Sabtu, 05 April 2014

YUK NGOMONGIN SASTRA

Aku pernah membaca tulisan Putu Wijaya tentang sastra yang tak seharusnya dijauhkan dari kehidupan. Lalu omelan Arifin C.Nur pada sastra borjuis. Keduanya kubenarkan oleh hasratku yang menggebu memasuki gedung pertunjukan sastra tapi tak punya uang untuk membeli tiketnya yang mahal. Akhirnya aku hanya ngedumel atau mengerutu di luar gedung. Mengapa juga sastra yang lahir dari segala berian Tuhan yang gratis diberi harga begitu tinggi, dan dilabeli dengan pernak-pernik yang meniru kemewahan kaum hedonis dan konsumeris. Bebatuan, rumput, ilalang, jeroan, lumpur, cacing, debu,awan, angin, ranting, sampah kering, sampah basah atau segala yang kecil dan kumuh adalah pendukung-pendukung sastra dan bisa masuk dalam penciptaan sastra. Bahkan derita seberat apapun, bahkan kematian adalah wilayah-wilayah sastra yang sah untuk dipentaskan dalam kata-kata dengan kemasan yang substil dan unik. Karna sastra adalah katarsis yang memberi harapan dan memulyakan setiap yang bernama keburukan dan bernada dasar kemalangan.

Jadi sastra itu pemberi hidup bagi yang mati, dan pembunuh bagi yang jumawa dan angkuh. Siapapun yang ingin memberi batasan pada hidup sastra akan kecele, dan apapun yang mau mengucilkan sastra dari kehidupan dengan keliarannya, akan minggir. Sastra adalah ombak ganas di lautan paling luas yang akan menenggelamkan kapal-kapal dan perahu yang layarnya bercap tengkorak dengan dua tulang bersilang. Tapi sastra juga seperti penduduk asli kepulauan Galapagos sisa-sisa peradaban Lemuria, yang akan memunggungi orang yang datang tak ramah dan menegurnya dengan tak nonoh. Pendeknya. Sastra bak jambia atau badik yang akan menikam bengis jiwa orang sombong dan membangsawankan jiwa orang yang menyelipkannya di tempat yang tepat dan benar di antara lipa’ sa’be dan jas tutupnya.

Siapapun tidak berhak membawa sastra berlari sendiri untuk mencapai finish, lalu mendapat medali, lalu beroleh tepukan atau applause. Akan ada ribuan pelari-pelari lainnya yang akan menjegal pelari yang kelewat ambisius itu. Biarkan sastra diam ditempatnya yang asri dan tenang, seperti lukisan-lukisan di ruang pamer. Tak perlu kita menuliskan nama dan alamat di buku tamu untuk melihat-lihat atau mengapresiasinya. Setiap orang dengan kecendrungan tertentu akan berhenti pada apa yang digemari. Ada banyak pilihan pada sebuah pameran seni akbar. Yang berjiwa ekspresionis akan berhenti pada deretan lukian Affandi atau Vincent Van Gough. Yang suka pada realisme atau dunia natural, akan berada dipojok Basuki Abdullah atau Rembrant juga Leonardo da Vinci, dst.

Sebenarnya sah-sah saja setiap pendapat orang tentang sastra, hanya mesti ada sedikit kilatan intelek dan dasar pertanggung jawaban yang kinclong. Jangan baru saja punya pengetahuan seupil atau segumpal lalu bersikap seperti bujang jolong berkeris, lalu mulut terpontang-panting melontarkan omongan-omongan balau, bicara tentang karya orang lain kemudian merasa menjadi satpam sastra. Bahkan ketika sastrawan sekelas Romo Mangunwijaya berkata bahwa apa yang mau diperbuat sastra di jaman teknologi tinggi ini, di jaman segalanya telah termekanisasi atau tertata dengan rapih dengan perhitungan eksak, dan penyair yang mau macam-macam mesti dilaso agar tak liar dan merusak. Kita berhak untuk membantah dengan tak harus melihat ke romoannya atau terikat pada pesona Burung-Burung Manyarnya. Namun jawaban paling tidak harus secerdas Kuntowijoya yang mengatakan perlunya juga sastra transcenden yang melampaui ke kinian dan ke disinian. Kita perlu sebuah dunia otentik dimana kedirian tidak dibentuk oleh pabrik, sekolah, organisasi dan opini orang. Atau seperti Abdul Hadi WM yang menjawab dengan jitu dengan menawarkan sastra sufi yang lebih imaginative dan membela kebenaran-kebenaran non determinism.

Mungkin kita perlu seintens dan sedalam Sanusi Pane yang dengan piawai menjawab kecendrungan Faustisme Barat Sutan Takdir Ali Syahbana dengan menawarkan prikehidupan Arjunaisme timur dalam seri Polemik Kebudayaan pra kemerdekaan dulu. Atau semumpuni D.H. Lawrence menjawab Walt Whitman yang punya kecendrunga Post Mortem Effect, yang cinta dan berempati pada segala yang termarginalkan dan terpojok. Lawrence mengatakan bahwa manusia tak semestinya seperti makhluk lain atau benda yang mudah tergrativitasi dan kehilangan kepribadian demi cinta yang membuta tuli pada segala ada.

Sastra punya habitat sendiri dan akan selalu bergeliat mengikuti nafas dan semangat zamannya ( zeitgeist). Tapi sastra bukan makhluk raksasa yang mampu berkata tidak pada penguasa rimba tempat ia berkembang biak. Atau pada setiap tarikan hasrat yang mau mengibiri takdirnya. Makanya saya agak heran dan kaget juga melihat terbitan baru majalah Sastra Horison ( Februari, 2014 ) yang memuat tulisan dan pendapat sastrawan yang saya kagumi sejak muda, Ajip Rosidi. Menurut saya esei beliau dengan judulnya yang provokatif,” Lekra Bagian dari PKI” agak kurang pantaslah dimuat disebuah majalah sastra bergengsi seperti Horison itu. Terlepas dari benar atau tidaknya argument Ajip, saya pikir, seorang sastrawan sekelas Ajip tak pantas rasanya menelorkan kalimat dan kata-kata seperti berikut ini, “ Hal itu menunjukkan bahwa pimpinan Lekra selalu menaati apa yang dilakukan oleh PKI, bahkan juga tentang perlu atau tidaknya membuat cabang Lekra. Joebar Ajoeb waktu mengibul tentang tidak ada hubungannya antara PKI dengan Lekra lupa akan hal-hal yang terjadi yang membantah bohongnya itu.”

Saya bukan pengagum Lekra apalagi PKI, tapi Justru pencinta Sajak- sajak indah dan berbobot sastrawan yang tergabung dalam Manikebu atau penganut “ Humanisme Univeral”. Termasuk karya-karya Ajip Rosidi yang dulu disebut-sebut H.B. Jassin sebagai penyair-sastrawan Tunas Harapan, sebab nilai-nilai literer karya-karyanya yang menunjukkan harapan cemerlang. Saya paling suka sebuah sajak balikpurwa ( anaphora ) Ajip Rosidi di bawah ini :
DOA
Doa ialah burung-burung cahaya yang kuterbangkan ke hadiratmu
Doa ialah anak-anak panah cinta yang kuarahkan ke dalam kalbumu
Doa ialah suara-suara ajaib tali jiwa yang kupetik setiap waktu
Doa ialah bianglala yang menghubungkan keaibanku dengan kegaibanmu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar