Sekarang ini banyak orang sampai pada persepsi keliru yang mengatakan bahwa politik uang adalah hal yang lazim dan lumrah, jumlahnya lebih dari 70 % dari seluruh responden yang diteliti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) belum lama ini. Saya mengasumsikan bahwa mereka yang punya persepsi begitu adalah kalangan yang didera kemiskinan atau yang bersimpati padanya. Memang kemiskinan bisa meruntuhkan moralitas orang, dan rela bersikap munafik di ranah publik secara terang-terangan dengan berkata, “ ambil uangnya, jangan pilih orangnya.” Ungkapan yang berbunyi, “ suara perut dapat mengalahkan suara nurani.” Sepertinya tak bisa disanggah lagi. Dalam keadaan miskin dan terdesak, orang bisa menjungkirkan semua nilai-nilai ( anwertung aller verte ). Bahkan Rasulullah bersabda, “ kadal fakru anyakuuna kufran ( Kemiskinan dapat mengakibatkan kekafiran ). Bila seorang miskin pergi ke suatu negri, maka kekafiran akan berkata kepadanya, bawalah saya bersamamu, begitu kata seorang salaf.
Gejala politik uang sebenarnya sudah masuk dalam ranah sosiologi politik. Kendati masyarakat tampak senang dengan pemberian para caleg, berupa uang, barang atau sembako, namun sejatinya, hal itu berdasar pada sikap sinis, apati, anomi, bahkan alienasi politik ( Michael Rush dan Philip Althoff). Ke-empat sikap dan prilaku politik tersebut punya gradasi dan tingkat yang berbeda, namun dapat disatukan kedalam sikap masyarakat yang menghayati tindakan dan motif orang lain dengan kecurigaan. Individu harus memperhatikan kepentingan sendiri, karena masyarakat itu pada dasarnya berifat ego-sentris ( memusatkan segala sesuatu pada diri sendiri ). Manipulasi dan kecurangan politik di masa lalu ( orba atau orla ) telah berimbas pada pandangan sinis masyarakat kontemporer yang menganggap politik itu urusan yang kotor. Masyarakat yang terlanjur itu telah menilai para politisi tak dapat dipercaya, jadi daripada terus-terusan jadi bulan-bulanan politik, mending sekarang kita yang ngerjai mereka, begitu pikir mereka. Akhirnya mereka mengambil segala yang bernilai dari politik, termasuk nilai-nilai moral dan agama. Jalan pintas dan pikiran pendek masyarakat miskin, dengan mau menerima pemberian para caleg yang juga rata-rata buta nilai-nilai politik, adalah bentuk ketidak percayaan pada politik sebagai usaha untuk mewujudkan kebaikan dan mengejar kesejahteraan bersama.
Seharusnya prilaku partisipasi politik rakyat miskin yang rapuh itu tidak dieksploitasi dan dimamfaatkan untuk kepentingan para politisi sendiri. Jika tak mampu dan mau memberi pendidikan politik rakyat, ya, paling tidak jangan mempraktekkan politik uang. Pokoknya segala tindakan politik mestinya dilihat dalam kepentingan dan masa depan bangsa yang lebih luas. Para caleg dan calon kandidat pemimpin mesti bisa mencegah terjadinya moral hazard para pemilih oleh kemiskinan yang menderanya. Jika terpilih nanti, Jangan sampai melupakan anak-anak tangga yang telah membawanya naik ke Sao Raja atau gedung parlemen, lalu berselingkuh dengan penguasa menelikung program kerakyatan dan pengentasan kemiskinan atau sibuk mengeruk uang negara demi membela yang bayar. Tapi apakah kemewahan dan keberlimpahan yang menanti masih bisa membuat hati nurani para wakil rakyat tetap kinclong?
