Jika sesorang dikatakan cerdas secara budaya, itu tidak melulu terkait dengan kemampuan untuk bermusik dan menciptakan musik atau pandai melukis serta piawai merangkai kata untuk dituangkan kedalam puisi yang indah. Tapi ia lebih terkait dengan kemampuan orang atau komunitas untuk memahami dan menghayati nilai-nilai, norma atau prinsip yang dianut atau diyakini orang atau komunitas yang lain. Lalu bertindak proporsional berdasar pemahamannya itu, serta mengkomunikasikan segala bentuk perbedaan dan persamaan yang mungkin timbul dalam hubungan sosial yang ada.
Nilai-nilai, norma atau prinsip satu orang atau kelompok bisa bersumber pada kebudayaan, agama bahkan ideologi tertentu. Pada level global misalnya, orang Jepang akan sangat menekankan pada kekompakan kelompoknya, dan cinta pada harmoni sosial. Segala sesuatunya akan dikembalikan pada pertimbangan kebersamaan. Orang Amerika bisa dikatakan kebalikan dari itu. mereka lebih individul, gandrung akan kebebasan dan bertindak atas nama pribadi. Mereka tak alergi pada konpflik atau konfrontasi dalam setiap relasi sosial. Sedangkan orang-orang Arab akan mengafirmasi segala bentuk upaya persaudaraan dan kekeluargaan.
Sering dalam pergaulan global yang diwarnai dengan aneka perbedaan,muncul berbagai streotipe dan label tertentu terhadap satu bangsa. Hal itu biasanya muncul dari semangat persaingan dan konflik yang tidak sehat. Orang Amerika misalnya pada suatu ketika menganggap orang Arab sebagai pedagang budak, pengendara unta, rentenir, licik atau banjingan penuh warna, seperti yang ditulis Edward Said dalam buku monumentalnyam ‘ Orientalism’. Disana Edward Said lebih memberi tekanan pada analisa politik terkait imperialisme. Padahal penilaian yang berat sebelah serta bias itu bisa juga berangkat dari kebodohan budaya yang menyempitkan.
The Los Angeles Times Magazine edisi 2 December, 1990, menurunkan sebuah artikel yang berjudul, “ A Nation of Know Nothing – Americas Willfull Ignorance of World Puts Us at Peril.”. Tema ertikel itu tentang kelemahan pemerintah dan perusahaan Amerika dalam studi luat negri terkait kultur atau sosial-budaya. Juga tentang warga negara yang secara umum ignorance pada masalah-masalah dunia. Penulis dan koresponden majalah Times, Stanley Meisler, mengatakan bahwa Amerika adalah The most provincial industrialized power on Earth. Menurutnya, orang Amrik rata-rata tidak tahu bahasa asing, geografi, atau masalah internasional aktual. Sementara penentu dan pembuat kebijakan publik tidak banyak memahami kultur atau kekuatan sejarah yang mmbentuk peristiwa serta event-event di dunia.
Kegamangan budaya bangsa Amerika itu jelas telah berimbas pada aneka tindakan dan kebijakan luar negerinya yang serba salah. Banyak sudah ‘bad story’ yang kita dengan tentang sepak terjang Amerika di dunia yang berangkat dari kebutaan hurupan budaya. Mereka lekat dengan citra agresivitas, intervensionis atau arogansi. Mereka sering dilukiskan mirip cowboy-cowboy dalam film-film western, yang telah mengantarkan mereka memenuhi setiap bar atau cafe di dunia dengan hiruk-pikuisme, foya-foyaisme dan mabukisme. Persepsi orang tentang karakter orang Amerika juga sejatinya bias dan tak mendasar. Bangsa Amerika kita tahu juga memiliki sejumlah virtue seperti ; suka bekerja keras, punya komitmen tinggi pada tugas dan pekerjaan, kreative, inovative, serta mencintai kebebasan Disinilah pentingnya kita memahami pentingnya kompetensi dalam hal multikulturalism atau intrakulturalism. Untuk mencegah kesalah pahaman atau clash kultural.
Setiap bangsa atau suku memuat dalam dirinya seperangkat nilai-nilai yang akan mengarahkan mereka dalam pergaulan global yang kian intens dan masif dewasa ini. Kesalahan membaca dan memahami sebuah kultur akan berakibat banyak. Kecerdasan pemerintah atau pengusaha Malaysia dalam mempersepsikan kultur-kultur asing terkenal piawai. Bandingkan persepsi orang Malaysia dan Jepang terhadap orang Arab. Orang Malaysia mengetahui bahwa orang-orang Arab itu al : mementingkan status,focus pada kebaikan keluarga atau kekeluargaan, suka pada persaudaraan dan pertemanan, santai, menghargai tradisi, dan suka berkelompok. Sedang Jepang melihat orang Arab dalam hal-hal : Agama, Allah, Quran, status, emas dan kumis. Nah, perbedaan dalam pengetahuan inilah yang menyebabkan banyak orang-orang Arab yang berinvestasi di Malaysia, disamping investasi Amerika, Cina dan Jepang. Intinya orang Malaysia cerdas secara budaya.
Dalam rangka MEA atau Masyarakat Ekonomi Asean, atau kompetesi global, mau tidak mau orang Indonesia harus mencontoh kiat budaya Malaysia tersebut. Namun bila tak dibarengi dengan kemampuan bahasa asing, kesukaan membaca, atau kompetensi budaya atau komunikasi budaya yang memadai, maka kita akan sulit menyaingi Malaysia. Kita tak perlu malu belajar dari negri jirn tersebut dalam hal kompetensi budaya. Bukankah di tahun 70 an, mereka banyak mengirim orang-orangnya untuk belajar di Indonesia dalam banyak hal.
Dalam relasi antar budaya di Indonesia pun perlu dihindari sterotipe-sterotipe antar suku, agar peristiwa Kalimantan dan kerusuhan Ambon tidak terulang. Orang Batak dikatakan suka kasar dan lugas, orang Manado sombong dan suka foya-foya, orang Minang digambarkan tinggi hati dan suka bertengkar, orang Makassar kasar dan suka berkelahi, streotipe-stereotipe itulah yang mencegah pergaulan antar suku yang sehat dan membangun. Sudah banyak kearifan lokal yang bekerja kearah sana, sebagai mediasi dan pelerai, hanya saja perlu lebih digali, didokumentasikan, serta dihayati. Akibat kurangnya pemahaman dan pengertian antar budaya, orang cenderung menutup diri dengan penuh kecurigaan pada suku-suku lain. Bentuk fanatisme kesukuan itu tampak pada seringnya kerusuhan para supporter bola. Dalam dunia kerja, jika seorang menduduki jabatan penting, misalnya direktur pada sebuah usaha atau badan pemerintah, maka sipejabat akan membawa gerbongnya yang biasanya berdasar pada kesamaan suku. Semua itu berdasar pada ketertutupan dan kebodohan budaya. Di era millenium ini prinsip etnocentrisme atau Chauvinisme agaknya sudah tak laku lagi karena merusak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar