akan muncul beragam sikap budaya yang bisa saling berkontradikasi. Ya, globalisasi memang telah meruntuhkan sekat-sekat peradaban (de-differensiasi) sekaligus menyadarkan orang akan perbedaan hakiki manusia. Orang Jerman akan lebih mudah untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang Sudan misalnya, oleh effeck kian mengkerutnya dunia, namun sekaligus ketika telah berdiri berdampingan, maka akan kian jelas terlihat perbedaan dalam hal warna kulit, tinggi badan, prilaku, atau kemampuan bawaan subjek. Disini orang bisa memilih tetap bertahan dalam relasi co-eksistensi yang damai, atau malahan akan memunculkan rasa superior disatu pihak atau rasa imperiority yang akut. Yang memungkinkan suatu gerak sentripetal, menuju jalan pulang yang menegaskan identitas dan lokalitas. Maka terjadilah gejala ikutan seprti credo ‘Kembali ke akar’. Atau malahan serupa gerakan Political Correct di Amrik dulu yang curiga pada setiap pemikiran kritis yang dianngap akan menumbangkan dominasi peradaban barat.

Di antara dua sikap budaya yang saling berseberangan dan saling mencurigai itu, maka muncullah sikap yang ciri-cirinya bisa dikategorikan sebagai budaya Post-modernisme, yang mengambil posisi silepsis, tidak tegas, ambigu, serta mendua. Daniel Bell membacanya sebagai dunia yang saling bertolak belakang, pada saat yang sama orang merayakan segala macam keinginan instingtual, yang hedonis dan konsumeris. Suatu sikap yang membingunkan memang, sekaligus menutup jalan analisis secara rasional ataupun spritual murni. Kaum postmo percaya pada sifat poliseminya makna-makna, dan pada pluralitas pandangan dan keyakinan. Itulah sebabnya, para pendukung padepokan ‘Rahmatan lil alaminnya’ Taat Pribadi yang berciri posmo itu tidak terima pandangan hitam putih dari kalangan ilmuwan atau agamawan.

Memang tidak relevan untuk cepat-cepat memberi label tertentu pada mereka, misalnya dengan menganggapnya sebagi ‘Kufur’ atau telah bersekutu dengan setan. Falsifikasi secara ilmiah juga tidak memadai, karena mereka sejatinya bukan gerakan ilmu yang bertumpu pada rasionalitas belaka yang menghasilkan teori yang bisa ditumbangkan. Justru disana ada kecendrungan merevolusi cara pandang ilmiah, seperti kata Marwah Daud Ibrahim pada acara ‘ILC’ tempo hari. Itu diperkuat oleh penialaian Azumardi Asra bahwa kegiatan Dimas Kanjeng and Co, sebagai ‘pseudo ilmiah, tapi juga bagian dari gerakan ‘New age yang sementara pakar menyebutnya sebagai pseudo spritual

Penilaian para tokoh yang berat sebelah dan komentar yang tanpa tedeng aling-aling terhadap keberadaan Dimas Kanjeng pada acara ILC beberapa minggu lalu, termasuk tauziah Kiay Hasyim Musadi, sungguh mencemaskan. Disana terkesan ada hasrat untuk menutup diri dari realitas sosiologis masyarakat yang telah bergeliamang kejahilan, kemiskinan serta metalitas menerobos sebagai motIf dasar menjadi anggota padepokan. Alih-alih mau memahami pada para pengikut Dimas kanjeng yang dianggap telah sesat dengan komentar-komentar bijak, malahan telah memberi stigma sosial yang justru akan memperbesar jarak sosial dan budaya antar segmen di masyarakat. Bukankah Kiay Hasyim sendiri mengatakan bahwa yang namanya hakekat atau kebenaran harus dibungkus penyampaiannya.


Betapapun Dimas Kanjeng dan pendukungnya telah membuktikan bahwa spritualitas atau supranaturalism yang selama berabad dipersetan oleh modernisme ternyata bisal beroperasi memasuki relung-relung kejiwaan segala lapiasan msyarakat. Masyarakat bawah, menengah, atau atas bagai terhipnotis untuk bersatu mempercayai dan menjadi tangan Taat Pribadi dalam jumlah ribuan dengan segala resikonya. Bahkan pasca Rajasa tersebut digelandang bak seorang teroris ke mobil tahanan, kesetiaan para pengikut, teman dan simpatisannya tak kunjung surut. Bahkan banyak yang kembali menghimpun amunisi logika atau bukti-bukti alternatif untuk membela dan memberi pembenaran tarhadap laku spritualitas Dimas Kanjeng. Salah satunya adalah dukungan seorang pakar dari Unpad yang mengaku telah melakukan penelitian dan hampir tiba pada kesimpualn akan kebenaran fenomena ; Trans Dimensi’ yang telah dipraktekkan oleh Dimas Kanjeng,

Sayangnya usaha Dimas Kanjeng dkk untuk mensubversi dan meninggalkan alam pikiran modern, pergi ke dunia postmo, tidak dilakukan secara konsekwen. Orang-orang padepokan justru menggunakan instrumen ampuh modernism yakni uang atau rasionalitas sebagai tema central pencapaian gerakannya. Uang sebagai simbol kemakmuran dan kemajuan telah menjadi tujuan dan motivasi utama untuk menggrab sebanyak mungkin pengikut. Sekaligus menjadi pembatal integrasi, atau transformasi diri para santri. Malahan telah memasuki makom dimana orang telah dianggap mampu berpartisipasi dalam daya-daya yang luar biasa dan mistik dengan konotasi negatif atau klenik yang dekat pada sihir. Karena kemampuan ajaib yang sejatinya adalah anugrah telah disalah gunakan untuk tujuan-tujuan dunia, dengan praktek penggandaan uang, maka gerakan padepokan Dimas Kajeng itu tidak berangkat kemana-mana, bukan ilmiah-modern, bukan tradisional-spritual, bahkan bukan juga postmo, tapi mungkin ‘ Pseudo Post-modernisme.





2 komentar:

  1. mungkin memang ada kemampuannya tp kl akhirnya penggandaan uang mjd central gerakannya, ya akhirnya keblinger ujungnya

    BalasHapus
  2. Yaa, begitulah...makasih komennya.

    BalasHapus