Survey membuktikan, bahkan mereka yang berbekal idealisme yang menggebu sebelum mentas di Senayan atau di tempat lain, kandas juga dalam perilaku yang menyebalkan dan memuakkan rakyat. Daftar bisa panjang jika disebut satu per satu para pelanggar amanat rakyat tersebut. Seharusnya mereka bisa berbuat lebih banyak guna kemaslahatan bosnya yang rata-rata miskin ( rakyat) dengan penghasilan mencapai satu milyar pertahun. Bukannya berkunjung ke desa-desa atau blusukan ke daerah kumuh, tapi di luar negri sana. Kalau hanya mau studi banding tentang desa, kurang apa sih kearifan dan administrasi desa di Indonesia. Justru desa-desa di Indonesia adalah benteng demokrasi dan keluhuran manusia yang asli. Namun kebanyakan tetap miskin karena ulah banyak kepala desa yang suka ngemplang uang bansos.
Sebagai bagian dari perpolitikan di Indonesia, para caleg mestinya paham betul bahwa suksesnya pembanguan politik dan demokrasi sangat terkait erat dengan sukses ekonomi dan kesejahteraan . bukannya mencegah, mestinya mendorong pemerintah untuk meminimalisir korupsi agar kemiskinan rakyat yang masif tak berlama-lama nongkrong di bumi nusantara. Jangan sampai semakin banyak orang yang lari bekerja ke luar negeri kemudian disiksa dan di hukum mati seperti Sutinah. Jangan lagi ada penculikan bayi dan Iqbal-iqbal baru. Atau Aisyah dan Sinar yang seharunya asyik bermain di sekolah, tapi malah sibuk mengurus dan menghidupi orang tuanya yang miskin dan sakit-sakitan.
Sejatinya politik uang itu dari sudut penerima tidak mendidik, karena akan menciptakan kebiasaan ketergantungan dan meminta-minta, serta menghilangkan sifat alami manusia untuk mau berjuang mencari hidupnya sendiri dan meneguhkan prinsip pribadi sebagai seorang manusia yang punya harkat dan martabat. Memang ada perintah Al-Qur’an untuk menyantuni orang miskin dan memelihara anak yatim ( Al Maaun), tapi itu harus dilandasi oleh kecintaan pada Allah SWT dan kasih sayang sesama manusia. Terkait dengan beratnya tekanan kemiskinan terhadap prilaku seseorang, Nabi saw mengatakan, Terimalah suatu pemberian yang merupakan pemberian biasa. Namun, janganlah kamu menerima semacam sogok terhadap agama. Dengan menolaknya kamu tidak akan kehilangan harta dan jatuh miskin.” Dan sebuah riwayat berbunyi, ”Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan suap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi perantara antara penyuap dan penerima suap.” (Hadits Riwayat Ahmad).
Andai para caleg bagi-bagi uang, sembako dan barang-barang, itu sah-sah saja sepanjang itu tidak diniyatkan dan dimaksudkan untuk mempengaruhi pilihan politik seseorang pada hari pencoblosan. Jika memang merasa diminati dan dicintai rakyat, harusnya membalas cinta juga dengan kesungguhan untuk bekerja demi rakyat sebelum pemilu ataupun pasca terpilih nanti. Bukannya malah menciptakan relasi atas-bawah yang terkesan malah merendahkan rakyat dengan pemberian yang remeh temeh. Walaupun pemberian uang pada calon pemilih diterjemahkan sebagai amal ( Charity ), tapi tetap saja harus dianggap itu sebagai sesuatu yang merendahkan martabat manusia. Kata aslinya “caritas’ dari bahasa latin yang secara harafiah yang amat mencintai, namun derivasi kata Inggris charity, tidak menjadi berarti cinta, tapi pemberian sedekah dari yang kaya kepada yang miskin. Jadi charity dalam pengertian modern berarti sedekah dan mengandung pengertian merendahkan kebalikan dari pengertian menghormati.
Banyak bahaya yang bisa ditimbulkan oleh kemiskinan, seperti membahayakan akidah, akhlak dan moral, pemikiran yang sehat, keluarga, atau mengancam kelangsungan masyarakat, bangsa dan negara, sampai-sampai Rasulullah berdoa kepada Allah agar dilindungi dari kejahatan kefakiran dan kekafiran, “ Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kemiskinan,”
“ Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekurangan, dan kehinaan. Aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan zalim dan dizalimi.” ( HR Abu Daud, An-Nasa’I, Ibnu Majah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar