Tak ada sesuatu yang lebih dibenci tapi dicintai oleh para capres, cawapres plus tim suksesnya dalam ajang pilpres kali ini, selain “ Kampanye Hitam ( Black Campaign). Ada kesan metode kampanye barbarian itu dibiarkan, ditunggu, bahkan diproduksi sendiri oleh masing-masing kubu. Sebab secara empiris, kampanye hitam atau penzaliman terhadap para calon justru akan mendongkrak popularitas, elektabilitas mereka, serta menambah simpati dan empati publik. Jadi mereka yang secara indie membuat membuat dan memperagakan kampanye hitam karena sekedar untuk membual dan membuat sensasi atau karena cinta buta pada idola capresnya, lebih baik berhenti, karena hasilnya tidak akan sejalan dengan apa yang dikehendaki. Megawati yang selalu diobok-obok oleh pemerintahan orba dan diragukan kemampuannya karena wanita, malah menuai simpati yang luar biasa, dan partainya, PDIP sempat memerahkan Indonesia sebelum dan sesudah kejatuhan “ Soeharto The Smiling General.”
Barack Obama yang selalu diberi predikat macam-macam yang negatif, seperti kedekatannya dengan Islam, latarnya yang dianggap bukan Amerika Asli, dan berbagai serangan hitam lainnya, malah berhasil menjadi Presiden AS dua kali. Dwight D. Eisenhower yang juga pernah dua kali jadi Presiden AS, malah pernah mengalami serangan lebih parah. Setelah Perang Dunia ke II, ia bersama-sama dengan dua jendral dari Inggeris dan Rusia makan bersama yang kemudian dilanjutkan dengan foto bersama. Pada waktu pemilihan presiden, foto bersama itu digunting dan foto jenderal Inggeris menghilang, menjadi seolah Ike – nama panggilan Eisenhower- dengan jenderal Rusia tersebut mempunyai hubungan rahasia yang erat, latar belakang makan bersama dan suasana ramah tamah juga sudah lenyap sama sekali. Lalu foto itu dimuat dikoran sebagai propaganda lawan politiknya. Dan dibawah gambar terdapat caption yang berbunyi “ Jangan memilih dia, dia adalah komunis yang menyelundup, ingat saja gambar di atas ini.”
Lantas gagalkah Ike? Ia malah melenggang jadi presiden sampai dua kali. Terhadap komunis, Ike malahan melakukan politik ‘ Rollback’ yang agresif dan secara offensive membasmi semua pasukan musuh yang berada di bawah pengaruh komunis dan menguasai negrinya. Dalam hal ini pers telah melakukan fitnah yang keji tanpa mengindahkan fungsinya sebagai penerang dan pencerah masyarakat. Lalu siapa yang akan menindak propaganda hitam semacam itu yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Dimana hampir setiap jam, setiap hari dalam skala massif dan intens kita saksikan hampir semua media masa menyiarkan kampanye negatif atau kampanye hitam yang terkesan saling menjatuhkan dan menghasut. Para elite mungkin menikmati semua itu, tapi banyak fakta yang mengungkap bahwa kampanye di media masa dan media sosial telah membuat orang sehat menjadi sakit, yang sakit bertambah sakit, kebencian, kemarahan dan stress luas melanda kalangan yang rentan dan tak berdaya. Dengan kata lain, pers yang seharusnya bermamfaat buat masyarakat, kini telah menjadi sangat patologis sekali.
Seorang dokter penyakit dalam di Tangerang menjadi uring-uringan sendiri karena melihat para pasiennya yang rata-rata lansia menjadi bertambah buruk keadaannya setelah membaca dan melihat berita di Koran serta tayangan-tayangan politik dan kampanye di televisi. Yang diabet jadi tak terkontrol gula darahnya, yang hipertensi menanjak tensinya, yang stroke tambah miring mulutnya dan yang bermasalah jantungnya tambah jantungan. Satu-satunya terapi bagi anxiety, alienasi dan potensi “sudden death” yang bersifat sistemik itu adalah dengan mematikan televisi atau tak membaca Koran. Tapi kemana masyarakat akan mencari imformasi yang sehat dan perlu bagi kehidupannya? Kita serahkan pada Komisi Penyiaran Indonesia ( KPI), Dewan Pers dan pers itu sendiri beserta pemiliknya untuk menjawabnya. Jangan gara-gara politik yang sejatinya untuk ‘ kebaikan bersama itu’ justru menjadi sumber penyakit sosial yang akut.
Ada berbagai nilai-nilai dan garis-garis pokok bagi pers yang dirumuskan oleh pers sendiri dalam sidang-sidangnya di PBB. Menurut Prof Dr. Floyd G. Arfan, semua garis-garis pokok itu bisa dirangkum bahwa pers, surat kabar atau wartawan tidak hanya menjadi terompet golongan tertentu saja. Di sana juga telah dirumuskan apa arti pers yang bebas dan bertanggung jawab. Dan semua sepakat dengan pernyataan,” The press’s main reason for existence is to serve as the source of news and opinion in the community and the nation which it serves.” ( Alasan utama terwujudnya Pers ialah sebagai pegangan yang terbaik dalam melayani kebutuhan akan pemberitaan dan pendapat yang terbaik suatu lingkungan masyarakat dan bangsa yang dilayaninya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar