Tidak ada buku yang pernah saya baca lebih provokatif dari buku karangan Nassim Nicholas Thaleb yang berjudul “ Black Swan” Semua isi buku ini menjungkirkan semua asumsi-asumsi dan ramalan-ramalan atau kebiasaan berpikir in box dan empiris-rasional. Menurut Thaleb,” manusia telah dirancang untuk mempelajari hal-hal yang specifik ketika seharusnya mereka lebih focus ke hal-hal umum. Kita berkonsentrasi pada ha-hal yang telah kita ketahui dan berulang-ulang gagal memperhitungkan yang tidak diketahui. Oleh sebab itu kita tidak mampu dengan sungguh-sungguh memprakirakan peluang-peluang, terlalu rentan terhadap godaan untuk meremehkan, mengeluhkan, dan memilah-milah, serta tak cukup terbuka untuk menghargai mereka yang berhasil membayangkan hal-hal yang mustahil. …kita telah membodohi diri dengan mengira bahwa kita tahu lebih banyak daripada yang sesungguhnya kita ketahui. Kita membatasi pikiran kita dengan hal-hal yang tidak relevan dan tidak memiliki konsekwensi, sementara peristiwa-peristiwa terus mengejutkan kita dan membentuk dunia kita…”
Pikiran Thaleb yang sebelumnya boleh jadi masih normal-normal saja, telah dikoyak oleh adanya apa yang disebutnya Surga atau ‘ Taman Firdaus’ Lebanon yang menguap, sesudah beberapa butir peluru dan roket mulai beterbangan di sana. Ia yang telah merasa dipenjara selama 13 abad oleh pemikiran kerukunan antar etnik yang luarbiasa, jadi mentah karena kemunculan Black Swan yang entah datang dari mana, telah mengubah Lebanon dari surga menjadi neraka. Dari kejadian yang tak dinyana itu, Thaleb pun merumuskan pikirann barunya sejajar dengan ditemukannya ‘Angsa Hitam’ oleh para ahli ornitologi. Bukan penemuan itu yang penting bagi Thaleb, baginya itu hanya sebuah fenomena yang menegaskan bahwa betapa sangat terbatas pembelajaran yang kita dapatkan dari pengamatan-pengamatan atau dari pengalaman, serta betapa rapuh pengetahuan kita selama ini.
Dalam kancah Republik Indonesia yang berpancasila, dengan dasar religius dan budaya yang adiluhung. Adakah yang membayangkan bahwa jutaan orang akan mati saling bunuh seperti yang terjadi di tahun 60 an, berakumulasi dengan tragedi Ambon, Dayak, Aceh atau Papua. Kita mungkin bisa mengerti dan mafhum manakala negara kita tidak dihuni oleh 80 persen muslim yang mestinya penyebar dan pelanjut ajaran ‘Rahmatan lil Alamin” Lalu siapa yang akan menyangka jika di Yokyakarta yang terkenal dengan toleransi dan ajaran kejawennya yang menekankan budi luhur, bisa muncul tindakan intoleransi agama yang kerap. Baru-baru ini di Sleman saja, terjadi dua kali penyerangan terhadap kelompok orang yang beribadah.
Jika melihat riwayat, track record dan faktor kesantunan, saya pribadi tak pernah membayangkan bahwa tokoh-tokoh dan pemimpin seperti AU, AM, SDA dan banyak lagi yang tampak terhormat, bisa tersangkut dengan penyelewengan dan korupsi. Yang mutakhir, berita dari Medan bahwa Dahlan Iskan telah meminta pada pengadilan, agar tiga orang karyawan PLN pelaku korupsi sebesar 2,3 triliun, di jadikan tahana kota saja. Tak terbayangkan bukan? para karyawan bisa korupsi sebesar itu, bagaimana yang di atasnya.
Dalam politik, hal senada Thaleb, telah disampaikan oleh Hannah Arendt, salah seorang pemikir politik penting abad ke dua puluh. Arendt mengatakan bahwa .” …upaya untuk mengendalikan dan memprediksi politik, selalu dikalahkan oleh sifat alami tindakan politik,’ tidak ada yang terjadi lebih sering daripada yang benar-benar tak terduga,” Sejarah adalah produk peristiwa-peristiwa yang dilahirkan oleh tindakan manusia; di sinilah ‘ peristiwa dan ketidak mungkinan yang tak terbatas bisa terjadi sepanjang waktu. Dalam hal ini, Arendt telah berseberangan dengan Karl Marx yang telah memperediksi sejarah seperti memperkirakan langkah dan peredaran matahari yang pasti dan ajeg. Pemuka sang perut itu memastikan bahwa setelah kekalahan kaum feodal oleh kaum kapitalis borjuis, maka akan datang giliran kaum borju dikalahkan oleh kaum proletar, maka akan terciptalah kedamaian, kebahagiaan abadi dan surga di Bumi.
Dan kini cara berpikir dialektik-utopian itu kembali merasuki jiwa sebagian anak bangsa. Hanya tidak bersifat materialistis murni ala Marx, tapi lebih ke aspek spritualis-platonian. Ramalan jangka Jayabaya kini mengemuka, orang-orang meyakini akan datangnya jaman emas ba’da sirnanya jaman edan. Ada juga yang bercorak mahdisme, mesias atau impian akan datangnya Sang Ratu Adil. Entah apa yang mendasari khayalan akan datangnya Sang pembebas dan penyelamat itu, yang konon akan muncul setelah ada keadaan maksimum keburukan atau keedanan, seperti pralaya, dunia terbalik, goro-goro, kaliyuga, dll. Tanda-tanda jaman edan tersebut memang tekah kita saksikan dengan meluasnya sifat keanehan pada manusia seperti yang telah diberitakan oleh media masa akhir-akhir ini ; ayah memperkosa anak, hubungan incest antara ibu dan anak, saudara dengan saudara, anak-anak bahkan bayi dicabuli orang dewasa atau orang dekatnya, pedofilia merebak, korupsi yang tak masuk nalar karena dilakukan oleh orang yang harusnya jadi panutan dll.
Dalam keadaan dan situasi chaos seperti itu, maka orang tak mau lagi berpikir keras, berusaha dan tekun bekerja, hanya mengharap dan memastikan datangnya Sang Ratu Adil yang akan membawa sandang, pangan dan papan murah dan surga dunia. Lalu siapakah Ratu Adil itu? Yang pasti bukan Pangeran Diponegoro, RM Kartosuwiryo, Muhammad Al Hanafiyah, Lia Aminuddin, Nyi Acih Dewi Siti Johar Manikam, atau Isalam Rasul Paruhan Situmorang, lalu siapakah gerangan dia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar