Jumat, 30 Mei 2014

SUPPORTER, FANATISME DAN NETRALITAS


Tak ada pilpres yang begitu menakutkan dan menyebalkan seperti pilpres tahun ini. Sepertinya masing-masing kubu ingin bermain ‘zero sum game’ alias habis-habisan untuk saling mengalahkan. Repotnya mereka yang tampak garang dan tak tau diri adalah para supporter yang tak jelas asal-asulnya. Mereka seperti ingin mengail di air keruh dan memprovokasi keadaan. Segala issue-issue yang peka dan berbahaya diangkat, seperti masalah ras, suku dan agama. Yang dari kalangan minoritas sepertinya begitu PD dan hilang rasa segannya pada kelompok mayoritas, yang mayoritas bagai terpancing untuk mempersona non gratakan sang minoritas kalau macam-macam.

Repotnya, dalam pertandingan head to head itu, para pemimpin cuek bebek saja dan seperti menikmtati semua ekspressi cinta buta dari para supoorter masing-masing. Tak pernah terdengar himbauan yang bijak tipikal negarawan untuk menyudahi semua omomg kosong dan vulgarisme yang muncul. Mungkin mereka bangga jika semakin banyak yang cedera atau mati demi kebesaran mereka. Dari semua pemimpin yang beredar dewasa ini, tak satupun yang menunjukkan jiwa kenegarawanan, yang lebih perduli pada nasib, jati diri dan kepribadian bangsa ke depan. Mereka seperti rela kebudayaan bangsa runtuh demi kejayaan diri di dunia politik dan persaingan demokrasi yang tidak sehat. Semua bagai memendam dendam sejarah dan bermaksud untuk saling membalas perlakuan yang dianggap kejam di masa lalu.

Megawati, Prabowo, Jokowi, JK, Rhoma Irama, Amin Rais, selalu jadi korban olok-olok dan kecurigaan. Megawati dianggap sebagai ibu majikan Jokowi dan Jokowi sebagai boneka Megawati. Prabowo selalu dicari borok masa lalunya, sedangkan Rhoma Irama dan Amin Rais direndahkan keisalamannya. Ada yang berkicau jika JK jadi wapres lagi maka akan terjadi bugis-makassarisasi Indonesia. Sindrom perang salib mulai meyelinap, dengan issue kristenisasi atau Islamisasi diangkat secara serampangan, sembrono dan tak bertanggung jawab.

Saya yakin, tak ada rakyat Indonesia sejati yang mau melakukan tindak kekejian tersebut di atas. Mereka pasti dari golongan interest atau pressure group yang punya agenda terselubung untuk menggoalkan misinya masing-masing dengan memamfaatkan ajang pilpres kali ini. Tapi mereka adalah orang-orang licik yang hanya mau membonceng kekuasaan dan tak mau berjuang secara berkeringat untuk mencapai tujuannya. Kita tak boleh bersikap seperti burung unta yang menyurukkan kepalanya ke dalam pasir dan seolah tak mau tahu dengan permasalahan sebenarnya. Di setiap agama , suku atau golongan terdapat kaum ‘zealot’ atau fanatikus yang selalu berpikir dalam lingkaran keinginan sendiri yang egoistis. Menutup-nutupi masalah dengan dalih toleransi justru akan menimbulkan penyesalan kelak, karena eskalasi fanatisme akan terus berkembang. Kita harus ingat semua suku ingin disebut paling unggul, dan semua agama selamanya mencari penganut sebanyak-banyaknya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Jawanisasi, Padangisasi, Buginisasi, kristenisasi, Islamisasi terjadi di mana-mana secara diam-diam dan bermain di bawah tanah. Bahkan komunisme juga tak pernah mati, ia bagai hantu yang selalu mencari peluang untuk menyata. Sidney Hook dulu mengatakan, jika komunis mendekati agama, maka itu karena ia tak ingin tampak sebagai singa di mata musuh-musuhnya.

Jangan biarkan para perusak demokrasi lama beraksi. Karena bagi kaum zealot di semua entitas dan organisasi, absolutism dan diktatorisme adalah jalan masuk untuk menanamkan kukunya yang runcing. Dalam sstem demokrasi yang sehat, dimana ada pemamfaatan rasio secara maksimal, mereka gerah dan tak punya peluang untuk berjaya. Setiap upaya manipulatif akan segera terbongkar kedoknya, dan tak mampu bertahan lama. Dalam alam demokrasi yang genuine, ide-ide aneh dan nylenah akan layu sebelum berkembang, yang bernafsu untuk memonopoli kekuasaan akan segera terlempar dan jatuh ke bumi nyata. Jadi jangan biarkan demokrasi dibajak oleh tangan-tangan jahil dan kepala licin yang licik. Dalam hal ini saya salut pad ide netralitas TNI/POLRI, Pegawai dan para kepala daerah yang sehat otaknya. Jika semua ikut bermain, siapa nanti yang akan jadi polisi atau tukang semprit…pritt..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar