Senin, 17 Oktober 2016

POST - STRUKTURALISME DI MANDAR


Teman-teman Mandar tentu ada yang akan merasa aneh menyimak judul di atas. Yang paham akan mengatakan ‘ mana ada yang begituan di Mandar’. Sedangkan yang tak paham akan bengong dan menjadi bingung dibuatnya. Apapun itu, sejatinya sejak masa Todiilaling subversi terhadap struktur – struktur baku yang membelenggu sudah terjadi di Mandar. Dan pelakunya yang pertama kali adalah Todilaling sendiri. Todilaling tentu tidak kenal siapa itu Roland Barthes atau Julia Kristeva misalnya, apalagi pilsafatnya, tapi secara praksis, beliau telah mengimplemantasikanya. Beberapa keturunannya juga telah mempraktekkan pos-strukturalism secara acak, tak bersistem. Sebut saja,Iman Lapeo dengan dakwah Islamnya , Baharuddin Lopa yang telah mendekonstruksi makna Siri, atau Husni Jamaluddin yang menyebarkan prinsip pluralisme di Mandar.

Ketika Todilaling, mara’dia pertama Balanipa mengatakan ‘ Patondo saliwangi baromu, patondo tamai barona to mae’di yang berarti demokratisasi, maka sejatinya beliau telah memberi makna dan makam baru terhadap acuan kenegaraan dan keadatan yang sebelumnya dijalankan dengan prinsip absolutisme dan dogmatisme. Pertama, ia menumbangkan dominasi para tomakaka, atau petinggi adat yang masih sering berlaku semena-mena yang menempaakan diri lebih tinggi di atas rakyat dalam sistem feodalism dan otoritarian. Kedua, terjadi desakralisasi keyakinan atau kepercayaan rakyat yang senantiasa berada dalam relasi ketakberdayaan vis a vis roh-roh nenek moyang yang sangat berkuasa menentukan moralitas atau mitologisme Mandar. Maksudnya, dengan merayakan to mae’di, atau Rakyat, maka telah terjadi proses antroposentrisme, alias humanisasi yang membebaskan.

Akan tetapi usaha mulia Todilaling tersebut tidak membebaskan dirinya sendiri dari keterikatan pada kode-kode animisme yang mensyaratkan kematian yang tragis dan dramatis. Ia tak bebas dari aturan eskatologis yang membiarkan kematian massal atas nama roh absolut, sehingga banyak dari pengikut, keluarga atau para bedindenya rela dan suka terkubur bersama Todilaling. Kita yang hidup di masa sekarang tentu akan sangat memahami tindakan komunalisme akut tersebut yang diikat oleh prinsip dogmatisme dan kesetiaan pada raja sampai menutup mata. Karena kekuasaan adat dan tradisi yang begitu kuat mengikat orang dalam struktur-struktur yang ketat dan mengikat, pembangkangan terhadapnya adalah pemali , yang mengimplikasikan datangnya abala’ atau kerusakan alam dan masyarakat bila menyimpang dari ketentuan sakral yang ada..

Salah satu obelisk keberhasilan kepemimpinan Todilaling alias I Manyambungi adalah, munculnya lontara tentang hukum adat yang lebih manusiawi. Todilaling menyempal dari keinginan hukum yang berlandas ‘ nyawa dibayar nyawa’. Sebelum ada reformasi hukum Todilaling, maka keadilan di Mandar ditegakkan dengan saling bertikaman sebagai modus untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Realitas tersebut sekaligus memberi pemahaman bahwa Mandar dibawah kepemimpinan Todilaling adalah masyarakat terbuka menurut kategori Henri Bergson. Bukankah hukum baru tersebut diresepsi dari kode-kode hukum kerajaan Goa, dimana I Manyambungi pernah menjadi Mangkubuminya.

Sembari tetap menjaga toleransi, Imam Lapeo telah memperkenalkan sistem pengajaran Islam di Mandar yang lebih inklusif. Beliau mengintrodusir sistem klasikal yang diadopsi dari barat, mirip sistem pendididkan Muhammadiyah. Sebelumnya orang dibimbing dalam cara-cara tradisional yang mengandaikan hubungan hirarki mursid dan murid yang ketat, yang lebih mengindoktrinasi katimbang memberi kebebasan berekspresi dan beraaktualisasi. Metode hafalan diganti dengan pemberian kurikulum yang berjenjang, sehingga pembelajar agama akan lebih terasah mental dan cara berpikirnya guna merambah kehidupan yang kian kompleks dan terdifferensiasi secara ketat. Imam Lapeo juga menghajar benda-benda alam yang katanya dihuni oleh parah roh atau sejenis ‘Mana’, yang di Mandar disebut Sarigan

Baharuddin Lopa muncul dengan merubah makna Siri’ yang sempit. Menurut beliau, siri tak lagi harus dipertahakan dengan kaku yang berdasar pada preskripsi-preskripsi adat yang keras, sehingga demi siri orang tega saling bunuh. Siri yang melangit yang lekat pada prinsip-prinsip martabat dan harga diri, harus lebih dibumikan dengan melihat pada aspek-aspek riel dan perkembangan masyarakat. Dengan kata lain siri’ mesti berkelindan dengan tuntunan dunia hukum positive dan moralitas publik. Jadi siri’ adalah jika bertindak kejam atau membunuh orang, jika menampar dan menganiaya orang. Atau siri ada jika orang mengambil hak orang lain dengan jalan korupsi atau mencuri. Sirilah jika malas dan tak mau bekerja alias menganggur. Dalam hal yang terakhir ini, presedennya adalah Mara’dia Todipasung karena suka meminta-mint a atau mungkin memeras rakyat.

Last but not least, Husni Jamaluddin adalah pejuang pluralisme par excelent, yang menulis puisi-puisinya dalam term-term yang keluar dari ruang imajinasi serta kognisi banyak orang Mandar. Husni bukannya menulis tentang Tomanurung yang terlahir kembali misalnya, tapi mencandrai kedatangan kembali Jesus di Golgota yang kemudian minta untuk disalibkan kembali oleh mungkin adanya realitas hegemonisme, penjajahan atau diabolisme di sekitar wilayah ‘Oukoemene’ dunia tersebut. Ya, sejak dulu memang wilayah Timur-Tengah dianggap sebagai pusat persemaian peradaban dunia atau ‘The Craddle of Civilisation’. Husni juga alih-alih menulis ritus-ritus dan upacara adat Mandar, ia malahan lebih kesemsem dan menghayati ritual kematian orang Toraja yang punya sequen ‘ Ma’badong’ dan lebih terkait dengan tradisi kristen.

Post-Struktualisme sebagai praksis di tangan tokoh-tokoh Mandar di atas menjadi penting karena ia mendahului kecendrungan pembongkaran atau subversi atas code-code budaya di Mandar oleh generasi milenium Mandar. Oleh percepatan penyebaran media baru – internet atau dunia cyber, yang lebih memberi stimulan berlebih untuk aksi pengungkapan diri. Repotnya semua yang mewakili dunia post-strukturalis atau sekalian wajah post-modernism itu, cenderung berkonotasi negatif atau mungkin suatu modus kesalah pahaman. Hingga tidak aneh lagi jika kita sekarang melihat orang Mandar di Mandar atau dimanapun yang berprilaku ‘Metro Seksual’ atau ber Jiboo ria.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar