Di Amerika Serikat ada organisasi kemanusian yang bernama ‘ Fronteras Compasivas, mereka mendirikan pos-pos air bagi para pelintas gurun yang panas dan beresiko kematian. Roxanne Lyon Doty mengatakan bahwa organisasi itu disemangati oleh etika tanggung jawab “ Levinasian.” Doty menggambarkan apa yang dilakukan oleh Fronteras Compasivas itu sebagai etika dasar bagi keramahtamahan.” Praktik memberikan air itu menterjemahkan radikalitas teoritis ke dalam praktek politik radikal.”
Etika radikal yang digagas oleh Emmanuel Levinas sering disebut “ Levinasian” berkisar pada claim dasar bahwa ‘the self’ (diri) selalu bertanggung jawab daripada ‘ the other’ ( pihak lain). Tanggung jawab ini bukan pilihan, juga bukan sesuatu yang kita peroleh lewat sosialisasi atau melalaui keputusan sadar untuk menjalani kehidupan moral. Tanggung jawab adalah kondisi tempat kita dilahirkan. Dengan demikian, ini bukan keputusan kita, tetapi suatu keputusan yang dibuat untuk kita oleh fakta tak terhindarkan tentang hubungan kita dengan other. Kita diminta bertanggung jawab oleh other, tak peduli apa yang kita mungkin inginkan. ( Elizabeth Dauphinee dalam “ Emmanuel Levinas” 2009)
Jauh sebelum munculnya gerakan Fronteras Compasivas tersebut, Islam yang memasuki budaya-budaya Nusantara ratusan abad lalu telah mengajarkan perlunya untuk menyambung silaturahim dengan siapapun atas dasar kemanusian. Tradisi untuk menyediakan makanan dan minuman bagi orag yang dalam perjalanan ada pada semua etnik yang telah terislamkan. Hal itu merupakan kongkritisasi ajaran dan etika Islam yang antara lain terdapat dalam An Nisaa ayat satu dimana Allah memerintahkan agar ‘sekalian manusia’ – bukan mukmin- untuk senantiasa menjaga hubungan silaturrahim. Dalam Surah Al Ambiya ayat 107 Allah berfirman tentang posisi Rasul-Nya, Muhammad SAW,” Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”
Namun dalam mempraktekkan ajaran Islam yang genuine dan penuh aspek saling mencintai antar sesama manusia, selalu saja dibatalkan dan direduksi oleh sikap suudzon dan saling curiga yang akut dan meraja. Jangankan dalam scope yang lebih luas - nasional dan internasional-, dalam hubungan antar kampung saja kita sering melihat pelembagaan sifat bermusuhan katimbang saling menolong dan mempercayai. Waktu kecil saya sering ke Lakkading, Somba-Majene, di sana saya melihat adanya keinginan untuk saling menolong, terutama bagi mereka yang dalam perjalanan atau yang berkekurangan. Saya yang suka pergi jauh bermain, bila cape, lapar dan kehausan, takkan sukar untuk meminta air minum dan makanan kecil pada setiap rumah yang saya lewati. Tapi pada suatu hari seorang kerabat memperingatkan saya dengan berkata, “ hati-hati meminta minum pada orang Lakkading, nanti kau diracun.” Dan sejak peringatan itu, saya, jangankan mau meminta minum kepada orang sekampung dan sesuku, malahan muncul rasa benci dan dan tidak suka yang bertahan lama.
Menurut catatan H.M. ALI AS, budayawan dari Pontianak, Kalimantan Barat, dahulu orang Taman Kapuas Hulu dan orang Melawi di Sintang yang dipengaruhi ajaran Islam, selalu menyediakan bahan-bahan seperti beras biasa, beras pulut, gula tebu, ikan salai serta korek api. Ini dimaksudkan, bila ada orang kemalaman dalam perjalanan, dapat tidur di langkau (pondok) serta boleh memasak keperluan selama menginap di situ. Dengan ketentuan, sarana itu tidak boleh diambil untuk dibawa pulan dan bila meninggalkan pondok tersebut, maka dapurnya dibersihkan serta tangga yang berdiri dari kayu sebatang ditegakkan kembali, agar binatang tidak dapat masuk ke pondok tersebut.
Menjadi pantangan bagi masyarakat dayak senganan- daya yang telah masuk Islam- bila ada orang yang sakit atau kelaparan di wilayah hukumnya. Namun tradisi itu kini telah mengalami erosi dan dirusak oleh tangan-tangan jahil yang sering mengambil semua bahan-bahan yang ada. Padahal menurut orang Daya, manusia harus selalu berbuat baik terhadap sang Pencipta, serta selalu berbuat baik kepada sesama manusia, “ Hablum minallah wa hablum minannaasi. Dan orang tidak boleh melanggar larangan adat, misalnya mencuri. Biarpun tidak ada manusia yang melihat, tetapi benda lain yang dianggap mempunyai roh dapat melihat perbuatan jahat itu serta mengutuknya.
Dalam Islam, hubungan Iman dan akhlak atau etika adalah laksana hubungan pohon dengan buahnya. Pohon yang sempurna akan mengeluarkan buah yang banyak bermamfaat bagi alam sekelilingnya. Orang yang sempurna Imannya, pasti akan menumbuhkan budi pekerti yang luhur, yang banyak dinikmati oleh alam sekelilingnya, terutama manusia. Tentang hal ini, Rasulullah telah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan H.R Ahmad, “ Akmalul mu’miinaa iimaaman ahsanuhum khuloqon ( Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik akhlaknya ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar